Kita semua sudah tahu bahwa teknologi sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sebagai individu maupun makhluk sosial. Tetapi barangkali banyak dari kita belum sadar bahwa kita terjebak diantara technophilia (terlalu cinta/optimis pada perkembangan teknologi) di satu sisi dan technophobia (terlalu takut/benci/pesimisi pada perkembangan teknologi) di sisi lainnya. Dua hal yang sama-sama tidak terlalu menguntungkan untuk masyarakat.
Sebagian orang terlampau optimis pada perkembangan teknologi yang menurut mereka adalah peluang besar untuk melakukan lompatan peradaban. Mereka seringkali terjebak pada jargon-jargon seperti “Revolusi Industri 4.0” atau “Otomatisasi”, seolah lupa bahwa teknologi tingkat tinggi yang bisa mewujudkan impian mereka tersebut sampai saat ini hanya dikuasai oleh orang-orang super kaya di dunia. Di sisi yang berbeda, sebagian orang lainnya terlalu pesimistis pada perkembangan teknologi dan menganggap bahwa hal tersebut hanya akan membawa kemunduran tanpa mau memperhatikan bahwa ada manfaat-manfaat dari teknologi yang terus dikembangkan.
Agar kita tidak terjebak diantara kedua sikap ekstrim tersebut, perlu kiranya kita mengenal sosio-teknologi. Secara umum, definisi sosioteknologi adalah sebuah epistemologi pengembangan sains dan teknologi dengan sudut pandang aspek kemasyarakatan dan kemanusiaan. Studi ini memiliki fungsi dan peran untuk mentransformasikan masyarakat menjadi masyarakat pengetahuan yang kritis, kreatif, dan inovatif. Sosioteknologi sendiri mencoba menelaah lebih jauh tentang keterkaitan ataupun relasi antara manusia dengan teknologi. Penelaahan ini berkaitan dengan implikasi yang ditimbulkan teknologi terhadap segi-segi kehidupan dan penghidupan masyarakat –bagaimana seharusnya mengelola dampak dan peran teknologi tersebut dalam meningkatkan derajat kemasyarakatan di satu sisi, serta bagaimana seharusnya sikap dan peran masyarakat dalam menerima fungsi teknologi itu di sisi lain (Sinaga, 2001).
Sosio-teknologi memandang bahwa teknologi bukanlah “benda mati”, ia “hidup”. Ia memiliki mekanisme dan dinamika kerjanya sendiri. Mekanisme itu dapat mengubah manusia penggunanya sehingga manusianya sehingga manusianya ikut menjadi alat. Manusia yang pada hakikatnya adalah makhluk yang mengekspresikan keunikan dirinya lewat pekerjaannya (homo faber), akhirnya bisa kehilangan kemanusiaannya dan menjadi alat belaka atau salah satu komponen saja dari sistem pekerjaan atau produksinya. Karena merupakan suatu kesatuan sistem, teknologi bukan sekadar alat tidak berjiwa, ia bahkan mampu menciptakan dunianya sendiri dengan seperangkat sistem nilainya (Mangunwijaya, 1983).
Selain sosio-teknologi, konsep lain yang penting kita ketahui agar tidak terjebak diantara technophilia dan technophobia adalah konsep teknokultur. Istilah teknokultur sendiri, seperti yang dikatakan oleh Sardar & Loon (2001) dalam Syahrie (2017), menegaskan adanya hubungan yang mendalam antara teknologi dan budaya, dan mendorong tumbuhnya kesadaran bahwa teknologi jarang atau bahkan sekarang sudah tidak mungkin lagi terpisah dari manusia. Teknologi bisa berada di dalamtubuh manusia (misal, teknologi medis, makanan yang diproses), di sampingmanusia (telepon), dan di luarsana (satelit-satelit). Terkadang manusia mendiami teknologi (sebuah ruang kantor dengan suhu terkontrol), atau sebaliknya (sebuah alat pacu jantung); terkadang teknologi tampak menjadi anggota badan atau perangkat penganti anggota tubuh yang difabel (sepasang kacamata atau kaki palsu). Lalu pada saat yang lain, manusia tampil untuk melayani teknologi sebagai anggota badan dari sebuah mesin besar (sebagaimana dalam jalur perakitan di pabrik).
Contoh penerapan analisis sosio-teknologi dan teknokultur secara sederhana dalam kehidupan sehari-hari kita adalah dengan melihat fenomena media sosial. Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat mendapat banyak manfaat dari hadirnya media sosial. Contohnya, masyarakat mendapatkan akses pengetahuan yang lebih luas serta bisa bertemu dengan kawan lama atau membangun relasi baru. Selain itu, masyarakat dapat pula memanfaatkan media sosial untuk menunjang karier dan mendapatkan penghasilan dengan cara mulai membuat berbagai macam konten seperti tulisan, gambar, dan video atau sesederhana memanfaatkan media sosial untuk berdagang. Tetapi di sisi lain kita juga bisa melihat dengan jelas bahwa media sosial dapat dijadikan sarana penyebaran kabar bohong dan narasi yang bisa memecah belah masyarakat.
Analisis sosio-teknologi dan teknokultur memungkinkan kita untuk mengetahui aspek sosial dan budaya macam apa yang menghasilkan baik praktik bermedia sosial yang bermanfaat amupun yang merugikan. Dengan begitu kita bisa melakukan semacam rekayasa sosial budaya yang dapat memaksimalkan manfaat media sosial dan meminimalisasi kerugian bagi masyarakat dari adanya media sosial.
Pada akhirnya terlalu cinta akan selalu membuat anda gila dan terlalu benci akan selalu membuat anda dengki sampai hilang kendali, berlaku untuk banyak hal termasuk kepada teknologi.
Referensi
Mangunwijaya, Y. B. 1983. Teknologi dan Dampak Kebudayaannya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sardar, Ziauddin & Borin van Loon. 2001. Mengenal Cultural Studies for Beginners. Bandung: Mizan.
Sinaga, Anggiat. 2001. Sains, Teknologi dan Kemasyarakatan. Warta Sosioteknologi: ITB.
Syahrie, P. Sugeng. 2017. TEKNOKULTUR: Menautkan Teknologi dan Budaya, Mengilmui Praktik Kuliner. Jakarta: Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta.
Foto: Kartitedjo Audio Visual (Changemaker Creative Hub)