You are currently viewing Gemah Rempah Loh Jinawi

Gemah Rempah Loh Jinawi

Nusantara, selain dikenal sebagai negeri lautan yang ditaburi pulau-pulau, juga dikenal sebagai negeri rempah. Di dalam kehidupan sehari-hari, rempah-rempah dikenal sebagai bagian tumbuhan yang beraroma atau berasa kuat yang digunakan dalam jumlah kecil di makanan sebagai pengawet atau perisa dalam masakan. Rempah-rempah biasanya juga bisa digunakan untuk obat. Salah satunya adalah jahe. Tanaman tersebut dipercaya secara turun-temurun memunyai beberapa khasiat, seperti mengatasi mual, mabuk diperjalanan, gangguan usus dan pencernaan, keracunan makanan serta radang sendi. Untuk mengatasi radang sendi, jahe dipercaya bisa menggantikan aspirin dan obat sejenis lainnya.

Bicara soal rempah-rempah, Indonesia memiliki sejarah panjang dengan tanaman-tanaman ini. Pada abad ke-15, sebuah abad yang dikenal sebagai “abad rempah-rempah”, Indonesia bisa dibilang adalah pusat perdagangan dunia. Jika pada abad-abad sebelumnya rempah-rempah kerap dianggap sebagai bahan medis, maka sejak abad ke-15 citranya bergeser sebagai penguat cita rasa hidangan di lingkungan monarki Eropa. Pada masa itu mulai terbangun kesadaran membaharui citra kelam makanan selama abad pertengahan yang tidak berselera (Rahman, 2019).

Rahman (2019) menjelaskan bahwa sejak abad ke-15, Eropa bukan hanya disergap kegandrungan terhadap rempah-rempah, namun juga hawa nafsu dari para penguasa kerajaan, pedagang, dan petualang untuk turut ambil bagian dalam eksplorasi rempah-rempah menuju nusantara. Pada abad ke-16, para petualang dari Eropa dengan berbagai ekspedisi baharinya mulai serius melakukan eksplorasi rempah-rempah. Ini adalah masa yang sangat menentukan bagi awal kekuasaan Eropa di Nusantara.

Di Nusantara, salah satu daerah penghasil rempah-rempah terbaik adalah kepulauan Maluku (Mansyur, 2011). Dilihat dari konteks global perdagangan masa lalu, terbentuk jaringan perdagangan nusantara bagian barat sebagai bandar transit utama dan nusantara bagian timur (Kepulauan Maluku) sebagai produsen utama cengkeh dan pala. Sebagai daerah produsen, Maluku yang merupakan wilayah kepulauan terdiri atas beberapa bandar yang merupakan bandar pengumpul untuk komoditi tersebut sehingga terbentuk pola jaringan antar pulau. Kondisi geografis Maluku yang terdiri atas pulau-pulau besar dan kecil, membentuk wilayah ini sebagai jaringan lokal yang terdiri atas pelabuhan-pelabuhan kecil untuk mengumpulkan komoditi cengkeh.

Di kepulauan Maluku pula ada cerita unik yang selalu menarik untuk diceritakan. Cerita tersebut adalah kisah tukar-menukar Pulau Run dengan Manhattan (New York) melalui Perjanjian Breda pada tahun 1667. Pulau Run yang sebelumnya milik Inggris ditukar dengan Manhattan yang sebelumnya milik Belanda. Penukaran tersebut menandakan bahwa nilai Pulau Run masa itu tentu sangat tinggi sehingga setara dengan nilai lahan (lokasi) di Manhattan. Dunia kemudian menyaksikan setelah tiga abad berlalu, Manhattan berubah menjadi pusat dunia baru sedangkan pulau Run sayangnya hanya terdengar sejarahnya saja (Sulaiman, dkk, 2018).

Selain Maluku, Pantai Utara (Pantura) Jawa juga memiliki peranan dalam perdagangan rempah di masa lalu. Menurut catatan Reid (1988) yang dikutip oleh Sulistiyono (2017), Pada zaman keemasan Asia khususnya abad XV hingga XVII atau yang disebut sebagai kurun niaga (the age of commerce) kawasan pantura Jawa juga mengalami perkembangan yang pesat yang merupakan bagian inheren dari pelayaran dan perdagangan internasional. Pantura Jawa merupakan salah satu bagian penting dari apa yang yang oleh para sejarawan disebut sebagai zona laut Jawa atau jaringan Laut Jawa.

