Dunia bergerak begitu cepat. Belum lama kita dibuat bingung, terheran-heran, kagum, bahkan mungkin takut dengan istilah “Revolusi Industri 4.0”, dan baru-baru ini muncul istilah baru yaitu “Society 5.0” yang diwacanakan, dikembangan, dan ditawarkan kepada dunia oleh pemerintah Jepang di bawah Perdana Menteri Shinzo Abe. Pada World Economic Forum (WEF) yang diselenggarakan di Davos, Swiss pada 23 Januari 2019 lalu, Shinzo Abe ketika mengenalkan konsep “Society 5.0” pada para peserta forum tersebut mengatakan bahwa negaranya Jepang menghadapi masalah besar sehingga dibutuhkan terobosan luar biasa untuk memulihkan perekeonomian, membangkitkan optimisme rakyat, dan kembali terdepan dalam persaingan global.
Masalah utama Jepang seperti yang diungkapkan oleh Shinzo Abe pada World Economic Forum (WEF) tersebut adalah populasi yang menua, di mana sekitar 26 persen penduduk Jepang berusia di atas 65 tahun. Kondisi itu membuat Jepang kekurangan tenaga kerja produktif dan menebarkan pesimisme di masyarakat Jepang. Lima tahun lalu, kata Abe, Jepang dianggap sebagai “tembok keputusasaan, tembok pesimisme.” Menurut Shinzo Abe, sejak lima tahun yang lalu populasi usia kerja di negara Jepang anjlok 4,5 juta orang.
Bagian Dari Abenomics
Untuk mengatasi masalah tersebut, sejak tahun 2012, Shinzo Abe mengeluarkan serangkaian kebijakan untuk memperbaiki kembali perekonomian Jepang. Kebijakan-kebijakan dari Shinzo Abe tersebut sering disebut sebagai Abenomics (termasuk “Society 5.0”). Salah satu bagian dari Abenomics yang paling populer adalah adalah kebijakan ekonomi berbasis perempuan yang kemudian dianggap sebagai kebijakan pro-gender Womenomics. Peningkatan sektor perekonomian berbasis perempuan atau yang disebut Womenomics adalah upaya yang di rasa perlu untuk diterapkan demi kesejahteraan sosial, ekonomi dan peningkatan peran perempuan dalam pencapaian kesetaraan gender di Jepang oleh pemerintahan Shinzo Abe (Saputra, 2016).
Womenomics tentu tidak tanpa kritik. Bagi pemerintahan Shinzo Abe, perempuan merupakan pemimpin dan pengatur dalam terciptanya permintaan atas semua bentuk komoditas kehidupan sehari-hari. Womenomics sendiri merupakan kebijakan yang menghubungkan tujuan-tujuan liberalisasi pasar seluas-luasnya tanpa hambatan negara yang dipertemukan dengan peran normatif negara dalam menciptakan regulasi publik untuk menghapuskan permasalahan yang menghambat terjadinya pengembangan dan perluasan kebebasan pasar (Sekiguchi, 2014). Maka, serangkaian kebijakan Womenomics jika dilihat dari perspektif feminisme kritis (Tong, 2013) tidak lebih dari upaya pelanggengan sistem ekonomi kapitalistik yang eksploitatif namun dibungkus dengan wacana-wacana yang seolah-olah memperjuangkan hak perempuan. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah “Society 5.0” sama saja?
Society 5.0
Shinzo Abe dalam pertemuan di Davos, Swiss seperti yang disinggung di atas mendefinisikan Society 5.0 sebagai konsep masyarakat yang berpusat pada manusia (human-centered) dan berbasis teknologi (technology based). Melalui Society 5.0, kecerdasan buatan (artificial intelligence) akan mentransformasi big data yang dikumpulkan melalui internet pada segala bidang kehidupan (The Internet of Things) menjadi suatu kearifan baru, yang akan didedikasikan untuk meningkatkan kemampuan manusia membuka peluang-peluang bagi umat manusia secara keseluruhan dan juga untuk kemanusiaan. Rencana kebijakan Society 5.0 sendiri, seperti dilansir oleh website pemerintah Jepang, sudah masuk dalam dokumen Rencana Dasar Sains dan Teknologi ke-5 Jepang. Lantas bagaimana Society 5.0 ini bekerja?
Mengutip media daring Times Indonesia yang menyajikan intisari dokumen rencana kebijakan Soceity 5.0 yang diakses dari website pemerintah Jepang cao.go.jp, dalam masyarakat informasi masa lalu (Society 4.0), orang akan mengakses layanan cloud (database) di dunia maya melalui internet dan mencari, mengambil, dan menganalisis informasi atau data. Sementara itu, pada Society 5.0, sejumlah besar informasi dari sensor di ruang fisik terakumulasi di dunia maya.
Di dunia maya, data besar ini dianalisis oleh kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), dan hasil analisisnya diumpankan kembali ke manusia dalam ruang fisik dalam berbagai bentuk. Pada Society 4.0, praktik umum adalah mengumpulkan informasi melalui jaringan dan menganalisisnya oleh manusia. Namun, dalam Society 5.0, orang, benda, dan sistem semuanya terhubung di dunia maya dan hasil optimal yang diperoleh oleh AI melebihi kemampuan manusia diberi feedback atau umpan balik ke ruang fisik. Proses ini membawa nilai baru bagi industri dan masyarakat dengan cara yang sebelumnya tidak mungkin.
