Tragedi terulang kembali, lagi dan lagi. Beberapa hari terakhir perhatian kita tertuju pada kasus kekerasan seksual yang sangat memilukan. Kasus bunuh diri mahasiswi NW, korban dugaan pemerkosaan di Mojokerto, Jawa Timur, oleh kekasihnya yang seorang anggota polisi dan viral di media sosial menjadi bukti nyata bahwa kekerasan seksual menjadi masalah besar yang harus segera kita selesaikan bersama. Beberapa waktu sebelumnya, kasus kekerasan seksual yang terjadi di UGM, UNRI, UNSRI, KPI, dan Luwu Timur juga menyadarkan banyak pihak tentang urgensi pencegahan kekerasan seksual.
Secara makro, data yang didapatkan oleh Komnas Perempuan juga menunjukan betapa mendesaknya pencegahan kekerasan seksual. Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan bahwa Jumlah pelaporan kasus sungguh melonjak di masa pandemi. Kalau dilihat ini adalah data terakhir sampai bulan Juni sudah 2.592 kasus, yang berarti lebih dari total kasus yang Komnas Perempuan terima tahun 2020 lalu.
Menjadi semakin menyedihkan ketika kita tahu bahwa data ribuan kasus di atas ternyata masih bisa bertambah lebih banyak lagi. Telaah Niko dan Pratiwi (2021) mengutip survei daring tentang kekerasan seksual yang diadakan Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene pada 2016 menemukan bahwa 93% penyintas kekerasan seksual tidak pernah melaporkan kasus mereka ke aparat penegak hukum. Korban cenderung takut bersuara karena malu, adanya relasi kuasa tidak seimbang serta pembuktian kasus yang rumit.
Niko dan Pratiwi (2021) juga menunjukan fakta bahwa korban-korban kekerasan seksual pada akhirnya terpaksa harus memperjuangkan keadilan bagi diri mereka sendiri melalui mekanisme viral di media sosial karena beberapa alasan. Pertama, korban merasa sulit mengakses keadilan dengan berbagai alasan seperti kurangnya alat bukti, anjuran untuk menyelesaikan secara “kekeluargaan”, dan tidak mendapatkan penyelesaian yang memuaskan. Kedua, kekerasan seksual berulang dan dialami oleh lebih banyak orang sehingga meminta pertolongan lewat media sosial menjadi sangat memungkinkan karena akan banyak orang yang berempati.
Alasan ketiga, korban merasa belum puas dan mencoba mencari keadilan melalui jalan lain yakni dengan membagikan ceritanya di media sosial. Dalam beberapa kasus, tidak selalu korban yang secara langsung bercerita (atau istilah populernya spill the tea), teman atau pendamping korban juga berperan dalam membagikan cerita tersebut. Keempat, setelah korban maupun penyintas membagikan ceritanya di media sosial ada dua kemungkinan yang terjadi yakni menjadi viral atau terkubur dalam belantara ruang siber. Dengan kata lain, kalau berhasil viral mereka punya kesempatan meraih keadilan. Kalaupun tidak viral, paling tidak mereka bisa merasa lega dan aman menceritakan ketidakadilan yang mereka alami melalui media sosial.
Selain belum terbukanya akses secara legal formal untuk memperjuangkan keadilan bagi para penyintas kekerasan seksual, solusi dari masyarakat setiap terjadinya kasus kekerasan seksual juga patut kita pertanyakan kembali. Pada kasus kekerasan seksual di Indonesia, menikahkan pelaku dan korban adalah hal yang sering terjadi.
Berdasarkan rangkaian studi Barometer Kesetaraan Gender Tahun 2020 dari Indonesian Judicial Research Society (IJRS) yang salah satunya berbicara dengan 1.586 responden yang terlibat kasus kekerasan seksual, hanya terdapat 19,2% kasus di mana pelaku dipenjara. Sebanyak 26.2% korban kekerasan seksual dalam berbagai kasus tersebut justru dinikahkan dengan pelaku sebagai penyelesaian kasus – sisanya bahkan tidak mendapatkan penyelesaian masalah di mana pelaku hanya membayar sejumlah uang (Ashila dan Maharani, 2021).