Pada kurun niaga tersebut, Pantura Jawa utamanya memasok beras ke luar Jawa seperti Kepulauan Maluku dan bahkan Malaka. Para pedagang Jawa membeli berbagai produk seperti rempah-rempah dan berbagai jenis hasil hutan (kamper, kemenyan, gambir, kayu cendana, dan sebagainya). Pantura Jawa bertindak sebagai gudang komoditas impor sebelum disalurkan ke daerah sekitarnya dari luar Jawa seperti Palembang, Lampung, Banjarmasin, Bali dan Lombok, dan pulau-pulau Maluku. Pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa menjadi titik pertemuan bagi para pedagang dari luar Jawa serta partner dagang asing mereka. Dengan demikian pada kurun niaga, perdagangan maritim di kawasan Luat Jawa merupakan bagian inheren dari perdagangan di kepualauan Nusantara yang memiliki tiga sumbu yaitu perdagangan antarpulau, pergadangan intra Asia dan perdagangan internasional (Sulistiyono, 2017).

Melihat sejarah perdagangan rempah nusantara yang begitu gemilang, sekarang muncul pertanyaan bagaimana cara memperoleh kejayaan yang sama pada masa sekarang? Sebenarnya beberapa usaha telah ditempuh, misalnya dengan mengadakan berbagai seminar, pameran, diskusi, dan publikasi mengenai rempah-rempah. Diantaranya pameran “Jalur Rempah: The Untold Story” yang diadakan di Musemu Nasional Jakarta (18 – 25 Oktober 2015); Pameran “Kedatuan Sriwijaya, The Great Maritime” yang dihelat oleh Museum Nasional dan PT. Jalur Rempah Nusantara (4 – 28 November 2017; “Ekspedisi Jalur Rempah 2018: Sejarah Jalur Rempah dan Kekayaan Hayati Kie Raha” yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (28 September – 10 Oktober 2018); pameran dan diskusiThe Malay Archipelago karya Alfred Russel Wallace yang dihelat British Council dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (11 – 17 Oktober 2018) di Perpustakaan Nasional Jakarta; dan, International Forum on Spice Route 2019 di Museum Nasional Jakarta (19 – 24 Maret 2019) yang mengusung tema  “Culture through Spice Route as World Common Heritage” (Rahman, 2019).

Pemerintah Indonesia juga menyiapkan beberapa strategi lainya (Sulaiman, dkk, 2018), yaitu:

  1. Pendirian tim persiapan upaya membangkitkan kejayaan rempah Nusantara. Tim ini secara khusus mengonsentrasikan diri dalam menyusun seluruh persiapan yang diperlukan, khususnya penyusunan peraturan perundangan, organisasi, dan lengkap dengan dukungan pembiayaannya.
  2. Pembentukan Badan Koordinasi Pengembangan Rempah Nasional. Badan ini merupakan lembaga yang mengoordinasikan berbagai hal, mulai dari penyusunan rancang bangun, perencanaan, R&D, hingga branding pengembangan rempah nasional.
  3.  Mengundang dunia usaha baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri untuk berinvestasi dalam ragam aktivitas pengembangan rempah di unit-unit pengembangan rempah sesuai dengan rancang bangun dan perencanaan yang telah ditetapkan.

Branding baru rempah-rempah untuk bisa menarik pangsa pasar global yang potensial juga telah dibuat oleh pemerintah. Pilihan bagi branding rempah dalam buku ini adalah rempah memberikan “Health, Peace, and Happiness”. Alasannya, health atau aspek kesehatan merupakan kontribusi materi dari zat-zat kimia yang dikandung rempah. Peace berarti kedamaian merupakan upaya anti-histori bahwa rempah yang dulu menjadi sumber peperangan dan kolonialisme. Happiness atau kebahagiaan adalah bagian penting dalam tujuan hidup. Dengan demikian, pulau penghasil rempah-rempah di Indonesia adalah menjadi tujuan untuk mendapatkan kesehatan, kedamaian, dan kebahagiaan hidup (Sulaiman, dkk, 2018).

Referensi

Mansyur, Syahruddin. 2011. “Jejak Tata Niaga Rempah-Rempah dalam Jaringan Perdagangan masa Kolonial di Maluku”. Kapata Arkeologi Vol. 7 No. 13 / November 2011: 20-39.

Rahman, Fadly. 2019. “Negeri Rempah-Rempah: dari masa Bersemi hingga Gugurnya Kejayaan Rempah-Rempah”. Patanjala Vol. 11 No. 3 September 2019: 347-362.

Sulaiman, Andi Amran, dkk. 2018. Membangkitkan Kejayaan Rempah Nusantara. Jakarta: IAARD PRESS Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sulistiyono, Singgih Tri. 2017. Peran Pantai Utara Jawa dalam Jaringan Perdagangan Rempah. Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional mengenai Jalur Rempah dengan tema “Rempah Mengubah Dunia” (Makassar: 11 – 13 Agustus 2017). Sebagian dari materi makalah ini telah diampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah X yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Jakarta: 7 – 10 November 2016).

Photo by grafis gosulsel on Unsplash

Leave a Reply