Sayuran-sayuran dan buah-buahan merupakan salah satu kelompok pangan dalam penggolongan FAO, yang dikenal dengan Desirable Dietary Pattern atau Pola Pangan Harapan (PPH) (Karsin, 2004). Kelompok bahan pangan ini berfungsi sebagai sumber vitamin dan mineral, sehingga kekurangan konsumsinya berpengaruh negatif terhadap kondisi gizi. Oleh karena itu, konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan bersama-sama dengan kelompok pangan lainnya dapat berpengaruh terhadap kondisi kesehatan pada umumnya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aswatini, dkk (2008) keadaan empirik di lapangan beberapa tahun lalu menunjukkan bahwa perilaku konsumsi buah dan sayur di masyarakat belum didasarkan pada pemahaman akan pentingnya konsumsi sayur dan buah untuk memenuhi kebutuhan gizi guna menunjang hidup yang sehat, tetapi dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya, yaitu ekonomi, sosial, budaya dan politik (kebijakan-kebijakan pemerintah).
Faktor-faktor di atas secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap pengetahuan masyarakat, yang tidak selalu mendukung implementasi dari pola makan gizi seimbang di masyarakat. Sebagai contoh, dari pengaruh faktor ekonomi dan kebijakan (misal harga), penelitian mendalam di Lampung yang dilakukan Aswatini, dkk (2008) menunjukkan bahwa masyarakat menganggap makanan yang baik dan sehat adalah yang mahal harganya, sehingga jika mereka mempunyai uang lebih, sayur dan buah yang akan mereka beli adalah wortel (sayuran sop-sopan) serta buah apel dan anggur.
Dari faktor sosial budaya, beberapa kebiasaan pantangan yang ada di masyarakat juga menjadi dasar pengetahuan yang salah dan berpengaruh terhadap pola konsumsi, termasuk konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan. Pantangan ini umumnya diberlakukan kepada ibu hamil dan menyusui serta anak-anak. Di daerah penelitian di Lampung, ada kepercayaan bahwa pada masa kehamilan dan setelah melahirkan, ibu tidak boleh makan semangka karena dapat menaikkan tekanan darah, juga tidak boleh makan bawang putih karena akan mempengaruhi pusar bayi. Tetapi dianjurkan untuk makan daun singkong atau daun pepaya untuk memperlancar ASI.
Di tempat lain misalnya di Nusa Tenggara Timur, ada kepercayaan bahwa sampai dengan 40 hari setelah melahirkan, ibu tidak boleh mengkonsumsi sayur-sayuran karena akan menyebabkan bayi gatal-gatal. Tetapi ada pula masyarakat yang percaya bahwa justru dalam waktu 40 hari setelah melahirkan, ibu hanya diperbolehkan makan jagung dan sayur-sayuran (Aswatini dkk, 2005).
Di sisi lain, fenomena menarik dicatat oleh Priambodo dan Najib (2014). Naiknya kesadaran masyarakat mengenai bahaya penyakit degeneratif menyebabkan masyarakat mulai percaya bahwa makanan yang dikonsumsi berkontribusi terhadap kesehatan (Siro dkk,2008). Hal ini ditunjukkan dengan adanya perubahan pola konsumsi dimana kecenderungan mengkonsumsi makanan yang tinggi lemak, garam, karbohidrat, kolesterol, bahan tambahan pangan (BTP) dan rendah serat telah berubah menjadi kecenderungan konsumen memilih makanan alami dan sehat yang berfungsi untuk mencegah penyakit-penyakit yang mungkin muncul (Winarno dan Kartawidjajaputra, 2007). Saat ini tren utama industri pangan mengarah kepada suatu konsep “Healthy, Functional, and Satisfied Foods” dalam menghasilkan suatu produk.
Konsep “Healthy, Functional, and Satisfied Foods” menurut Priambodo dan Najib (2014) memperhatikan keseimbangan gizi, kualitas dan juga keamanan bahan baku yang digunakan. Perbaikan mutu tersebut telah mendorong tren baru masyarakat di berbagai negara dan Indonesia untuk kembali ke konsep alam dimana masyarakat mulai meninggalkan produk-produk pangan berbahan kimia dan juga sintetis. Sayangnya, meski potensi permintaan konsumen di Indonesia cukup besar terhadap produk organik, namun pemasaran pangan organik di Indonesia terkendala oleh persepsi mengenai harga pangan organik yang dianggap mahal.
Selain anggapan bahwa produk sayur dan buah organik mahal harganya, menurut catatan Aswatini, dkk (2008) ketersediaan produk makanan jadi yang dinyatakan mengandung zat gizi yang setara dengan kandungan dalam sayur-sayuran dan buah-buahan (misal produk makanan yang mengandung serat dan vitamin). Iklan yang gencar tentang produk-produk ini juga secara tidak langsung berpengaruh terhadap konsumsi sayur dan buah terutama yang organik.
Mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat akan tetap susah kalau menjadikan masyarakat Indonesia bisa mengkonsumsi sayur dan buah secara rutin masih tidak mudah.
Referensi
Aswatini, Haning Romdiati, Bayu Setoawan, Ade Latifa, Fitranita dan Mita Noveria, 2005. “Ketahanan Pangan dan Kemiskinan dalarn Konteks Demografi. Kasus di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Provinsi Lampung”. Laporan Penelitian. Jakarta: Pusat Penelitian Kependudukan- Lembaga llmu Pengetahuan Indonesia (PPK-LIPI).
Aswatini, Noveria M, Fitranita. 2008. Konsumsi Sayur dan Buah di Masyarakat dalam Konteks Pemenuhan Gizi Seimbang. Jurnal Kependudukan Indonesia. 3(2): 97-119.
Karsin, Emmy S. 2004.”Klasifikasi Pangan dan Gizi”. Dalam Yayuk Farida Baliwati, Ali Khomsan dan C. Meti Dwiriani (ed). Pengantar Pangan dan Gizi. Hlm: 45-63. Jakarta: Penebar Swadaya.
Priambodo Luthfan Hadhi, Najib Mukhamad. 2014. Analisis Kesediaan Membayar (Willingness to Pay) Sayuran Organik dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jurnal Manajemen dan Organisasi. 5(1): 1-14.
Siro I, Kapolna E, Kapolna B, Lugasi A. 2008. Functional food. Product development, marketing and consumer acceptance – A review. Journal of Appetite. 51(3): 456-467.
Winarno FG, Kartawidjajaputra F. 2007. Pangan Fungsional dan Minuman Berenergi. Bogor (ID): M-brio press.
Photo by Mike Kenneally on Unsplash