You are currently viewing Bertani di Kota untuk Masa Depan Kita

Bertani di Kota untuk Masa Depan Kita

Sebagai sebuah negara yang dengan bangga memproklamasikan dirinya sendiri sebagai negara agraris, pertanian menjadi sektor yang selalu menjadi perhatian publik. Selama ini pertanian identik dengan daerah rural atau pedesaan. Anggapan tersebut beberapa tahun terakhir mulai terkikis dengan mulai maraknya ­­pertanian perkotaan atau urban farming. Sampeliling, dkk (2012) mengutip Smith (1996) dan FAO (1999) mendefinisikan pertanian perkotaan didefinisikan sebagai “aktifitas atau kegiatan bidang pertanian yang dilakukan di dalam kota (intra-urban) dan pinggiran kota (periphery-urban) untuk memproduksi/ memelihara, mengolah dan mendistribusikan beragam produk pangan dan non pangan, dengan memanfaatkan atau menggunakan kembali sumberdaya manusia, material, produk dan jasa di daerah perkotaan.

Ciri lain dari pertanian perkotaan adalah terintegrasinya pertanian  perkotaan  ke  dalam  sistem  ekonomi  kota  dan ekosistem kota. Hubungan tersebut misalnya terlihat dari  adanya  penduduk  miskin  kota  sebagai  tenaga kerja,  konsumenan  sumber  daya  kota  (seperti  sampah  organik  sebagai  kompos,  air  limbah  kota  sebagai  air  irigasi),  langsung  terhubung    dengan  kon-sumen  kota,  berdampak  langsung  kepada  ekologi kota  (baik  positif  maupun  negatif), dan  menjadi  bagian dari  sistem  makanan  kota.

Pertanian perkotaan berhasil menghasilkan beberapa dampak positif. Mengutip Suryandari (2010) di  Harare,  60%  dari  makanan  yang  dikonsumsi oleh kelompok berpendapatan rendah berasal dari  kebun  sendiri.  Di  Kampala,  anak-anak  yang berumur  sekitar lima  tahun di rumah  tangga  pertanian  yang pendapatan rendah  diketahui  mempunyai gizi   yang   lebih   baik   berbanding   dengan   rumah tangga yang  tidak bertani. Produsen pertanian kota, sekitar  40%  hingga  60%  atau  lebih,  keperluan  makanan  rumah  tangga  mereka  berasal  dari  kebun mereka sendiri.

Suryandari (2010) juga mencatat bahwa terdapat keuntungan ekonomi dari adanya pertanian perkotaan. Misalnya Di kota Dar Es Salaam, pertanian kota membentuk  sedikitnya  60%  sektor  informal dan pertanian kota merupakan kedua terbesar pemberi kerja di kota (20% penduduk   kota bekerja di sektor pertanian perkotaan). Di  kota  Addis  Abeba,  keuntungan  dari pertanian  kota  adalah  lumayan  hingga  tinggi.  Hal  ini juga  dialami  oleh  produsen  kebun  belakang  rumah yang  skalanya  paling  kecil  dengan  modal  sangat rendah.  Di  kota  Harare,  simpanan petani  kota  skala kecil meningkat dan setara dengan lebih dari separuh gaji bulanan. Di  Nairobi  pada awal 1990-an, pertanian kota memberikan nafkah paling tinggi bagi  tenaga  kerja  diantara  perusahaan  skala  kecil dan pemberi nafkah ketiga paling tinggi untuk seluruh kota di Kenya.

Manfaat sosial juga bisa didapatkan dari adanya pertanian perkotaan. Cukup banyak proyek pertanian perkotaan melibatkan  kelompok  kurang  beruntung  seperti  yatim piatu,   penyandang   cacat,   kelompok   perempuan, imigran  baru  tanpa  pekerjaan  tetap,  atau  orang-orang lansia, dengan tujuan untuk mengintegrasikan mereka  ke  dalam  jaringan  kota  dan  untuk  menyediakan  mereka  suatu  mata  pencarian  yang  pantas. Penduduk yang terlibat dalam proyek tersebut dapat merasakan keuntungan  dari  bekerja  secara  konstruktif, membangun   komunitas   mereka,   bekerja bersama  menghasilkan  makanan  dan  barang  lain untuk dimakan sendiri dan dijual.

Di Indonesia, Jakarta juga mengembangkan pertanian perkotaan. DKI Jakarta mengembangkan pertanian perkotaan yang bersifat multi-dimensi, yaitu: ekologi, ekonomi, sosial, kelembagaan, dan teknologi dengan metode MDS (Multi-Dimensional Scaling). Selain DKI Jakarta, Surabaya juga mengembangkan pertanian perkotaan. Salah satu bentuk pengembangan pertanian perkotaan di Surabaya adalah dengan mengembangkan budidaya lele yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program ini sangat kontra dengan keadaan yang ada. Pembudidayaan biasanya dilakukan pada lahan yang cukup luas namun berbeda dengan urban farming budidaya lele dimana tempat yang digunakan dalam pembudidayaan adalah kolam terpal yang tidak memerlukan lahan yang besar. Program ini dilakukan di perkotaan yang sebagian besar lahannya mulai berrubah alih fungsi dari yang awalnya lahan kosong berubah menjadi bangunan pertokoan ataupun perkantoran.

Memang sudah tepat perkotaan menanam, untuk memanen kemudian.

Leave a Reply