You are currently viewing Revolusi Mental, Permasalahannya, dan Fiksi-Imajinasi Yang Kita Butuhkan Untuk Mewujudkannya

Revolusi Mental, Permasalahannya, dan Fiksi-Imajinasi Yang Kita Butuhkan Untuk Mewujudkannya

Empat tahun berlalu sejak pertama kalinya Joko Widodo dan Jusuf Kalla melontarkan jargon “Revolusi Mental” yang akan mereka jadikan program kerja jika mereka terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019. Kita semua sudah tahu bahwa pada akhirnya Joko Widodo dan Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden, tetapi barangkali kita sering lupa-lupa ingat dengan program kerja dengan semangat “Revolusi Mental” yang dulu mereka janjikan. Bulan Juni kemarin, media daring Tirto menulis serangkaian laporan tentang evaluasi program-program pemerintah yang berkaitan dengan “Revolusi Mental”. Dalam laporannya yang berjudul Jargon Kosong Program Revolusi Mental, media daring tersebut menulis bahwa sangat banyak Aparatur Sipil Negara pada Kementerian-Kementerian yang terkait dengan program “Revolusi Mental” yang tidak tahu secara mendalam mengenai “Revolusi Mental”.

Masalah Birokrasi dan Kebijakan Publik

Ketidaktahuan sejumlah Aparatur Sipil Negara tersebut terkait program “Revolusi Mental” patut dipertanyakan mengingat pada tahun 2015 saja, Kementerian Pembangunan Manusia dan Kebudayaan menganggarkan Rp 97 miliar untuk iklan televisi, Rp 3,8 miliar untuk iklan di radio, program sosialisasi lewat kampanye partisipasi masyarakat dengan bujet Rp 2 miliar, dan program yang sama berupa gelar budaya dengan anggaran Rp 3 miliar.  Total anggaran untuk sosialisasi yang disediakan kementerian mencapai Rp 105 miliar dari anggaran revolusi mental mencapai Rp 149 miliar pada 2015. Bagaimana bisa biaya sosialisasi sebesar itu tidak berdampak pada naiknya pemahaman masyarakat terhadap “Revolusi Mental” bahkan birokrat-birokrat di Kementerian-Kementerian yang terkait program “Revolusi Mental” sampai sekarang masih kesulitan untuk menjawab apa indikator capaian “Revolusi Mental”. Hal tersebut diperparah dengan masih banyaknya birokrat-birokrat yang bermental “ingin dilayani” alih-alih “ingin melayani” padahal mereka adalah ujung tombak program “Revolusi Mental”.

Ketidaktahuan masyarakat luas tentang program “Revolusi Mental”  juga menandakan bahwa “Revolusi Mental” meskipun dalam Instruksi Presiden nomor 12 tahun 2016 sudah diturunkan menjadi lima macam program yaitu Gerakan Indonesia Bersih, Gerakan Indonesia Melayani, Gerakan Indonesia Tertib, Gerakan Indonesia Mandiri, dan Gerakan Indonesia Bersatu nyatanya masih sebatas formalitas program kerja belaka yang bahkan dalam aspek teknokratisnya seringkali dibuatkan program yang seadanya bahkan mengada-ada seperti membuat Taman atau menitipkan sosialisasi program “Revolusi Mental” pada mahasiswa dan mahasiswi yang sedang melaksanakan Kuliah Kerja Nyata.

Masalah Sektor Pendidikan

Selain birokrasi-birokrasi yang terkait, sektor pendidikan sebagai ujung tombak “Revolusi Mental” sayangnya juga mengalami masalah serius. Kita bisa melihat paradoks besar pada sekolah-sekolah dan universitas-univeristas kita yang melarang menyontek dan plagiarisme tetapi tanpa sadar menjadi lembaga-lembaga yang melembagakan penyotekan dan plagiarisme masal karena siswa dan mahasiswa hanya diajar dengan cara monoton sehingga seolah-olah hanya ada satu kebenaran tunggal dari guru atau dosen mereka yang harus mereka tuliskan di kertas jawaban ketika ujian agar mereka lulus sehingga ironisnya lembaga-lembaga pendidikan kita meskipun melarang mencontek dan plagiarisme tetapi pada kenyataanya hanya menghasilkan lulusan yang sebenarnya hanya pandai meniru dan menyalin (dengan istilah yang lebih kasar sebenarnya mereka hanya pandai mencontek) jawaban dari guru atau dosen mereka, bukan benar-benar pandai berpikir.

Selain itu, jika kita lihat lebih detail lagi dalam muatan kurikulum pendidikan khususnya pendidikan tinggi di Indonesia sekarang juga sangat layak kita kritisi. kurikulum yang ada sekarang hanya didesain agar dapat menempatkan para lulusannya cepat bekerja sesuai dengan kebutuhan pasar. Artinya, kurikulum yang didesain sekarang sekadar untuk mengantisipasi kebutuhan pasar tenaga kerja. Kurikulum yang baik dalam paradigma sekarang adalah yang mampu memberikan bekal teknis bagi mahasiswa untuk bekerja di kelak kemudian hari. Akibat dari paradigma kurikulum yang seperti itu, pendidikan lebih diarahkan pada kemampuan menyongsong pasar kerja. Ironisnya, kerja dalam hal ini yang diakui hanyalah kerja dalam hal teknis-praktis saja, tidak termasuk kerja intelektual dan tentu saja jauh dari kerja teoritis-filosofis yang sebenarnya sangat dibutuhkan untuk menyiapkan pola pikir baru demi tercapainya “Revolusi Mental”. Kecuali memang jika yang ingin dibentuk hanyalah sebatas “Mental Pasar” saja.

