Penyebaran virus Corona yang begitu massif, sampai badan kesehatan dunia WHO menyebutnya sebagai pandemi, akhir-akhir ini membuat banyak pihak terus-menerus memutar otak untuk mengatasinya. Salah satu cara mencegah penyebaran virus ini adalah mengisolasi diri di rumah masing-masing untuk menghindari kerumunan orang. Hal tersebut mungkin mudah untuk orang-orang yang bisa mengerjakan pekerjaannya dari rumah. Sayangnya, hal tersebut tentu sulit untuk kebanyakan penduduk desa yang bekerja di sektor informal seperti petani, peternak, nelayan, pedagang pasar, dan UMKM. Meskipun demikian, menurut penulis paling tidak ada satu cara agar para penduduk desa yang bekerja di sektor informal tersebut hanya perlu pergi ke luar rumah mereka untuk pekerjaan mereka, selebihnya tidak. Caranya adalah: pelayanan publik jarak jauh melalui perangkat digital.
Pelayanan publik jarak jauh tersebut salah satunya dapat dilakukan dengan mengimplementasikan konsep Desa Cerdas (Smart Village). Menurut Viswanadham (2010) yang dikutip dalam laporan Lembaga Administrasi Negara (2018), konsep smart village mengacu pada seperangkat pelayanan yang dapat diberikan kepada masyarakat desa dan pelaku usaha secara efektif dan efisien dengan bertumpu pada 4 (empat) aspek, yaitu institusi, sumber daya, rantai pelayanan, serta teknologi dan mekanisme penyampaian layanan.
Pelayanan yang dibutuhkan untuk membangun smart village mencakup bidang konstruksi, pertanian, pelayanan listrik, pelayanan kesehatan, air bersih, perdagangan, manufaktur dan logistik. Teknologi informasi, komputer dan komunikasi memiliki peran yang besar dalam merancang, mewujudkan dan memonitor layanan-layanan tersebut. Bentuk konsep desa cerdas yang ditawarkan adalah penyatuan dari puluhan pelayanan di pedesaan yang diberikan bagi masyarakat secara efektif dan efisien untuk melakukan berbagai hal (LAN, 2018).
Pada praktinya menurut Herdiana (2019), pengembangan smart village harus dipahami sebagai kondisi yang menunjukan adanya dorongan dari bawah, yaitu dari masyarakat untuk lebih bisa menggali potensi dan meningkatkan kapasitas yang dimilikinya. Keinginan tersebut kemudian didorong oleh pemerintah desa sebagai cara untuk memberikan pembinaan dan pemberdayaan agar terwujud peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. Dengan demikian pemanfaatan teknologi informasi dijadikan sebagai alat atau “tools” dalam upayanya mewujudkan keinginan tersebut dan bukan sebagai tujuan atau “goals”.
Pada konteks smart village, adanya pemanfaatan teknologi informasi dapat memberikan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, pemerintah desa akan dapat menyelenggarakan fungsi pemerintahan secara efektif dan transparan kepada masyarakat. Selain itu, pemanfaatan teknologi informasi secara umum dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas pemerintah desa.
Herdiana (2019) kemudian menjelaskan bahwa pemanfaatan teknologi informasi secara baik oleh pemerintah desa tidak hanya akan mampu meningkatkan kinerja pemerintah desa dikarenakan teknologi menjadi alat untuk mempermudah pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah desa, tetapi juga pemanfaatan teknologi informasi pada akhirnya akan mampu menciptakan penyelenggaraan peran dan fungsi pemerintah desa secara transparan dan akuntabel. Di sisi yang lain, penggunaan teknologi informasi dalam proses pembinaan dan pemberdayaan masyarakat akan mampu memperkuat kelembagaan masyarakat, sehingga masyarakat memiliki keberdayaan untuk mengukur kualitas pelayanan yang diberikan oleh pemerintah desa dan mampu melihat kinerja pemerintah desa.
Salah satu contoh penerapan konsep Desa Cerdas pada pelayanan publik menurut laporan Center for Digital Society Fisipol UGM (2019) terjadi di Desa Dlingo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengembangan desa cerdas ini dimulai dari perbaikan dan pengintegrasian informasi desa terkait dengan kondisi administratif, demografi, ekonomi, dan potensi desa lainnya dengan tujuan untuk memperoleh data yang rapi, akurat, dan informatif. Langkah selanjutnya, setelah mengetahui potensi yang dimiliki desa, dikembangkan program ekonomi yang bertujuan untuk membuka lapangan kerja baru dan perbaikan kondisi ekonomi masyarakat desa Dlingo.