Ashila dan Maharani (2021) menjelaskan bahwa menikahkan penyintas dan pelaku kekerasan seksual terjadi karena beberapa alasan. Dari menutup aib keluarga, agar anak yang dilahirkan memiliki ayah, hingga menghindari tanggung jawab pidana. Padahal, menikahkan korban dengan pelaku berpotensi menimbulkan kekerasan yang berulang bagi korban, baik secara emosional, fisik, maupun seksual, serta merampas hak korban untuk memulihkan dirinya. Alih-alih fokus pada pemulihan dan kebutuhan korban, berdasarkan kajian Ashila dan Maharani (2021), solusi pernikahan justru mengkerdilkan kekerasan dan trauma yang dialami korban.
Kurangnya political will dari pejabat publik dan wakil rakyat juga mengakibatkan pencegahan serta penindakan kekerasan seksual menjadi sulit. Sudah lebih dari satu dekade sejak Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual pertama kali pada 2012. Selama itu pula, RUU ini menghadapi berbagai hambatan, antara lain dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, penolakan dari publik, hingga akhirnya masuk kembali dalam Prolegnas Prioritas 2021 di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (Budiarti, 2021).
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus menilai ketidaksepakatan yang terjadi di tengah fraksi dalam pembentukan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, terjadi karena ketiadaan naskah akademik yang mumpuni. Sementara Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menyayangkan kinerja lamban DPR tersebut. Menurut Siti Aminah Tardi, draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual versi 1 November 2021 sudah lebih baik ketimbang draf sebelumnya, yaitu versi 1 Agustus 2021. Meski masih perlu catatan penyempurnaan untuk bagian kekerasan seksual siber, isu sistem layanan terpadu, dan pemantauan (Tirto, 2021).
Melihat begitu lambannya kinerja DPR dalam pembahasan RUU Pencegahan Kekerasan Seksual (tapi di sisi lain begitu cepat mengesahkan Omnibus Law yang banyak diprotes itu) kita sebagai rakyat harus terus memperkuat gerakan kolektif rakyat untuk mengadvokasi pencegahan kekerasan seksual di berbagai tempat. Menekan DPR agar segera menyelesaikan pembahasan serta mengesahkan RUU Pencegahan Kekerasan Seksual juga harus terus dilakukan karena penundaan terus menerus akan sangat berisiko bagi korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan, kebenaran, dan pemulihan. Korban kekerasan seksual membutuhkan kepastian hukum. Ditambah lagi pola-pola kasus kekerasan seksual terus berkembang.
Berikutnya, mengutip hasil kajian Budiarti (2021), edukasi tentang pencegahan kekerasan seksual perlu dilakukan dengan memastikan bahwa informasi yang diberikan menggunakan bahasa yang mudah dipahami, tidak bersifat memaksa ataupun agresif, dan dilakukan lewat agen-agen sosialisasi yang ramah serta dekat kepada masyarakat. Agen-agen sosialisasi ini dapat berupa tokoh agama, komunitas di masyarakat (kelompok pengajian, Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), paralegal komunitas dan sebagainya) ataupun aparat setempat seperti perangkat RT, RW, dan kepala desa. Pemberdayaan agen-agen ini penting karena selain dapat meningkatkan kapasitas mereka, ini juga dapat memastikan bahwa pesan yang disampaikan dapat dilakukan dengan cara yang paling ramah dan mudah dipahami masyarakat.
Untuk langkah awal, mari tanamkan dalam diri dan sekitar kita:
Jangan melecehkan! Jangan memperkosa!
Photo by Mika Baumeister on Unsplash