Mentalitas mahasiswa-mahasiswa di sektor pendidikan tinggi kita juga harus kita soroti. Banyak mahasiswa dari klaster Sosial-Humaniora menganggap bahwa banyak mahasiswa dari klaster Sains dan Teknologi punya ekspresi keagamaan/gaya hidup yang kaku, hanya punya logika benar-salah yang mutlak-mutlakan, pikirannya tidak dalam, apatis, dan berpotensi menjadi ekstrimis. Sebaliknya, banyak mahasisiwa dari klaster Sains dan Teknologi menganggap banyak mahasiswa dari klaster Sosial-Humaniora sebagai orang yang terlalu bebas serta santai dalam hal gaya hidup dan pemikirannya, terlalu banyak bicara tanpa ada hasil konkritnya, kurang/tidak pandai karena kemampuan matematikanya rendah, dan terlalu banyak protes.

Hal tersebut jelas kontraproduktif dengan tujuan terbentuknya institusi pendidikan yang menaungi keduanya yaitu “Universitas”. Padahal sesuai dengan namanya, Universitas dibentuk untuk menghasilkan manusia yang berpengetahuan universal (menyeluruh) yang artinya mahasiswa Sains dan Teknologi harus paham dengan kondisi sosial dan mahasiswa Sosial-Humaniora harus paham perkembangan sains-teknologi. Sayangnya yang nyata terjadi sekarang hanya sekadar “Multi-Fakultas” dimana banyak fakultas dikelola dalam satu payung administrasi saja tetapi esensi pembelajaran menyeluruh dari “Universitas” tidak ada, baik karena hambatan kurikulum maupun stigma-stigma yang tidak perlu seperti yang sudah disebutkan.

Yang Bisa Kita Lakukan

Bagi penulis masalah mendasar dari belum maksimalnya “Revolusi Mental” sekarang adalah tidak adanya apa yang disebut oleh Yuval Noah Harari, dalam magnum opus-nya Sapiens sebagai “fiksi” atau “imajinasi”. Manusia atau Homo Sapiens, menurut Harari berbeda dengan monyet yang hanya akan meneruskan informasi yang diterima,—misal—tentang ancaman predator, Sapiens memiliki kemampuan untuk menyatakan bahwa ancaman tersebut berasal dari sesuatu yang imajinatif seperti fiksi. Kemampuan Sapiens untuk berbicara fiksi adalah ciri paling unik dari bahasa Sapiens. Fiksi memungkinkan manusia membayangkan sesuatu secara kolektif. Lebih lanjut lagi, Harari menjelaskan  kemampuan manusia membicarakan dan menuliskan fiksi lalu menjadikannya sebagai alat pemersatu spesies tersebut serta melakukan kerjasama yang lebih efisien dan fleksibel sehingga dapat memobilisasi mereka untuk suatu tujuan.

Argumen Harari membuat “fiksi-imajinasi” menjadi sesuatu yang sangat penting dalam sejarah manusia. Jika kita perhatikan lebih dalam, bukankah Indonesia yang kita cintai ini adalah satu proyek “imaji” bersama yang dalam bahasa Benedict Anderson disebut sebagai Imagined Communities atau Komunitas Terbayang yang punya cita-cita atau “fiksi/imaji/narasi” bersama dalam pembukaan Undang-Undang Dasarnya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Kita juga harus sama-sama ingat bahwa rezim Orde Baru yang dalam bahasa Daniel Dhakidae disebut sebagai rezim yang Neo-Fasis bisa sedemikian lama berkuasa di Indonesia juga karena rezim tersebut punya fiksi yang sangat kuat yang bernama “Pembangunan” agar Indonesia bisa “Tinggal Landas”, meskipun rakyatnya sendiri yang harus jadi “Landasan”-nya.

Disinilah kita bisa membantu menyusun “fiksi-imajinasi” bersama tersebut. Kita harusnya ingat bahwa meskipun John Maynard Keynes mungkin tidak membantu banyak orang yang kehilangan pekerjaan saat Depresi Besar melanda Amerika Serikat dan sebagain besar dunia pada tahun 1930-an secara langsung, tetapi “fiksi-imajinasi” soal “Negara Kesejahteraan” yang diambil dari penemuan sosialnya tentang peran penting negara dalam perekonomian membantu mengeluarkan dunia dari kondisi krisis pada waktu itu. Jamaludin Al Afghani mungkin tidak memerdekakan satu bangsa pun, tetapi ia menggerakkan bangsa-bangsa terjajah di Dunia Islam untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka lewat “fiksi-imajinasi” bersama tentang kebangkitan dan persatuan Dunia Islam atau Pan-Islamisme.

Akhirnya, mengutip adik angkatan saya di FISIPOL UGM, Rully Satria dari Departemen Politik dan Pemerintahan angkatan 2016 yang berkata kepada saya bahwa cara paling mudah untuk mengukur keberhasilan “Revolusi Mental” adalah ketika murid-murid di tingkat TK dan SD tidak lagi mengambar dua gunung dan matahari ketika diminta mengambar bebas oleh guru mereka tetapi sudah mengambar robot, kegiatan olahraga, atau bahkan pertemuan pemimpin-pemimpin tingkat dunia karena mereka (murid-murid TK dan SD) sudah punya imajinasi yang lebih luas. Revolusi mental tak mungkin hadir tanpa revolusi fiksi-imajinasi, dan diantara semua jenis kemiskinan kita paham bahwa yang paling berbahaya adalah miskin imajinasi.

Sumber gambar: livingwellaware.com

Leave a Reply