Di Indonesia sawit adalah komoditas yang mengalami pertumbuhan produksi yang cukup pesat dibandingkan dengan tanaman perkebunan lainnya di Indonesia. Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian (2012), produksi kelapa sawit Indonesia sebesar 17,54 juta ton pada tahun 2008 menjadi 23,52 juta ton pada tahun 2012, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7,7% per tahun pada periode 2008-2012. Kelapa sawit yang diproduksi di Indonesia sebagian kecil dikonsumsi di dalam negeri sebagai bahan mentah dalam pembuatan minyak goreng, oleochemical, sabun, margarine, dan sebagian besar lainnya diekspor dalam bentuk minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) dan minyak inti sawit atau Palm Kernel Oil (PKO).
Dari total kelapa sawit yang dihasilkan, menurut Kementerian Keuangan (2013), ekspor CPO pada tahun 2010 sebesar 50%, sementara Crude Palm Kernel Oil (CPKO) mencapai 85% dari total minyak sawit yang dihasilkan oleh Indonesia (Ermawati dan Saptia, 2013). Dikarenakan potensi ekonomi sawit yang sangat besar tersebut maka ada beberapa aktor yang punya kepentingan dalam tata kelola sawit di Indonesia (termasuk di Riau) yaitu Negara, Pasar (Perusahaan), dan Masyarakat. Bagian selanjutnya dari tulisan ini akan menjelaskan kepentingan masing-masing aktor dan interaksi antara ketiga aktor tersebut.
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa kelapa sawit merupakan sektor ekonomi yang sangat potensial untuk dikembangkan (Hutabarat, 2017). Pertama, penggunaan lahan yang efisien. Kelapa sawit hanya membutuhkan 6% lahan pertanian untuk menghasilkan lebih dari 40% minyak nabati dunia (Darmawan, 2015). Rumondang (2017) mengklaim bahwa minyak nabati yang dihasilkan oleh 1 ha tanaman kelapa sawit setara dengan minyak nabati yang dihasilkan oleh 4–10 ha tanaman lain. Kedua, luas perkebunan kelapa sawit rakyat mencapai 41% dari luas keseluruhan kebun kelapa sawit di Indonesia dengan jumlah pekebun yang terlibat mencapai 2,2 juta (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014). Ketiga, sektor kelapa sawit merupakan penyedia lapangan kerja untuk lebih dari 5,7 juta pekebun kecil dan pekerja perkebunan, sementara 16 juta keluarga dihidupi sektor kelapa sawit secara tidak langsung (Nediasari, 2017). Keempat, kegiatan perkebunan kelapa sawit menyumbang lebih dari 15% pada pertumbuhan produk domestik bruto Indonesia (BPS-Statistics Indonesia, 2015). Kelima, pendapatan negara dari ekspor minyak sawit dan produk-produk turunannya menempati posisi penting. Nilai ekspor sektor kelapa sawit mencapai sekitar US$19 miliar pada 2013 (Rumondang, 2017). Keuntungan-keuntungan tersebut membuat Negara (dalam hal ini pemerintah) sejak masa Orde Baru mengarahkan kebijakannya untuk memaksimalkan keutungan dari adanya budidaya kelapa sawit.