Selain itu, seperti yang dilansir oleh media daring Berita Satu, Shinzo Abe menjelaskan dalam pertemuan World Economics Forum (WEF) di Davos, Swiss tersebut bahwa Society 5.0, mensyaratkan peyimpanan data tanpa batas negara (borderless data) dan tata kelola data di seluruh dunia (worldwide data governance) untuk mendorong pertumbuhan di masa depan. Dalam catatan Shinzo Abe, setiap hari dihasilkan data sebanyak 2,5 quintillion bytes yang menurut estimasi setara 250 kali konten buku cetak yang ada di perpustakaan Kongres Amerika Serikat. Shinzo Abe kemudian juga sangat optimis karena menurutnya dalam Society 5.0, bukan lagi permodalan yang menghubungkan dan menggerakkan segala sesuatu, tetapi data, sehingga hal tersebut akan mengurangi kesenjangan antara yang kaya dengan yang kurang beruntung.
Kritik pada Society 5.0
Seperti halnya Womenomics, kebijakan Shinzo Abe dengan konsep Society 5.0, meskipun baru diluncurkan, tidak lepas dari kritik. Kita bisa mengambil kritik dari apa yang disampaikan oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus. Dalam karyanya tersebut, Yuval Noah Harari mengingatkan tentang kemungkinan penyalahgunaan Big Data (yang merupakan komponen utama konsep Society 5.0) oleh kekuasaan negara dan kekuasaan perusahaan multinasional bermodal besar. Menurut Yuval Noah Harari, di era Big Data sekarang ini data adalah sumber kehidupan.
Sekarang ini bahkan data lebih tahu diri kita daripada diri kita sendiri. Yuval Noah Harari juga mengaskan bahwa manusia tak lebih dari algoritma yang bisa diatur pengalamannya, emosinya dan keputusannya. Google, Facebook, Twitter, dan Instagram misalnya dengan melakukan data mining dari semua yang kita unggah pada situs dan media sosial tersebut bisa mengetahui keseharian dan preferensi kita yang oleh mereka dengan sangat mudah bisa dijual ke perusahaan multinasional bermodal besar yang akan memasang iklan produk-produk yang sesuai selera kita pada waktu yang tepat ketika kita membuka situs dan media sosial tersebut sehingga memperbesar kemungkinan kita terpengaruh untuk membeli produk-produk yang sebenarnya bukan kebutuhan kita tapi sebatas pemenuhan selera saja.
Selanjutnya, menurut Yuval Noah Harari yang berkebalikan dengan keyakinan Shinzo Abe, semakin canggih teknologi maka akan semakin tinggi pula kesenjangan yang terjadi di dunia. Karena teknologi mahal harganya dan pada kenyataanya hanya bisa dinikmati oleh WEIRD – Western (Jepang meskipun negara Asia tapi dalam hal ini bisa dianggap setara dengan negara-negara Barat), Educated, Industrialised, Rich and Democratic society yang tentu saja hanya mewakili sebagian kecil umat manusia.
Selain itu, kritik dari Hizkia Yosie Polimpung tentang eksploitasi terhadap user yang mengunggah datanya di internet juga sangat relevan. Menggunakan Analisis Antarmuka Kritis (AAK) atau Critical Interface Analysis, Hizkia Yosie Polimpung menerangkan bahwa “di bawah” permukaan antaramuka (UI/UX) suatu aplikasi platform digital, akan selalu ada mesin penambang data yang senantiasa merekam, mengkodekan, dan menyimpan data yang dihasilkan dari seluruh aktivitas user/pengguna aplikasi tersebut. Data inilah yang digunakan untuk mengisi konten tampilan antarmuka.
Selanjutnya, Hizkia Yosie Polimpung dengan menggunakan analisis tersebut menerangkan bahwa telah terjadi “pencurian” nilai kerja pada para user atau pengguna platform digital karena semua data yang digunakan sebagai sumber daya utama beroperasinya platform–platform tersebut dihasilkan dari apa yang diunggah oleh para user. Dengan kata lain, ketika semakin banyak aspek hidup kita yang kita masukan sebagai data pada platform digital seperti yang diharapkan dalam konsepsi Society 5.0 maka tidak hanya perusahaan-perusahaan multinasional bermodal besar semakin mengetahui diri kita lebih dari diri kita sendiri tetapi juga menjadikan kita “pekerja” tanpa upah karena semua sumber daya data yang mereka gunakan kita unggah secara cuma-Cuma (bahkan dengan rasa senang seperti ketika kita update stories di Instagram).
Sekarang, saatnya kita berpikir dan bertanya kembali apakah Society 5.0 benar-benar untuk Society (Masyarakat)
Referensi
Di Era Industry 4.0, Jepang Sudah Masuk Society 5.0. Diakses dari https://www.beritasatu.com/ekonomi/534519-di-era-industry-40-jepang-sudah-masuk-society-50.html
Hizkia Yosia Polimpung, “Sumber Daya Data User” Indoprogress, 2 Juli 2018. Diakses dari https://indoprogress.com/2018/07/sumber-daya-data-user/
Mengenal Society 5.0, Transformasi Kehidupan yang Dikembangkan Jepang. Diakses dari https://www.timesindonesia.co.id/read/197889/20190124/191651/mengenal-society-50-transformasi-kehidupan-yang-dikembangkan-jepang/
Saputra, Andrian. 2016. WOMENOMICS SEBAGAI MEKANISME PENINGKATAN PERAN PEREMPUAN DI JEPANG: Studi Kasus Kebijakan Pro-Gender di Era Pemerintahan Shinzo Abe Periode Ke-2. Univesitas Negeri Sebelas Maret
Toko Sekiguchi, “Abe Wants to Get Japan’s Women Working,” WSJ, 12 September 2014. Diakses dari http://online.wsj.com/articles/abes-goal-for-more-womenin-japans-workforce-prompts-debate-1410446737
Tong, P Rosemarie. 2013. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Westview Press: Colorado.
Sumber gambar: southjets.com