Desa sering dianggap sebagai unit sosial-politik terkecil di Indonesia. Jawaban yang tidak salah, tapi selain desa, kampung-kota juga unit sosial-politik terkecil di Indonesia. Jika dibandingkan dengan desa, kajian tentang kampung-kota memang lebih sedikit. Purbadi dan Lake (2019) merangkum beberapa penelitian tentang kampung-kota di Jakarta, Solo, Yogyakarta dan Semarang. Pada penelitian kampung-kota di Jakarta ditemukan elemen-elemen penentu perkembangan kampung-kota adalah: tempat dan identitas, ruang terbuka, kegiatan sosial-ekonomi, pusat komunitas (masjid & langgar), fasilitas kesehatan, dan infrastruktur (penerangan jalan, air bersih, drainase, dan sampah) (Sihombing, 2015).
Pada penelitian kampung Batik Laweyan di Solo ditemukan kampung Batik Laweyan memiliki unsur sejarah, warga relatif homogin dan taat agama Islam, industri batik menjadi elemen penentu kehidupan kampung, dan terdapat 19 bangunan layak preservasi dan 16 bangunan layak konservasi (Pratomo et al., 2006a). Pada penelitian kampung-kota di Yogyakarta ditemukan, kampung-kota merupakan model permukiman warga yang khas perkotaan; bahkan menjadi alternatif pendekatan pembangunan dalam kemasan model Kampung Oriented Development (KOD) (Roychansyah & Diwangkari, 2009). Pada kasus kampung-kota di Semarang, keberadaan suatu kampung-kota mengalami degradasi sosial-budaya dan fisik karena terpengaruh pembangunan Mall di dekatnya yang ekspansif (Evansyah & Dewi, 2014).
Menurut Nugroho (2009), dilihat dari paradigma perencanaan kota, kampung kota sebenarnya dapat menjadi awal dimulainya paradigma baru perencanaan kota dalam mewujudkan kota yang lebih baik. Kampung dengan segala aktivitasnya, sedikit banyak dapat memberi gambaran bagaimana kehidupan urban yang terjadi. Kepadatan merupakan permasalahan yang dihadapi oleh hampir seluruh kota. Perilaku padat dapat dilihat pada kampung-kampung di perkotaan, dengan perbandingan kebutuhan ruang-ruang terbuka yang minim, derajat ketertutupan ruang dan keterdekatan antar bangunan.
Disadari atau tidak, kepadatan dan keterbatasan memberikan kreativitas bagi manusia penghuninya untuk bertindak dan berprilaku. Hampir dapat dipastikan bahwa tidak akan ada ruang-ruang sisa di dalam kampung kota. Semua ruang harus dapat dioptimalkan pemanfaatannya, sehingga memberi dampak yang lebih baik bagi kehidupan, dan keberlanjutan. Ruang-ruang sirkulasi yang kecil membentuk prilaku yang spesifik bagi masyarakat penghuni.
Ditinjau secara lebih mendasar lagi, pengertian kampung kota yang dapat disepakati semua pihak belum pernah dapat dirumuskan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan di dalam cara pandang maupun disiplin ilmu yang digunakan oleh para pakar. Namun yang menarik dari pernyataan-pernyataan tersebut adalah tersirat adanya ke-‘padat’-an dan ‘kemiskinan’, dan sama-sama menyatakan bahwa kampung merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kota. Sebagai kesatuan integral kota, maka kampung merupakan salah satu komponen dalam pembentukan struktur kota, yaitu sebagai kawasan permukiman di dalam kota yang terbentuk tanpa perencanaan atau tumbuh sebelum perencanaan diterapkan (Nugroho, 2009).
Selama beberapa puluh tahun terakhir, kawasan perkotaan mengalami berbagai permasalahan yang kompleks. Tingginya laju pertumbuhan penduduk dan permasalahan penyediaan permukiman beserta sarana prasarana pendukungnya serta kemiskinan merupakan permasalahan yang seakan tidak pernah lepas dari kehidupan perkotaan. Penyediaan permukiman beserta sarana dan prasarana pendukungnya hampir selalu tertinggal dibandingkan dengan kecepatan laju pertumbuhan penduduk. Selain itu, meningkatnya tekanan dan kebutuhan penduduk kota terhadap hunian juga turut menyebabkan meningkatnya harga lahan di kawasan perkotaan. Akibatnya, muncul kawasan-kawasan permukiman di perkotaan yang memiliki kepadatan tinggi dan berpotensi menimbulkan berbagai permasalahan. Beberapa permasalahan yang timbul di antaranya adalah keterbatasan pemenuhan sarana dan prasarana pendukung permukiman perkotaan serta lebih lanjut dapat berimbas pada permasalahan perekonomian yaitu kemiskinan.
Untuk menanggulangi berbagai permasalahan tersebut, muncul beberapa inovasi. Pertama, kampung wisata, yang biasanya terdapat di tempat-tempat bersejarah, sebab nilai kesejarahan dan keunikan budaya menjadi produk yang ingin dinikmati wisatawan. Inisiatif kedua adalah kampung tematik yang pelaksanaanya berdasarkan skema inovasi sosial memiliki tiga tahapan. Tahap pertama merupakan pemetaan problematika yaitu: masyarakat bersama mencari ide/gagasan dalam mengembangkan kampungnya sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan serta meningkatkan partisipasi masyarakat lokal. Tahap kedua adalah menentukan tema kampung dengan menemukan sekelompok orang yang tertarik untuk dapat bekerja sama dalam menerapkan gagasan atau tema pada kampungnya. Selanjutnya tahap ketiga adalah delineasi dan koordinasi melalui gagasan atau tema yang kemudian dimodifikasi oleh berbagai aktor yang terlibat hingga akhirnya diimplementasikan secara nyata pada wilayahnya. Berdasarkan tiga tahap pelaksanaan konsep kampung tematik dijelaskan pula bahwa kampung tematik dapat berkembang atas kelayakan ide atau tema. Hal ini juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti karakteristik ekonomi, sosial, adanya potensi lokal yang diangkat, dukungan keuangan dari pihak luar, inisiatif dari tokoh masyarakat, meningkatnya pendapatan, dan inisiatif dari masyarakat (Atkočiūnienė & Kaminaitė, 2017). Pada akhirnya desa memang penting, tapi jangan lupa ada kampung-kota.
Photo by Anurag Negi on Unsplash