Penelitian dari Rahmadian, dkk (2020) menunjukkan bahwa kehadiran aktor negara dalam proses ekspansi perkebunan kelapa sawit memiliki tendensi terhadap akumulasi kapital yang cukup besar, yang tidak jarang kebijakannya berdampak terhadap degradasi sosial hingga ekosistem secara juga masif. Negara seolah menjadi alat untuk ekstraksi sumber daya alam yang sah dan legal dengan penguasaannya terhadap sistem dan kebijakan, hingga “dominasi” mereka atas pengetahuan dan teknologi yang bersifat positivistik, yang berbanding terbalik pengetahuan masyarakat di pedesaan
Nainggolan (2013) menyatakan bahwa runtuhnya rezim Orde Baru telah diikuti dengan meluasnya liberalisasi ekonomi dan semakin terintegrasinya perekonomian nasional dalam jaringan perekonomian dunia. Reformasi politik yang didukung negara maju telah mengendalikan negeri ke arah praktik neo-liberalisme di berbagai sektor, dengan prasyarat keterbukaan bagi investasi asing yang tidak terbatas. Giddens (2002) menjelaskan bahwa analisis ekonomi-politik yang melihat relevansi kapitalisme internasional dan globalisasi menilai meningkatnya arus gobalisasi secara cepat belakangan ini telah memberi dampak semakin hebatnya perkembangan dan struktur kapitalisme internasional yang tercipta. Perkembangan tersebut mengakibatkan perusahaan multinasional punya peran yang semaikn besar dalam menentukan kebijakan publik termasuk di sektor budidaya kelapa sawit. Perusahaan-perusahaan swasta besar yang terlibat dalam eksploitasi kelapa sawit antara lain Astra Agro Lestari, Sinarmas (SMART), Indofood, Permata Hijau Group, Sampoerna Agro, Musim Mas, Asian Agri, Wilmar Corporation, Bakrie Sumatera Plantation, dan PP London Sumatera.
Kurun waktu 20 tahun terakhir terjadi konversi besar-besaran lahan untuk kebutuhan industri kelapa sawit. Sebagian besar terjadi pada perusahaan pemegang konsensi berizin (dan pada praktiknya mengolah lahan industri tersebut lebih dari pada yang diizinkan yang diberikan Pemerintah Indonesia) (Leonanda, 2019). Meningkatnya permintaan global untuk lemak nabati tetap menjadi faktor utama yang mendorong harga minyak sawit di pasar komoditas internasional dan hal ini mendorong investasi lebih jauh, mendorong perdagangan perusahaan minyak sawit di bursa saham dan mempercepat pengambilalihan lahan (Colchester dan Chao, 2015). Minyak sawit membukukan sepertiga dari total 130 juta ton per tahun lemak nabati yang diperdagangkan secara global per tahun. Produksi global total minyak sawit diperkirakan lebih dari 45 juta ton, dengan Indonesia dan Malaysia sebagai produsen dan ekspotir utama dunia.
Salah satu contoh sangat berpengaruhnya pasar (perusahaan) dalam tata kelola kelapa sawit di Indonesia terjadi di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Sampai tahun 2015, setidaknya terdapat 86 perusahaan perkebunan dan setidaknya 16 pabrik perkebunan kelapa sawit. Pasca krisis moneter 1997/1998 terjadi peningkatan kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit milik swasta (private). Meski, terdapat juga titik pelambatan yang diantaranya diakibatkan penerbitan UU No. 14 Tahun 2004 tentang Perkebunan (UU Perkebunan 2004). Tetapi pada akhirnya peraturan tersebut membuka peluang-peluang baru untuk para pengusaha sawit terutama pengusaha besar. Perkembangan perkebunan kelapa di kawasan Kabupaten Kutai Kartanegara diklaim lebih dari 30% per tahun, demikian dengan produksinya yang meningkat rata-rata hampir mencapai 150% pertahun dengan produksi tertinggi pada tahun 2011 sebesar 50.241 Ton CPO atau 193.233 Ton TBS (Rahmadian, dkk, 2020).
Dilihat dari kondisi tatanan ekonomi global, kemudahan perusahaan-perusahaan besar untuk melakukan ekspansi lahan untuk perkebunan kelapa sawit didukung oleh paket kebijakan ekonomi International Monetary Fund (IMF) untuk mengatasi krisis yang melanda Indonesia pada 1997/1998. Berdasarkan kajian Rahmadian, dkk (2020), pada 31 Oktober 1997, melalui Leter of Intent (LoI) yang memuat Memorandum Of Economic and Financial Policies antara pemerintah Indonesia dengan IMF, dalam dokumennya tertera pernyataan berikut:
“The list of activities open to foreign investors will be simplified and further expanded. The government will study the retail sector with a view to partially opening this sector up to foreign investors and the policy on palm oil which is now open to foreign investment will be applied evenly”
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa paket kebijakan IMF untuk mengatasi krisis moneter tahun 1997/1998 di Indonesia harus direspons dengan kemudahan (simplifikasi) proses perizinan investor asing di sektor perkebunan kelapa sawit. Bahkan pada LoI selanjutnya kepada pemerintah Indonesia pada 22 Juli 1999, pihak IMF tegas menyatakan bahwa ”Next on the agenda is the privatization of a large palm plantation and gold/ nickel companies”. Hal tersebut berkonsekuensi nyata pada restrukturisasi perbankan dan ekonomi Indonesia, dan menghasilkan gelombang masif lanjutan ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia.
