Hidup Memang Tidak Main-Main, tapi Bukan Berarti Bermain, Mainan, dan Permainan Tidak Penting

Share on facebook
Share on google
Share on twitter
Share on linkedin
Share on whatsapp

Ada tiga hal dalam kehidupan kita yang indah dalam kenangan tapi kemudian kita pinggirkan seiring bertambah tuanya kita: Bermain, Mainan, dan Permainan. Mainan berkait erat dengan benda, sedangkan permainan berhubungan dengan cara memainkan mainan atau aktivitas bermain. Iswinarti (2010) yang dikutip oleh Nur (2013), menyatakan bahwa pada tahap perkembangan anak bermain berperan penting dalam tiga hal.

Peran pertama bermain adalah dalam hal belajar. Terkait hal ini, bermain dapat melengkapi kegiatan sekolah anak, yang dapat memberi kesempatan kepada anak untuk memahami, meresapi, dan memberi arti kepada apa yang mereka pelajari dalam seting pendidikan formal. Secara khusus, bermain menjadi penting yaitu membantu anak untuk memperoleh ”bukan informasi khusus, tetapi mindset umum dalam pemecahan masalah”.

Kedua, terkait dengan perkembangan fisik. Bermain dapat mendukung perkembangan fisik dan kesehatan mental yang baik. Bermain memfasilitasi anak dalam beraktivitas fisik, meliputi kegiatan berolah raga, yang mengungkinkan meningkatnya koordinasi dan keseimbangan tubuh, serta mengembangkan keterampilan dalam pertumbuhan anak. Sedangkan sumbangan untuk kesehatan mental adalah membantu anak untuk membangun dan mengembangkan resiliensi (daya tahan) terhadap tekanan dalam hidup. Ketiga, bermain memberi kesempatan untuk menguji anak dalam mengahadapi tantangan dan bahaya.

Manfaat bermain, mainan, dan permainan pada kehidupan anak tidak berhenti pada ketiga hal di atas saja. Mutiah (2011) memberikan beberapa contoh manfaat dari bermain, mainan, dan permainan. Bermain, mainan, dan permainan dapat dimanfaatkan sebagai sarana menumbuhkan kemampuan sosialisasi pada anak. Bermain memungkinkan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya yang dapat mengajarkan anak untuk mengenal dan menghargai orang lain. Eliasa (2012) juga mengemukakan bahwa bermain juga dapat mengajari anak mengurangi egosentrisnya karena berusaha bersaing dengan jujur, sportif,  tahu akan haknya dan peduli dengan hak orang lain, sarana belajar berkomunikasi dan berorganisasi.

Selanjuntya, bermain, mainan, dan permainan dapat dilihat sebagai sarana mengembangkan kemampuan dan potensi anak. Bermain dapat memungkinkan anak untuk mengenali berbagai macam benda, mengenali sifatnya, serta peristiwa yang terjadi di lingkungannya. Hal ini dapat menstimulasi kemampuan fantasi anak. Terakhir, ketiga hal tersebut dapat digunakan sebagai sarana mengembangkan emosi anak. Ketika anak bermain dapat timbul rasa gembira, senang, tegang, puas, ataupun kecewa. Dengan demikian, anak dapat menghayati berbagai rasa yang dirasakannya ketika bermain.

Selain dengan tahap perkembangan anak, bermain, mainan, dan permainan juga berkaitan erat dengan kebudayaan. Menurut Bagas Indrayana, dkk (2010), Apabila salah satu sifat kebudayaan adalah hasil pengalaman dari proses belajar (Ember dan Ember, 1994), maka suatu permainan memiliki kandungan makna yang signifikan sebagai salah satu proses pembentukan diri yang memuat faktor pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan. Permainan merupakan elemen dasar dari kebudayaan, permainan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan fisik dan daya seleksi yang berlangsung sejak masa anak-anak.

Kedudukan penting permainan mewamai sendi-sendi kehidupan anak, termasuk kreativitas berkesenian. Huizinga menjelaskan, bahwa keberadaan seni didorong oleh sifat bawaan manusia dalam bermain (Huizinga, 1990). Dengan demikian, permainan adalah salah satu syarat dari kebudayaan, yaitu unsur yang mengantarkan seseorang mengalami diri sebagai totalitas yang bebas, yang mendorong ia berbuat kreatif dalam berkesenian.

Kaitan antara bermain, mainan, dan permainan dengan kebudayaan membuka diskusi Kembali tentang mainan dan permainan tradisional. Dua hal yang disebut terakhir tersebut identik dengan suatu sistem pewarisan yang dipandang sebagai kebiasaan secara turun temurun. Bagas Indrayana, dkk (2010) mencontohkan misalnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, terdapat aneka benda mainan yang dapat dibuat oleh anak-anak secara mandiri, sesuai dengan potensi di daerah ini.

