You are currently viewing Menata dan Mengelola Olahraga di Indonesia: Sebuah Tinjauan Singkat

Menata dan Mengelola Olahraga di Indonesia: Sebuah Tinjauan Singkat

Olahraga menjadi salah satu pilihan paling masuk akal untuk menjaga kesehatan, apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini. Senam, yoga, fitness, bersepeda, dan beberapa jenis olahraga ringan lainnya menjadi pilihan banyak orang untuk menjaga kesehatannya. Di luar konteks menjaga kesehatan selama pandemi, olahraga sendiri sebenarnya juga sudah diperhatikan oleh Negara. pembangunan keolahragaan sebagai bagian yang sangat penting dalam agenda pembangunan sumber daya manusia.

Dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional “Keolahragaan nasional berfungsi mengembangkan kebugaran jasmani, rohani, dan sosial serta membentuk watak dan kepribadian bangsa yang bermartabat”. Muara dan tujuan dari penyelenggaraan dan pembangunan keolahragaan harus berbasis dan diorentasikan sepenuhnya pada pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Menurut Ma’mun (2014), pengelolaan olahraga di Indonesia harus dipandang sebagai kebijakan publik yang juga sama pentingnya sebagaimana kebijakan pemerintah dalam mengadakan bidang lainnya, seperti penerangan masyarakat melalui program LMD (Listrik Masuk Desa), bahkan mungkin program BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) yang dapat dielaborasi dengan BLSK atau BLSD. “K” disini diterjemahkan “Kecamatan” dan “D” disini adalah “Desa”. Tingkat Kecamatan dan/atau Desa, sesuai dengan struktur pemerintahan, diajak untuk menyelenggarakan kegiatan olahraga tahunan secara terstruktur dan berkelanjutan, dalam rangka membudayakan olahraga dengan indikator peningkatan angka partisipasi masyarakat dalam olahraga.

Meskipun frekuensi berolahraga masyarakat meningkat selama masa pandemi tetapi data yang dhimpun oleh Prasetyo (2013) menunjuka bahwa masyarakat Indonesia saat ini masih kurang menyadari akan pentingnya hidup sehat. Hal ini terjadi karena kurangnya animo/minat dan apresiasi masyarakat terhadap olahraga. Hasil Susenas tahun 2010 menunjukkan bahwa partisipasi penduduk berumur 10 tahun ke atas dalam melakukan olahraga mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Peningkatan partisipasi olahraga hanya terjadi dari tahun 2000 sebesar 22,6 persen menuju tahun 2003 menjadi sebesar 25,4 persen. Dalam kurun waktu 2003, 2006, dan 2009 partisipasi penduduk dalam melakukan olahraga terus menurun, yaitu dari 25,4 persen pada tahun 2003, turun menjadi 23,2 persen pada tahun 2006, dan terakhir turun menjadi 21,8 persen pada tahun 2009. Pola tersebut berlaku baik di daerah perkotaan maupun perdesaan.

Kajian mendalam yang dilakukan oleh Ma’mun (2016) memperlihatkan bahwa permasalahan utama pembangunan olahraga nasional bertumpu pada tiga muara, yaitu: pertama, rendahnya daya saing sistem pembinaan dan pengembangan olahraga, sebagai akibat dari: belum tertata dan terstandardisasinya sistem pembinaan olahraga elit; belum terintegrasinya kebijakan pembinaan olahraga antara pusat dan daerah; belum terintegrasinya kegiatan olahraga dengan sistem pendidikan secara sistematis, terstruktur, dan berkelanjutan; belum tertatanya sistem pembibitan; terbatasnya sarana dan prasarana olahraga, terutama untuk sentra pembinaan; terbatasnya tenaga keolahragaan berkualifikasi memadai; belum terstrukturnya sistem penghargaan; belum berkembangnya sentra pembinaan olahraga di daerah-daerah; belum tertatanya kompetisi dan industri olahraga; serta belum optimalnya penerapan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) kedalam sistem pembinaan.

Kedua, rendahnya prosentase angka partisipasi masyarakat dalam olahraga (olahraga belum menjadi gaya hidup aktif yang sehat atau healthly active lifestyle) sebagai akibat dari: belum adanya kebijakan pengembangan program olahraga bagi semua (sport for all) yang sistematis, terstruktur, meluas, dan berkelanjutan. Ketiga, terpinggirkannya program olahraga pendidikan, yang disebabkan oleh karena: rendahnya kualitas penyelenggaraan pendidikan jasmani dan olahraga; belum banyaknya kelas olahraga dan unit kegiatan olahraga; belum ada pengembangan sekolah khusus/keberbakatan olahraga di daerah-daerah; belum adanya program olahraga khusus; belum terevitalisasinya program PPLP (Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar) dan PPLM (Pusat Pendidikan dan Latihan Mahasiswa); serta belum tertatanya sistem kompetisi olahraga pelajar yang sistematis, terstruktur dan berkelanjutan. Pada akhirnya olahraga memang melelahkan tapi betapapun melelahkannya berolahraga akan lebih melelahkan kalau tata kelola olahraga tidak segera dibuat lebih baik. Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat harus dipahami bukan sebagai slogan Orde Baru (Orba) tapi sebagai urusan masa depan bangsa.

Photo by Mufid Majnun on Unsplash

Leave a Reply