Selanjutnya pihak yang sangat berkepentingan secara ekonomi maupun ekologi dengan tata kelola kelapa sawit di Indonesia adalah masyarakat, sekaligus sebagai pihak yang paling sering “dilupakan” dalam penentuan kebijakan tentang kelapa sawit. Dalam sejarah perkebunan, masuknya perkebunan selalu dibarengi dengan konflik yang melibatkan masyarakat setempat. Kajian yang dilakukan selama ini melihat bahwa hadirnya perkebuan sawit sebagai bentuk kekuatan ekonomi-politik dari luar sering dilawan atau ditolak oleh masyarakat setempat karena merusak atau tidak sesuai dengan kultur tradisional masyarakat setempat. Selain itu, tindakan perlawanan masyarakat lokal dilakukan sebagai reaksi atas proses penyingkiran dan penindasan yang terjadi bersamaan dengan masuknya perkebunan skala besar (Wartiharjono, 2016).
Contoh disingkirkannya masyarakat dalam tata kelola kelapa sawit terjadi di Indragiri Hulu, Provinsi Riau (Zubir, 2017). Kajian yang dilakukan Zubir (2017) menunjukkan pengalaman warga etnis Talang Mamak Indragiri Hulu yang memperlihatkan bahwa komersialisasi pertanian, khususnya perkebunan kelapa sawit, berakibat kemiskinan bagi penduduk asli. Dengan berbagai cara, terjadi perampasan tanah oleh investor, seperti yang dialami warga etnis Talang Mamak.
Kelapa
sawit yang memiliki potensi ekonomi sangat besar mengakibatkan banyak aktor
yang ingin melibatkan diri dalam tata kelola kelapa sawit. Di Indonesia,
aktor-aktor yang terlibat dalam tata kelola kelapa sawit adalah Negara, Pasar
(Perusahaan), dan Masyarakat. Negara dan Pasar berkepentingan untuk memaksimalkan
keuntungan dari eksploitasi kelapa sawit, dalam praktiknya kedua pihak tersebut
sering bekerjasama. Akibatnya konversi lahan untuk kebutuhan industri kelapa
sawit meningkat pesat, yang efek sampingnya adalah kerusakan ekologis.
Sementara itu, Masyarakat terus dipinggirkan dalam tata kelola sawit sehingga
lebih sering menjadi penonton bahkan tidak sedikit pula yang kehilangan sumber
ekonominya akibat terlalu dominannya Negara dan Pasar dalam tata kelola kelapa
sawit di Indonesia.
Daftar Pustaka
BPS-Statistics Indonesia. (2015). Statistik Indonesia 2015. Jakarta: BPS-Statistics Indonesia.
Colchester, Marcus dan Sophie Chao. (2015). Ekspansi Kelapa Sawit di Asia Tenggara: Sebuah Tinjauan. introduction-ekspansi-kelapa-sawit-di-asia-tenggara-sebuah-tinjauan.pdf (forestpeoples.org).
Darmawan, D. H. A. (2015). Update of Palm Oil Industry in Indonesia. Presentation on ISPO Promotion, 12 October 2015. Indonesian Palm Oil Board (IPOB), The Hague, Netherlands.
Direktorat Jenderal Perkebunan. (2014). Statistik perkebunan Indonesia 2013–2015: Kelapa Sawit. Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian RI.
Ermawati, Tuti dan Yeni Saptia. (2013). Kinerja Ekspor Minyak Kelapa Sawit Indonesia. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol.7 No.2, Desember.
Photo by Pablo García Saldaña on Unsplash