Sebagai negara yang sedang berkembang dan sedang membangun, bangsa Indonesia masih memiliki beberapa ketertinggalan dan kekurangan jika dibandingkan negara lain yang sudah lebih maju. Salah satunya adalah dalam bidang kesehatan, khususnya soal gizi. Berkaitan dengan gizi, Indonesia adalah negara yang mengalami dua masalah gizi sekaligus yaitu kekurangan gizi dan kelebihan gizi.
Dengan kata lain, di satu sisi bangsa Indonesia masih harus berjuang memerangi berbagai macam penyakit infeksi dan kurang gizi yang saling berinteraksi satu sama lain menjadikan tingkat kesehatan masyarakat Indonesia tidak kunjung meningkat secara signifikan. Sedangkan di sisi lain, di beberapa daerah lain atau pada sekelompok masyarakat Indonesia yang lain terutama di kota-kota besar, masalah kesehatan masyarakat utama justru dipicu dengan adanya kelebihan gizi.
Kekurangan Gizi
Salah satu contoh kejadian kekurangan gizi di Indonesia adalah balita pendek atau biasa disebut dengan stunting. Data Prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4% (Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia, 2018).
Di Indonesia, stunting merupakan masalah serius dan juga merupakan masalah gizi utama yang sedang dihadapi (Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia, 2018). Bila masalah ini bersifat kronis, maka akan memengaruhi fungsi kognitif yakni tingkat kecerdasan yang rendah dan berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Masalah stunting memiliki dampak yang cukup serius; antara lain, jangka pendek terkait dengan morbiditas dan mortalitas pada bayi/balita, jangka menengah terkait dengan intelektualitas dan kemampuan kognitif yang rendah, dan jangka panjang terkait dengan kualitas sumberdaya manusia dan masalah penyakit degeneratif di usia dewasa (Aryastami, 2017; Saputri dan Tumangger, 2019).
Hasil Riset Kesehatan Dasar menunjukan bahwa dari 34 provinsi yang ada di Indonesia, lebih dari separuhnya memiliki angka prevalensi diatas rata-rata nasional. Kesenjangan prevalens Stunting antar provinsi yang masih lebar antara DIY (22,5%) dan NTT (58,4%) menunjukkan adanya ketimpangan dan pembangunan yang tidak merata.Ditambah juga pengalaman dan bukti Internasional menunjukkan bahwa stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja, sehingga mengakibatkan hilangnya 11% GDP (Gross Domestic Products) serta mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20%. Selain itu, stunting juga dapat berkontribusi pada melebarnya kesenjangan/ inequality, sehingga mengurangi 10% dari total pendapatan seumur hidup dan juga menyebabkan kemiskinan antar-generasi (10 Kabupaten/Koota Prioritas untuk Itervensi Anak Kerdil (Stunting), 2017).
Sebenarnya, telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menurunkan angka stunting di Indonesia. Hal ini terlihat dari turunnya prevalensi Balita stunting dari 37,2% pada tahun 2013 menjadi 30,8% pada tahun 2018. Prevalensi Baduta stunting juga mengalami penurunan dari 32,8% pada tahun 2013 menjadi 29,9% pada tahun 2018 (Satriawan, 2018). Namun meski demikian, penurunan angka tersebut masih jauh dari yang ditargetkan. Penurunan angka stunting hanya mencapai 4% antara tahun 1992 hingga 2013 (Aryastami, 2017).
Kondisi bertambah sulit karena pada level implementer program dan masyarakat, persoalan stunting seolah masih terdengar asing. Masih terdapat banyak masyarakat yang belum mengetahui perihal stunting, baik dari definisi, penyebab, dampak yang ditimbulkan hingga penanggulangan yang dapat dilakukan. Hal ini terlihat kontras sekali dengan kondisi di hulu, yang mana pemerintah telah banyak mengeluarkan kebijakan dan menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk program penanggulangan stunting yang tentu saja semestinya sampai dan dirasakan oleh masyarakat (Saputri dan Tumangger, 2019; Aryastami dan Tarigan, 2017).
Kelebihan Gizi
Modernisasi dan kecenderungan pasar global yang telah dirasakan di sebagian besar negara-negara berkembang telah memberikan kepada masyarakat beberapa kemajuan dalam standar kehidupan dan pelayanan yang tersedia. Akan tetapi, modernisasi juga telah membawa beberapa konsekuensi negatif yang secara langsung dan tidak langsung telah mengarahkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan pola makan dan aktivitas fisik yang berperanan penting terhadap munculnya salah satu contoh penyakit kelebihan gizi yaitu obesitas.
Saat ini terdapat bukti bahwa prevalensi kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas meningkat sangat tajam di seluruh dunia yang mencapai tingkatan yang membahayakan. Kejadian obesitas di negara-negara maju seperti di negara-negara Eropa, USA, dan Australia telah mencapai tingkatan epidemi. Akan tetapi hal ini tidak hanya terjadi di negara-negara maju, di beberapa negara berkembang seperti Indonesia obesitas juga telah menjadi masalah kesehatan yang serius.
Di Indonesia pada masa akhir Orde Baru saja tahun 1996/1997 di ibukota seluruh provinsi Indonesia menunjukkan bahwa 8,1% penduduk laki-laki dewasa (>=18 tahun) mengalami overweight (BMI 25- 27) dan 6.8% mengalami obesitas, 10,5% penduduk wanita dewasa mengalami overweight dan 13,5% mengalami obesitas. Pada kelompok umur 40-49 tahun overweight maupun obesitas mencapai puncaknya yaitu masing-masing 24,4% dan 23% pada laki-laki dan 30,4% dan 43% pada wanita.
Beberapa survei yang dilakukan secara terpisah di beberapa kota besar menujukkan bahwa prevalensi obesitas pada anak sekolah dan remaja cukup tinggi. Pada anak SD prevalensi obesitas mencapai 9,7% di Yogyakarta (5) dan 15,8% di Denpasar (6). Survei obesitas yang dilakukan pada anak remaja siswa/siswi SMP di Yogyakarta juga menunjukkan bahwa 7,8% remaja di perkotaan dan 2% remaja di daerah pedesaan mengalami obesitas. Angka prevalensi obesitas di atas sudah merupakan warning bagi pemerintah dan masyarakat luas bahwa obesitas dan segala implikasinya sudah merupakan ancaman yang serius bagi masyarakat Indonesia khususnya di kota-kota besar (Hadi, 2004).