Kewirausahaan sosial mungkin memang sebuah terma yang terdengar baru di Indonesia, tetapi ternyata kewirausahaan sosial memiliki sejarah yang cukup panjang di Indonesia. dua dosen dari Fakultas Bisnis dan Akuntansi Universitas Malaya, Malaysia, Aida Idris dan Rahayu Hijrah Hati dalam artikel ilmiah mereka yang berjudul Social Entrepreneurship in Indonesia: Lessons from the Past (2013) menjelaskan tentang perkembangan kewirausahaan sosial di Indonesia sejak masa kolonial Hindia Belanda sampai tahun 1945 ketika Indonesia memperoleh kemerdekaannya. Menurut Idris dan Hati (2013) untuk konteks Indonesia, gerakan sosial yang mulai bermunculan pada masa kolonial Hindia Belanda bisa dilihat memiliki kemiripan dengan kewirausahaan sosial atau bisa disebut gerakan sosial dan kewirausahaan sosial adalah dua sisi dari koin yang sama.
Organisasi gerakan sosial pertama di wilayah Indonesia didirikan pada tahun 1895 oleh Raden Wira Atmaja (Abdullah, 2006), dalam bentuk koperasi yang bertujuan untuk melindungi penduduk asli dari bunga pinjaman yang tinggi dari rentenir. Setelah diperkenalkannya tata kelola yang lebih etis oleh Belanda (akhir 1890-an hingga awal 1900-an), organisasi tersebut menerima dukungan pemerintah dan diambil alih, tetapi tetap mempertahankan tujuan awalnya untuk melayani masyarakat melalui pembiayaan mikro yang lebih murah dan lebih mudah diakses.
Empat dekade berikutnya (1900–1945), atau yang lebih dikenal sebagai era ‘Kebangkitan Nasional’, diramaikan dengan kehadiran para intelektual dan wirausahawan sosial terkemuka termasuk Kartini, Samanhudi, H.O.S Tjokroaminoto dan K.H. Ahmad Dahlan (Abdullah, 2011; Burhanudin, 2010; Cribb, 1993; Fealy dan Barton 1996). Hal tersebut memacu gerakan sosial di Indonesia ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai tanggapan atas meningkatnya sentimen nasionalis di antara para pemimpin pribumi. Ironisnya, ini juga tampak sebagai konsekuensi logis dari kebijakan politik etis yang diterapkan di bawah pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang membawa efek samping meningkatnya tingkat pendidikan dan kesadaran di antara para bumiputera. Sebagai hasil dari perubahan kebijakan ini, orang Indonesia yang terpelajar memiliki kesempatan untuk mendirikan lembaga pembelajaran seperti sekolah Kartini (Cote, 2008; Kartini, 2010) dan mengembangkannya ke skala yang dapat menguntungkan segmen penduduk dalam jumlah yang lebih besar
Terdapat tujuh organisasi sosial/kewirausahaan sosial besar yang terlibat dalam pergerakan nasional untuk kemerdekaan: Sekolah Kartini, Sarekat Dagang Islam atau Sarekat Islam, Sekolah Adabiyah atau Sjarikat Oesaha, Muhammadiyah, Nahdlatul Tujar atau Nahdlatul Ulama, Taman Siswa, dan Himpunan Saudagar Indonesia. Organisasi-organisasi ini memilih pendidikan atau perdagangan sebagai platform perjuangan mereka dan disatukan oleh visi mereka tentang kebebasan politik, agama, dan ekonomi. Terbukti juga empat karakteristik kewirausahaan sosial yang didefinisikan oleh Idris dan Hati (2013) terpenuhi oleh organisasi-organisasi tersebut: tujuan dan dampak sosial, inovasi, aktivitas penjualan, dan otonomi relatif dari kendali pemerintah. Singkatnya, organisasi-organisasi tersebut beroperasi sebagai usaha sosial untuk mewujudkan tujuan gerakan sosial mereka (Idris & Hati, 2013).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pada masa pra-kemerdekaan, gerakan sosial dan kewirausahaan sosial merupakan dua sisi dari mata uang yang sama yang tumbuh sebagai respon terhadap penjajahan dan seruan rakyat untuk kemerdekaan (Idris & Hati, 2013). Pada saat yang sama terdapat perbedaan perilaku yang jelas di antara organisasi-organisasi tersebut, yang semuanya beroperasi dalam batasan-batasan kekuasaan kolonial. Bagaimana setiap organisasi berperilaku bergantung pada tiga atribut transformasi sosial yang diuraikan sebagai berikut:
Struktur peluang politik dan mobilisasi sumber daya. Dalam hal struktur peluang politik, kebijakan kolonial Belanda menjadi semacam pedang bermata dua. Awalnya, di bawah rezim kebijakan tanam paksa, kesulitan yang diderita membuat bumiputera mengumpulkan keberanian dan kekuatan. Pemimpin bumiputera muncul untuk mempersatukan dan menggerakkan masyarakat untuk melawan penindasan Belanda melalui serangan fisik. Namun, dengan pengenalan tata kelola yang lebih etis pada akhir abad kesembilan belas, pemerintah kolonial Hindia Belanda sendiri membantu meningkatkan pertumbuhan gerakan sosial dan kewirausahaan meskipun terus ditentang oleh kaum bumiputera.