Anak-anak sangat mahir merangkai batang bunga tebu menjadi benda mainan, dapat memainkan pelepah pisang untuk mainan kuda-kudaan, juga membuat beragam benda mainan dari unsur tanah, api, angin, dan air. Benda mainan itu dapat ditemukan di kalangan anak-anak pedesaan, misalnya sempritan, wadah untuk pasaran, long bumbung, kitiran, rakit batang pisang, dan masih banyak lagi. Mereka dengan asyiknya membuat mainannya sendiri dari bahan yang ditemukan di sekitamya, mereka belajar memperoleh pengalaman, pengetahuan, dan keterampilan, sesuatu yang mulai terkikis oleh tersedianya mainan produk industri modem di toko-toko.

Kaitan antara bermain, mainan, dan permainan dengan kebudayaan tidak hanya berhenti pada soal pewarisan tradisi tapi juga berlanjut tentang bagaimana ketiga hal tersebut dapat dilihat sebagai media penyampaian gagasan pembaruan. Pada awal tahun 2000-an muncul suatu fenomena “Toys Movement” yakni bahwa “Toys” bukan hanya sekadar mainan anak, melainkan menjadi suatu media yang digemari oleh orang dewasa dengan berbagai aplikasi fungsi (Bandung Magazine, 2015). Sejak itu beberapa kalangan menjadikan toys sebagai sarana ekspresi diri yaitu sarana hiburan, hobi, koleksi, hingga menjadikan toys sebagai media komunikasi dalam menuangkan gagasan baik dalam bentuk karya seni, kritik, ataupun penyampaian gagasan tertentu (Oktaviani, 2019).

Oktaviani (2019) menjelaskan bahwa sejak mulainya era yang disebut di paragraph sebelumnya, toys yang memiliki konsep dikenal dengan istilah Urban Vinyl/Designer Toys/Art Toy atau Urban toys. Berkembangnya istilah tersebut memunculkan perbedaan yang mendasar antara mainan anak-anak dengan urban toys yang memiliki konsep tersendiri, yang menyasar berbagai kalangan. Urban toys sendiri didesain sedemikian rupa oleh para pembuat toys yang dikenal juga sebagai perancang ide dan gagasan yakni seorang “Artis”. Gagasan karya yang dibuat bisa bersumber dari pengalaman, lingkungan sekitar, pemikiran, hingga murni hasil karya imajinasi artis yang membuat.

Sebagai penutup, kehidupan yang kita rasakan sepertinya semakin hari semakin keras dan serius. Seolah-olah tidak ada ruang dan waktu untuk bersantai bahkan untuk sesaat saja. Ada baiknya, untuk sejenak kita santai sebentar dan berinteraksi lagi dengan kegembiraan masa kecil kita melalui bermain, mainan, dan permainan. Karena kehidupan yang sedemikian keras, serius, dan tidak main-main sepeti yang kita alami saat ini tak bisa dijalani tanpa bermain, mainan, dan permainan.

Referensi

Eliasa, E.I. 2012. “Pentingnya Bermain Bagi Anak Usia Dini”. Presentasi Power Point.

Ember, Carol R. dan Melvin Ember. 1994. “Teori dan Metode Antropologi Budaya” dalam T.O. lhromi (Editor), Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.

Huizinga, Johan. Terjemahan Hasan Basari. 1990. Homo Ludens Fungsi dan Hakekat Permainan dalam Budaya. Jakarta: LP3ES.

Indrayana, Bagas dkk. 2010. Mainan Tradisional Di Daerah lstimewa Yogyakarta dalam Konteks Perkembangan Kreativitas Anak. Ornamen, Vol. 7 No.2, Desember 2010, 1-18.

Iswinarti. 2010. ”Nilai-Nilai Terapiutik Permainan Tradisional Engklek untuk Anak Usia Sekolah Dasar”. Presentasi Power Point.

Mutiah, D. 2010. Psikologi Bermain Anak Usia Dini. Kencana: Jakarta.

Nur, Haerani. 2013. Membangun Karakter Anak Melalui Permainan Anak Tradisional. Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, Nomor 1, Februari 2013, 87-94. Oktaviani, Rani Chandra. 2019. Urban toys Komunikasi Visual sebagai Citra Intermix Tradisional dan Budaya Populer. PRofesi Humas, Volume 3, No. 2, 2019, 114-133.

Photo by Robert Collins on Unsplash

More to explorer

Mengenal Jenis Jenis Wirausaha di Indonesia

Sektor wirausaha merupakan salah satu perhatian pemerintah dalam melakukan upaya pembangunan jangka menengah. Hal tersebut dikarenakan adanya wirausaha yang dilakukan oleh masyarakat

Close Menu