You are currently viewing Di Mata Penguasa, Semua Bidang Ilmu Terlihat Sama Saja

Di Mata Penguasa, Semua Bidang Ilmu Terlihat Sama Saja

Pandemi Covid-19 yang sekarang terjadi mendorong kesadaran dan pembicaraan yang luas di ranah masyarakat tentang kebijakan berbasis bukti ilmiah atau yang dalam kajian kebijakan publik lebih dikenal sebagai Evidence-Based Policy. Sudah banyak warga masyarakat yang kritis dan merasa bahwa penanganan pandemi Covid-19 sekarang tidak sesuai dengan model evidence-based policy karena saran para ilmuwan dan tenaga kesehatan banyak yang tidak dipedulikan oleh pemerintah.

Di sisi lain diantara masyarakat sendiri juga muncul perdebatan tentang bidang ilmu mana yang harusnya jadi dasar kebijakan. Tulisan ini akan mencoba memahami permasalahan yang sekarang terjadi dengan menguraikan sejarah konsep dan praktik evidence-based policy, hubungan kekuasaan dan pengetahuan dari perspektif kritis, dan pandangan tentang pemanfaatan berbagai bidang ilmu pengetahuan oleh elite-elite politik yang berkuasa.

Evidence-Based Policy: Perjalanan Sebuah Konsep

Sejak dekade 1990-an, dalam wacana studi administrasi publik pada umumnya dan studi kebijakan publik pada khususnya terjadi peningkatan perhatian kepada proses pembuatan kebijakan (policymaking) yang alih-alih berbasis kepada ideologi politik atau populisme semata tetapi berbasis bukti-bukti ilmiah. Bila ditelisik lebih lanjut konsep evidence-based policy tersebut mengambil contoh dari keberhasilan pembuatan obat berbasis bukti-bukti ilmiah (evidence-based medicine) yang pada waktu itu mulai mengalami peningkatan popularitas, ironisnya sekarang dalam penanganan pandemi Covid-19 bidang yang menginspirasi munculnya evidence-based policy (bidang medika) justru kurang didengarkan oleh pembuat kebijakan.

Beberapa literatur secara umum mendefinisikan konsep evidence-based policy sebagai suatu proses penggunaan bukti-bukti ilmiah yang obyektif dan ketat untuk memberikan informasi bagi pengembangan, implementasi, dan praktik kebijakan publik. Konsep evidence-based policy ditandai dengan tiga karakteristik utama. Pertama, bukti-bukti ilmiah harus diuji secara ketat dan dapat dilakukan replikasi terhadap bukti-bukti ilmiah tersebut. Kedua, bukti-bukti ilmiah tersebut secara metodologis harus benar-benar logis dan rasional. Ketiga, penggunaan bukti-bukti ilmiah tersebut dalam proses-proses kebijakan publik harus transparan.

Dari perspektif sejarah, evidence-based policy menjadi semakin populer setelah pada tahun 1997, Tony Blair dari Partai Buruh terpilih sebagai Perdana Menteri Inggris dengan platform ‘what matters is what works’. Pemerintahan Blair mewacanakan bahwa untuk mengembangkan kebijakan publik yang baik perlu dilandasi dengan bukti-bukti ilmiah yang terpercaya alih-alih respon jangka pendek dari tekanan-tekanan politik, serta mengkahiri pembuatan kebijakan publik yang didasarkan pada ideologi-ideologi politik yang pada waktu itu sangat mendominasi.

Konsep evidence-based policy bukan tanpa kritik. Salah satu kritik datang dari James Ferguson yang menyatakan dalam bukunya yang berjudul The Anti-politics machine:”Development,” De-politicization, and Bureaucratic Power in Lesotho dapat membantu menganalisis fenomena kebijakan “pembangunan” yang “berbasis bukti-bukti ilmiah” berusaha menghilangkan political nature dari proses kebijakan publik sehingga disebut Ferguson sebagai “mesin anti-politik”. Ferguson menyatakan bahwa “Mesin Anti-Politik” telah menciptakan kebijakan-kebijakan yang sangat “teknis” dan “rasional” dan kemudian menyingkirkan aspek politik (depolitisasi) dalam setiap masalah yang ada. Itulah yang menurut Ferguson mengakibatkan terjadinya kegagalan “pembangunan” dan makin meluasnya kekuasaan birokratis-teknokratis.