Kebijakan sosial yang diperkenalkan pada akhir tahun 1890-an oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda ternyata menjadi variabel kelembagaan jangka panjang yang mempengaruhi pertumbuhan kewirausahaan sosial dari tahun 1900 hingga 1942. Kebijakan tersebut menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi prakarsa tertentu yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya di syarat ketersediaan sumber daya. Misalnya, perkembangan pesat di sekolah Kartini baru terlihat setelah kebijakan baru memungkinkan pendirian yayasan pada tahun 1913 (Cote, 2008; Hayati et al. 1997; Kartini, 2010).
Di sisi lain, faktor jangka pendek yang berpengaruh adalah terjadinya “Depresi Besar” pada dekade 1930-an. Keterbatasan ekonomi yang dihadapi pemerintah kolonial Hindia Belanda di masa depresi telah memberikan peluang besar bagi sekolah swadaya seperti Taman Siswa untuk memperluas layanannya. Sebelumnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda telah meluncurkan Undang-undang Sekolah Liar yang mewajibkan sekolah-sekolah untuk mengajukan izin resmi sebelum diizinkan untuk beroperasi (Ooi, 2004; Hadler 2008). Namun akibat kesulitan ekonomi, pemerintah harus mengurangi pengeluarannya sendiri, termasuk belanja pendidikan. Situasi kemudian memaksanya untuk menangguhkan peraturan tersebut dan mengizinkan sekolah liar untuk melanjutkan aktivitas mereka. Hal ini memberikan organisasi gerakan sosial atau kewirausahaan sosial, secara seketika, kapasitas yang lebih besar untuk memobilisasi sumber daya keuangan dan jaringan dengan komunitas lokal yang membantu mempercepat pertumbuhan mereka.
Strategi dan taktik politik. Terkait dengan strategi dan taktik politik, terdapat variasi di antara organisasi yang perlu diperhatikan. Sementara beberapa, misalnya Muhammadiyah, memilih strategi kerja sama dengan pemerintah, yang lain termasuk Taman Siswa dan Nahdlatul Ulama memilih pendekatan yang lebih konfrontatif (Asyari 2007; Hadler 2008). Studi tersebut menunjukkan bahwa strategi koperasi memiliki pengaruh yang lebih positif pada faktor-faktor seperti akses organisasi gerakan sosial atau kewirausahaan sosial di Indonesia terhadap bantuan dan perizinan untuk melakukan kegiatan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga mendorong keberlanjutan dalam jangka panjang.
Di sisi lain, organisasi yang kurang kooperatif harus menyelaraskan diri dengan kekuatan politik lain untuk bertahan hidup dan, dalam prosesnya, menjadi partisan dan kehilangan tujuan awal gerakan sosial mereka. Akibatnya, mereka menikmati kredibilitas yang lebih rendah dan umur yang lebih pendek sebagai wirausaha sosial. Bahkan ketika sudah berubah menjadi partai politik, keberhasilan mereka terbatas karena ceruk yang lebih lemah dan ini menyebabkan penggabungan atau pembubaran organisasi-organisasi tersebut (Idris & Hati, 2013).
Pembentukan identitas. Terakhir, dalam masalah pembentukan identitas, beberapa organisasi termasuk Muhammadiyah cenderung ke arah ideologi dan praktik yang lebih konservatif dibandingkan dengan yang lain seperti Sarekat Islam yang sangat condong ke arah liberalisasi (Hatta, 1974; Sejarah Muhammadiyah, 2010; Korver, 1985; Lowensteyn 2005). Dalam hal ini, karena nilai-nilai adat tradisional, organisasi yang lebih liberal menghadapi perlawanan yang lebih besar dari masyarakat dibandingkan dengan mereka yang cenderung konservatif. Keberhasilan Muhammadiyah hingga saat ini menunjukkan bahwa umat Islam di Indonesia sebagian besar bersimpati dengan identitas atau citra Islam yang kuat. Identitas itu memungkinkannya untuk berspesialisasi dalam usaha sosial berbasis agama seperti sekolah keagamaan dan institusi kesehatan, agen wisata ziarah, dan lain-lain. Selain menghasilkan pendapatan melalui aktivitas penjualan normal, Muhammadiyah juga didukung oleh sumbangan dari populasi Muslim yang besar di Indonesia. Dengan demikian, menurut Idris dan Hati (2013), memiliki identitas Islam yang kuat tidak hanya berkontribusi pada popularitas dan kredibilitasnya, tetapi juga kekuatan finansial jangka panjangnya.
Gambar: mpi.muhammadiyah.or.id