Tulisan ini ditulis dengan tujuan untuk memberikan semangat dan menumbuhkan rasa percaya diri mahasiswa-mahasiswa FISIPOL UGM yang akan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata tapi sering diremehkan oleh teman-teman dari klaster keilmuan lain atau bahkan oleh Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) tim KKN-nya sendiri karena dianggap mahasiswa ilmu sosial-ilmu politik hanya bisa bicara saja dan hanya berguna ketika sosialisasi. Tentu saja rasanya akan lebih down kalau anda diremehkan hanya gara-gara tidak punya uang untuk membeli Drone yang sebenarnya bisa jadi hanya digunakan sebagai wahana menambah koleksi foto di Instagram.
Mengapa Ilmu dan Mahasiswa Sosial-Humaniora Sering Dianggap Tidak Berguna?
Sebelumnya, pertama-tama kita harus tahu mengapa ilmu sosial-humaniora dan mahasiswa FISIPOL seperti anda sering dianggap tidak berguna. Menurut penulis sendiri (yang sudah pernah penulis tuliskan di situs ini juga) ada dua sebab besar munculnya anggapan bahwa ilmu sosial-humaniora tidak berguna yaitu sebab eksternal dan sebab internal. Sebab eksternal yang pertama adalah masuknya kekuatan pasar global yang begitu kuat ke dalam perguruan-perguruan tinggi di Indonesia pasca penandatanganan GATS yang diinisiasi oleh WTO. Kekuatan pasar tersebut kemudian mendefinisikan mana yang “bermanfaat” dan “tidak bermanfaat”. Dan kita sama-sama tahu bahwa banyak hal yang bermanfaat bagi pasar adalah hal-hal yang bersifat fisik dan bisa diukur secara jelas dengan angka. Sesuatu yang “sulit” dihasilkan oleh ilmu sosial-humaniora.
Sebab eksternal kedua adalah kekuasaan negara yang mencengkeram ilmu sosial-humaniora di Indonesia. Menurut Hadiz dan Dhakidae (2006) apa yang terjadi dengan perkembangan ilmu sosial di Indonesia dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari konteks kekuasaan negara pada masa Orde Baru (1966-1998). Pada masa itu keterkaitan antara ilmu sosial dan kekuasaan terlihat sangat jelas. Rezim Orde Baru juga merekayasa sedemikian rupa perkembangan ilmu sosial di Indonesia agar sesuai dengan kebutuhan kekuasaan (Dhakidae, 2003). Konsekuensi logis dari keterlibatan sistematis kekuasaan negara Orde Baru dalam rekayasa perkembangan ilmu sosial di Indonesia pada masa itu adalah terbentuknya orientasi pengajaran, pendidikan, dan kegiatan penelitian yang sangat developmentalis (Nugroho, 2006).
Pasca runtuhnya Orde Baru ternyata kekuasaan negara yang mencengkeram ilmu sosial-humaniora di Indonesia tersebut masih ada meskipun sudah tak sekuat ketika masa Orde Baru. Kekuasaan negara (sebagaimana kekuasaan pasar) kemudian mendefinisikan mana yang “bermanfaat” dan “tidak bermanfaat”. Dan kita sama-sama tahu bahwa hal-hal yang bermanfaat bagi negara adalah hal-hal yang bisa melanggengkan kekuasaan negara atau dengan kata lain jangan sampai kritis terhadap negara. Padahal wacana kritis adalah salah satu aspek utama dalam ilmu sosial.
Sedangkan dari internal kalangan ilmu sosial-humaniora di Indonesia sendiri ada dua sebab internal kenapa muncul anggapan bahwa ilmu sosial-humaniora tidak bermafaat. Sebab internal pertama adalah positivisme (yang mencoba meniru ilmu-ilmu alam) yang diterapkan secara ekstrim dalam ilmu sosial-humaniora di Indonesia sendiri. Akibat dari postivisme ekstrim tersebut adalah munculnya pemisahan antara teori dan praksis karena dalam postivisme para pengkaji sosial harus terpisah dari hal-hal sosial yang dikajinya untuk menghindari “subjektivitas” sehingga kajiannya bisa “objektif” dan “empiris”. Implikasi lebih lanjutnya tentu saja perguruan tinggi dan para pengkaji sosial-humaniora (dosen dan mahasiswa) di dalamnya menjadi terpisah jauh dari masyarakat yang dikajinya sehingga muncul kesan eksklusif dan elitis.
Sebab internal kedua adalah orientalisme yang membawa asumsi-asumsi ilmu sosial dari Barat ke Indonesia. Pemikiran ilmuwan sosial-humaniora di Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, selalu saja terbelenggu karena takut dianggap menyeleweng dari prosedur-prosedur ilmiah khas Barat. Akibatnya, sekaligus dampak yang kedua, berbagai macam kajian ilmu sosial terasa tidak bermanfaat ketika diterapkan pada masyarakat di negaranya sendiri. Kajian ilmu sosial-humaniora sering terasa asing dengan nilai-nilai lokal. Cara pandang yang ditawarkan terkadang terkesan dipaksakan serta tidak bisa memahami secara utuh terhadap suatu permasalahan yang muncul.
