Dalam banyak kesempatan, beberapa kritik dan pertanyaan tentang Creative Hub (CHUB) sering bermunculan. Bukan saja karena CHUB masih berusia muda sebagai inkubator dan lembaga yang mencoba fokus pada isu kewirausahaan sosial, namun juga karena tafsir atas Start Up masih sangat digital-sentris. Jujur saja, keterjebakan pada isu 4.0 yang dihubungkan dengan Start Up — juga CHUB, sangat sulit untuk dilepaskan. Mengapa anggapan bahwa CHUB hanya fokus pada start up dan isu-isu digital bisa jadi kurang tepat?
1. Start Up Tidak Selalu Berarti Perusahaan Digital
Natalie Robehmed dalam Forbes.com (2013) pernah menjadikan diskusi terkait perdebatan start up yang diidentikan dengan perusahaan digital atau perusahaan berbasis aplikasi. Dalam tulisannya, ia membantah dua hal: pertama, start up adalah tentang perusahaan rintisan yang usia dan skala bisnisnya masih kecil. Sehingga perusahaan seperti Uber, yang valuasinya telah mencapai miliaran dolar, sudah tidak dapat disebut sebagai start up. Kedua, tidak semua start up harus mengandalkan teknologi digital. Digital adalah tentang pilihan metode.
2. Digital sebagai Platform
Sebagaimana penjelasan bahwa digital merupakan pilihan cara; CHUB juga memandang digital sebagai platform dalam membangun kewirausahaan sosial, yakni dengan memanfaatkan kemajuan teknologi digital untuk mendukung bisnis sosial yang dikembangkan. Lagi pula, kajian terkait perkembangan platform digital sebagai pendukung suatu bisnis juga sudah ada sejak kemunculan internet pada pertengahan 1990 (Zott dan kolega, 2011). Sehingga digital bukan hal yang harus selalu dilekatkan dalam term start up, namun sebagai bagian penting dari inisiatif bisnis yang sudah selayaknya dilakukan oleh perusahaan yang ingin terus berinovasi (Yoo dan kolega, 2012).
3. CHUB bukan hanya inkubator start up digital
CHUB sendiri sebenarnya memiliki dua program utama: a) talent pitching yang kemudian dikenal sebagai inkubator start up sosial, dan b) Akademi Kewirausahaan Masyarakat (AKM) yang fokus pada isu pemberdayaan masyarakat di tataran pengetahuan dan praktik. Jadi, CHUB bukan hanya fokus pada serba-serbi kewirausahaan sosial di ranah digital. Namun juga terkait kewirausahaan sosial secara umum yang memungkinkan komunikasi antara CHUB sebagai bagian dari akademisi dengan Pemerintah maupun komunitas masyarakat. Hanya saja, perkembangan teknologi digital mau tidak mau menjadikan beberapa aspek dari program CHUB memanfaatkan kemajuan tersebut. Sama seperti lembaga-lembaga lain yang merespon kemajuan untuk mendukung projek mereka. Tiga alasan di atas seharusnya cukup mampu untuk melepaskan anggapan bahwa CHUB adalah tentang persaingan dalam membangun industri digital dan isu 4.0. Sehingga di waktu yang akan datang, masyarakat diharapkan dapat menerima narasi kewirausahaan sosial yang coba dibangun oleh CHUB sebagai upaya menghadapi masalah sosial secara inovatif; bukan justru membuat disparitas teknologi antar lembaga menjadi semakin tinggi dengan slogan ‘kami paling 4.0’.
Sumber gambar: digitallearning.eletsonline.com