Menyelami Hubungan Kekuasaan dan Pengetahuan

Jauh sebelum konsep evidence-based policy populer, kekuasaan sudah berhubungan dengan pengetahuan. Seorang filsuf Prancis, Michel Foucault, menerangkan bahwa kekuasaan (power) selau hadir bersama dengan pengetahuan (knowledge) yang  dapat dibuat dari beragam sudut pandang, istilah, gagasan, aturan, komentar, hukum, dan berbagai definisi yang dihasilkan oleh berbagai macam disiplin ilmu.

Foucault menerangkan lebih lanjut bahwa kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggaraan pengetahuan menurut Foucault selau memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaan. Hampir tidak mungkin kekuasaan tidak ditopang dengan suatu bentuk wacana kebenaran atau mungkin lebih tepat disebut wacana pembenaran. Pengetahuan bukan merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa, namun pengetahuan berada dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Singkatnya, kekuasaan akan selalu memproduksi dan menggunakan pengetahuan untuk menopang stabilitas atau kalau bisa memperluas pengaruh mereka.

Foucault mencontohkan bahwa kekuasaan menghasilkan bidang-bidang ilmu seperti psikiatri, psikologi, kedokteran, sosiologi, kriminologi bahkan teologi untuk mengontrol “kegilaan”. Sementara menurut Yuval Noah Harari dalam Sapiens, sebagian besar studi saintifik didanai karena penguasa percaya hal tersebut bisa membantu mencapai tujuan politik atau ekonomi.

Misalnya, pada abad ke-16, raja-raja dan para bankir menyalurkan sumber daya yang sangat besar untuk mendanai ekspedisi-ekspedisi geografi di seluruh dunia. Ini karena para raja dan para bankir menduga bahwa penemuan pengetahuan geografis baru akan memungkinkan mereka menaklukkan wilayah-wilayah baru dan mendirikan imperium-imperium dagang. Penjelasan dari Michel Foucault dan Yuval Noah Harari tersebut menunjukan bahwa sebenarnya anggapan kalau di dunia ini ada pemerintahan atau penguasa yang anti-sains sepenuhnya itu kurang tepat, yang lebih tepat adalah mereka hanya mendukung bidang ilmu yang sesuai dengan kepentingan ekonomi-politik mereka saja.

Semua Sama-Sama Terlihat Tak Berguna

Sekarang mari kita lihat apa yang terjadi bada banyak bidang ilmu pengetahua sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Pertama-tama, peringatan tentang pandemi dari para saintis malah dianggap sebagai upaya menakut-nakuti. Kemudian orang-orang di bidang medika seolah tak berharga nyawanya. Selanjutnya ekonom tak didengarkan, kartu pra-kerja dengan skema berantakan tetap saja digolkan. Bidang pariwisata dipaksa untuk menggenjot pendapatan tapi tak diberi bantuan dan jaminan kesehatan. Saran dari bidang komunikasi tak diindahkan, komunikasi publik penguasa tak pernah enak didengarkan.

Nasihat tentang wabah di masa lalu dan pengetahuan lokal dari sejarawan, arkeolog, dan antropolog dianggap angin lalu. Contoh baik dari negara lain yang coba diangkat para ahli ilmu politik dan hubungan internasional tidak dilihat. Pemberdayaan masyarakat dari para praktisi pembangunan sosial hanya dipuji untuk kemudian diklaim sebagai hasil kerja penguasa. Kajian perbaikan birokrasi dan pelayanan publik dari pengkaji kebijakan publik tidak dibaca. Tawaran dari para Sosiolog malah diolok-olok.

Saran tentang ketahanan pangan, kelestarian alam, dan kesehatan hewan dari bidang pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, dan kedokteran hewan tak pernah jadi kebijakan. Ribuan data dan statistik dari para ahli data dan statistika hanya jadi pajangan semata. Bidang psikologi berusaha keras menyehatkan mental warga di masa pandemi, sementara penguasa tak kunjung sadar diri.

Inovasi dari para insinyur teknik dipersulit sampai mereka tak berkutik. Pemetaan dan saran tata kelola pemukiman dari para ahli geografi dan planologi tak dipakai untuk mengatasi pandemi. Bidang hukum dilanggar, sementara saran tentang etika dari filsafat dan teladan dari karya sastra tak didengar. Bidang agama diperalat, hanya dijadikan sebagai pembenar. Kesimpulannya, kita tidak perlu berdebat tentang bidang ilmu mana yang lebih diperhatikan dalam penanganan pandemi Covid-19 sekarang ini. Karena pada kenyataanya yang terjadi adalah: di mata penguasa, semua bidang ilmu terlihat sama saja. Sama-sama dianggap tidak berguna kalau tidak sesuai dengan kepentingan ekonomi-politik mereka.

*Featured image: Science in HD

Leave a Reply