Yang Harus Anda Lakukan
Sekarang terjadi perubahan paradigma dalam memandang proses terjadinya inovasi pada masyarakat, suatu kesempatan yang harusnya anda sebagai mahasiswa FISIPOL UGM manfaatkan. Salah satu ciri utama dari perubahan ini adalah pembukaan proses inovasi kepada masyarakat (FORA, 2010). Para pemangku kepentingan dalam proses inovasi sekarang tidak hanya terbatas pada perusahaan, lembaga pendidikan tinggi, dan lembaga penelitian. Warga masyarakat tidak lagi hanya pemasok informasi yang diperlukan (seperti yang secara tradisional terjadi dalam manajemen inovasi selama ini), melainkan juga secara aktif membuat kontribusi mereka sendiri untuk proses pengembangan produk sosial baru yang bisa digunakan untuk menjadi solusi dari suatu permasalahan yang terjadi di masyarakat itu sendiri.
Perubahan paradigma atau cara pandang ini juga menempatkan inovasi sosial sebagi salah satu jenis inovasi yang sama pentingnya dengan inovasi teknologi. Selama ini cara pandang tentang inovasi berpusat pada penemuan hal-hal baru dalam bidang teknologi dan seolah-olah menjadi “sebagai (hampir) satu-satunya sinar harapan untuk pengembangan masyarakat”. Inovasi non teknologi termasuk di dalamnya inovasi sosial jarang sekali menjadi topik pembahasan kajian-kajian tentang inovasi bahkan ironisnya dalam kajian yang dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan sosial itu sendiri. Padahal, masalah-masalah seperti minimnya literasi, intoleransi akibat ekstrimisme, kesenjangan sosial yang ekstrim, pengangguran massal, tidak adanya jaminan sosial, dampak ekologi akibat perubahan iklim, ketidakmampuan desa untuk mandiri, dan banyak masalah-masalah sosial lain yang terjadi di tempat KKN anda yang tidak dapat ditangani tanpa menerapkan inovasi sosial.
Selanjutnya, perlu kita ketahui apa yang membuat suatu inovasi bisa disebut inovasi sosial. Howaldt dkk (2015) menyatakan bahwa inovasi sosial adalah inovasi yang tidak terjadi di media artefak teknologi, melainkan pada tingkat praktik sosial. Sebuah inovasi sosial adalah kombinasi baru dan/atau konfigurasi baru dari praktik-praktik sosial di daerah-daerah tertentu yang berasal dari kegiatan atau konstelasi aktor-aktor tertentu dalam cara yang ditargetkan dan disengaja dengan tujuan memuaskan kebutuhan atau menjawab secara lebih baik permasalahan-permasalahan sosial.
Sekarang yang harus anda lakukan sebagai mahasiswa FISIPOL UGM yang akan KKN adalah memikirkan ulang bahwa ilmu sosial-humaniora adalah juga tentang “penemuan sosial”. Penemuan sosial adalah inovasi sosial yang berarti inovasi-inovasi non-fisik dan bermanfaat kepada masyarakat. Teman-teman harus ingat bahwa John Maynard Keynes mungkin tidak membantu banyak orang yang kehilangan pekerjaan saat Depresi Besar melanda Amerika Serikat dan sebagian besar dunia pada tahun 1930-an secara langsung, tetapi penemuan sosialnya (ekonomi Keynesian) membantu mengeluarkan dunia dari kondisi tersebut.
Abraham Harold Maslow mungkin tidak pernah menjadi motivator ulung seperti Mario Teguh, tapi berkat gagasannya kita jadi tahu bahwa motivasi manusia itu bertingkat dan harus dipenuhi secara berurutan sesuai tingkatannya. Paulo Freire mungkin tidak pernah menyusun kurikulum pendidikan di satu negara pun, tapi berkat gagasannya kita jadi tahu bahwa ada yang salah di sistem pendidikan di dunia ini. Max Weber mungkin tidak pernah memberikan pelayanan publik kepada banyak orang, namun penemuan sosialnya tentang birokrasi yang sekarang membuat pelayanan publik dapat berjalan lebih teratur. Penemuan sosial YB Mangunwijaya (Romo Mangun) tentang pengorganisasian masyarakat di tepi Kali Code juga lah yang membuat kampung tersebut berhasil bertahan dari penggusuran.
Maka dari itu sudah seharusnya teman-teman mahasiswa FISIPOL UGM tidak usah minder, justru anda semua harus selalu mengingatkan kepada teman-teman anda dari klaster keilmuan lain serta DPL anda bahwa kita harus selalu berhati-hari agar tidak sekadar melihat hal-hal konkret (biasanya fisik) dan mengabaikan gambar besar permasalahan masyarakat yang bersifat struktural. Saat gelap (ada permasalahan di masyarakat), memang penting untuk menyalakan lilin (membangun sesuatu yang fisik-konkret) dan tidak mengutuk kegelapan (protes, sesuatu yang selalu dianggap menjadi ciri mahasiswa FISIPOL). Namun, sangat penting untuk memeriksa apakah perusahaan listrik yang mengelola listrik anda dikelola dengan korup atau tidak (melihat masalah masyarakat secara struktural dan mencari inovasi sosialnya), supaya lilin (pembangunan fisik yang ada di program KKN) anda tidak habis sia-sia.