Filantropi (philanthropy), dalam catatan Lingkar LSM (2013), adalah satu di antara konsep-konsep yang mendesak. Konsep ini dianggap relevan untuk dua wacana pokok yang sedang menyedot perhatian dan keprihatinan publik di Indonesia. Pertama, krisis dan dampak-dampak ikutannya (konflik sosial, pengungsian, pembengkak-an hutang negara), yang menimpakan penderitaan bagi manusia Indonesia, terutama atas golongan yang kurang beruntung atau tidak diuntungkan (the disadvantaged). Upaya-upaya pemulihan dengan biaya sosial (social cost) tak kecil telah dilakukan, tetapi tanda-tanda kepulihan yang mendasar belum juga tampak jelas. Pemulihan lebih lanjut, memerlukan dana sosial (social fund) yang tak kecil pula. Kedua, agenda penegakan kembali tatanan masyarakat warga (civic minded, civil society) yang terkait dengan wacana demokratisasi, rekonsiliasi, penguatan kapasitas (capacity building), pemberdayaan (empowerment) atau tata pemerintahan yang baik (good governance).
Pasca berakhirnya Perang Dingin, filantropi seringkali dianggap sebagai alternatif dari “kebangkrutan” Komunisme dan “kekejaman” Kapitalisme yang membuat filantropi mendapat label sebagai “Sektor Ketiga” (Third Sector). Contoh populer penggunaan filantropi sebagai sektor ketiga menariknya datang dari negara kapitalistik yang dianggap (atau lebih tepatnya menganggap dirinya) sebagai pemenang Perang Dingin: Amerika Serikat. Pada periode kedua masa kepresidenan Barack Obama, dengan instrumen Undang-Undang Kesehatan Murah (Affordable Care Act), pemerintah membantu pembentukan koperasi kesehatan di tingkat negara bagian yang akan bersaing dengan perusahaan asuransi komersial. Koperasi tadi akan menjalankan bisnis asuransi non-profit. Dari dan untuk anggota.
Di bawah Obama, penguatan koperasi dipromosikan oleh The Office of Social Innovation and Civic Participation yang merupakan bagian dari kantor kepresidenan. Lembaga ini dibentuk pada periode pertama Obama, 2009, yang bertujuan melibatkan masyarakat dalam memecahkan problem-problem ekonomi-sosial. Penguatan partisipasi masyarakat, lewat koperasi atau lembaga swadaya dan yayasan-yayasan filantropis, bisa menjadi kompromi ideologis. Sektor masyarakat dipandang sebagai sektor ketiga yang penting untuk mengimbangi dominasi negara (“sosialistik”) dan dominasi pasar (kapitalistik). Bila ditarik lebih mendalam, sektor ketiga, dalam catatan Farid Gaban, dianggap sebagai jawaban dari problem ketimpangan sosial akibat gelombang besar privatisasi dan kapitalisme pasar bebas yang diagungkan Margaret Thacther dan Ronald Reagan pada 1980-an di satu sisi. Dan di sisi lain, jawaban terhadap beban negara yang makin berat untuk menyelenggarakan “negara kesejahteraan” (welfare-state).
Meskipun demikian, filantropi bukan tanpa kritik. Kegiatan filantropis, utamanya yang berasal dari belahan bumi bagian utara, seringkali dianggap hanya sebagai “sarana cuci tangan”, “penghapus dosa”, atau bahkan “cara yang sopan untuk mengakumulasi kapital” dari para pemodal besar. Arianto Sangaji (2019) dalam kajiannya menunjukan bahwa industri filantropis humanitarian bergantung secara finansial kepada Utara. Dana humanitarian global mengalami pertumbuhan pesat, dari US$192,9 juta (1999) menjadi US$15,16 miliar (2018). Dari total nilai tahun lalu, AS (Amerika Serikat), Jerman, Inggris, dan UE (Uni Eropa) menyumbang 63,05%. Bantuan-bantuan tersebut terutama disalurkan melalui lembaga-lembaga PBB. Contoh lain, ICRC. Kendati bukan merupakan organisasi antar pemerintah, mandat publiknya bersandar pada hukum humanitarian internasional. Pembiayaan utamanya bersumber dari negara-negara yang menandatangani Konvensi Geneva 1949, dengan Utara sebagai penyumbang kunci. Pada 2017, dari total CHF1,8 miliar yang berhasil dikumpul, 83,41% berasal dari berbagai pemerintahan nasional. AS adalah donatur terbesar, yang menyumbang 22,34%.
Selanjutnya menurut Arianto Sangaji (2019) dengan struktur pembiayaan industri filantropis humanitarian tersebut, tidak bisa dihindari, Utara memengaruhi aksi humanitarian global. Menggunakan syarat-syarat atau standar ekonomi dan politik tertentu dalam penyaluran bantuan, Utara bisa mendisiplinkan perilaku organisasi-organisasi humanitarian. Paling utama, kepentingan kemanusiaan aksi humanitarian harus sejalan dengan kepentingan keamanan donatur. Industri filantropis humanitarian juga dianggap sebagai alat depolitisasi karena membuat warga negara yang dibantu beranggapan bahwa hak-hak mereka bukan tanggung jawab negara. Depolitisasi tersebut dijustifikasi dengan keyakinan antinegara dan kesukarelaan yang mengagungkan keterlibatan pihak non negara untuk mengurusi masalah-masalah sosial. Sektor kesukarelaan (kurang lebih sama dengan sektor ketiga) dipercayai memiliki kemampuan sumberdaya menyelesaikan masalah-masalah sosial. Keyakinaan tersebut yang membuat sektor ketiga, meminjam bahasa David Harvey dan Arianto Sangaji, bisa disebut sebagai “Kuda Troya Neoliberalisme”.
Bagaimana menurut anda? Filantropi sosial anda anggap sebagai solusi alias jalan keluar atau justru hanya selubung penindasan lama saja?
Referensi
Sangaji, Arianto. 2019. Bencana, Humanitarianisme dan Rekonstruksi di Era Kapitalisme Neoliberal. Dapat diakses melalui www.indoprogress.com/2019/04/bencana-humanitarianismedanrekonstruksi-di-era-kapitalisme-neoliberal/
Sumber gambar: iran-daily.com