Laporan Center for Digital Society Fisipol UGM menunjukan bahwa implementasi kebijakan smart governance sebagai bagian dari konsep smart village di Desa Dlingo lebih ditekankan pada penetrasi Teknologi Informasi dan Komunikasi ke dalam pemerintahan dan masyarakat desa. Terdapat dua langkah utama dalam implementasi smart governance di Desa Dlingo, yaitu, pertama langkah awal yang dilakukan adalah melakukan pengadaan infrastruktur penunjang yang bersifat fisik dan non fisik. Kedua, tahap implementasi smart governance di Desa Dlingo adalah pengembangan dan pemanfaatan software, website SID (Sistem Informasi Desa) dan media sosial yang telah dikembangkan dengan bantuan beberapa pihak.
Penerapan konsep smart village dalam pelayanan publik mendatangkan manfaat bagi Desa Dlingo. Salah satu manfaatnya adalah peningkatan kualitas pelayanan publik sebagai konsekuensi dari adanya perbaikan data. Proses digitalisasi memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik secara digital. Masyarakat tidak perlu lagi mengisi berbagai macam formulir untuk mendapatkan pelayanan di Kantor Pemerintah Desa Dlingo. Masyarakat hanya perlu menginformasikan Nomor Induk Kependudukan (NIK)-nya untuk memperoleh berbagai macam pelayanan publik sehingga mereka tidak perlu lagi berkumpul ramai-ramai di balai desa untuk mendapatkan layanan publik.
Contoh lainnya datang dari Desa Pejambon, Bojonegoro. Salah satu program andalan dari desa tersebut adalah pemerintahan terbuka (open government). Ada lima langkah yang dilakukan oleh desa tersebut. Pertama, revolusi data, yaitu aksi merevolusi data kependudukan dengan sasaran dan pelakunya adalah Dasa Wisma yang merupakan bagian dari kegiatan kelompok perempuan melalui Kader PKK untuk mewujudkan Gerakan Desa Sehat dan Cerdas.
Kedua, penguatan akuntabilitas pemerintah desa dimana dalam menjalankan roda pemerintahan melibatkan semua stakeholder desa mulai lembaga desa, tokoh masyarakat, tokoh agama, ikut melaksanakan program pembangunan, dan ikut melakukan pengawasan. Ketiga, peningkatan penerapan transparansi dan akuntabilitas anggaran desa yang terafiliasi dengan aplikasi SISKEUDES (Sistem Keuangan Desa) yang telah disepakati antara BPKP dengan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro sebagai bentuk akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan desa agar mudah dikontrol dan terlaksanya pelaporan keuangan desa yang bisa dipertanggungjawabkan.
Keempat, penguatan keterbukaan dokumentasi pembangunan melalui E-musrenbang yang diteruskan menjadi transparansi kegiatan pembangunan mulai perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban bisa dilihat daengan transparan oleh masyarakat. Kelima, peningkatan pelayanan publik, baik layanan Informasi maupun layanan administrasi dengan penguatan media informasi.
Tentu saja tidak mudah mewujudkan konsep di atas di seluruh desa di Indonesia, tetapi langkah ke arah pengimplementasian konsep smart village harus terus didorong. Apalagi pada masa pandemi sekarang ini ketika nyawa masyarakat harus dilindungi dan desa harus tetap melayani.
Bacaan lebih lanjut
Herdiana, Dian. 2019. Pengembangan Konsep Smart Village bagi Desa-Desa di Indonesia Developing the Smart Village Concept for Indonesian Villages. IPTEK-KOM, Vol. 21 No. 1, Juni 2019: 1 – 16.
Lembaga Administrasi Negara. 2018. Laporan Isu Strategis Pengembangan Model Desa Cerdas. Jakarta: Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Lembaga Administrasi Negara.
Center for Digital Society Fisipol UGM. 2019. Desa Cerdas: Transformasi Kebijak An Dan Pembangunan Desa Merespon Era Revolusi Industri 4.0. Yogyakarta: Center for Digital Society Fisipol (CFDS) UGM & Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) UGM.
Sumber gambar: kompas.com