Belakangan, isu mengenai big data dan penggunaannya dalam berbagai aspek kehidupan mulai ramai diperbincangkan baik di dunia bisnis, pemerintahan, maupun akademisi. Sebagai ikhtiar untuk memahami big data, kita dapat melihat substansi dari sebuah simposium “A Decade in Internet Time: Symposium on the Dynamics of the Internet and Society”, dimana Boyd dan Crawford berpendapat bahwa big data telah menciptakan sebuah sistem pengetahuan baru yang mengubah obyek pengetahuan (Boyd dan Crawford, 2011). Big data telah memberikan penyegaran atas paradigma konvensional ilmu sosial menuju apa yang disebut “computational social science” yang memampukan manusia mengamati dunia yang begitu kompleks serta lingkungan yang dinamis seperti saat ini (Chang et al., 2014). Dalam perspektif Mason dan kolega, computational social science bukan sekadar paradigma, melainkan sebuah bidang penelitian yang meneliti persinggungan antara ilmu komputer, ilmu statistik, dan ilmu sosial, di mana metode komputasi digunakan untuk menjawab permasalahan yang berkaitan dengan masyarakat. Berbeda dengan computational social science, kata lain yang juga populer di kalangan akademisi adalah “social computing” yang lebih menekankan pada desain sistem pendukung untuk memfasilitasi interaksi sosial manusia, termasuk mempelajari bagaimana dan alasan manusia memproduksi konten (Mason et al., 2014 dalam Rumata, 2016).
Berman (2013) berpendapat bahwa big data telah menjadi obyek pusat rotasi bagi kalangan akademisi, peneliti, korporat (bisnis), bahkan regulator karena informasi yang disediakan oleh penyedia big data bersifat permanen dan berkembang dari segi kuantitas dan kualitas. Dengan menggunakan data yang sama, siapa saja dapat mengkritisi serta mengkaji teknik analisis yang sudah ada sehingga menemukan sebuah formulasi yang efektif dan pada akhirnya menjadi sebuah pengetahuan baru. Senada dengan Berman, Hesse dan kolega (2015) menyakini bahwa big data dapat ditransformasikan menjadi pengetahuan bagi para peneliti sosial dengan menempuh berbagai prosedur (Rumata, 2016).
Big data yang terus dielukan memang sebanding jika kita cocokkan dengan realitas manfaaatnya di lapangan. Sebagai contoh, software Hadoop sebagai salah satu sampel big data open source (dalam artian dapat digunakan oleh masyarakat umum), menjadi salah satu tools paling populer di dunia kesehatan. Institute for Health Technology Transformation, sebuah perusahaan riset dan konsultasi berbasis New York, memperkirakan bahwa pada tahun 2011, industri kesehatan AS menghasilkan data sebesar kurang lebih 150 milyar GB (150 exabytes). Data yang jumlahnya sangat besar ini memungkinkan peningkatan biaya operasional pengelolaan data, sehingga sistem manajemen menggunakan analisis big data diperkirakan mampu mengurangi biaya pengelolaan data sebesar US$ 300 milyar – US$ 500 milyar (ID Big Data, 2018). Temuan ini rupanya linear karena industri kesehatan perlahan bergerak ke arah optimalisasi big data sebagai prosedur olah data, dan software yang digunakan tak lain adalah Hadoop. Hadoop tidak hanya memudahkan tenaga medis dalam hal administrasi pasien. Lebih dari itu, Hadoop mampu melacak klaim palsu atas asuransi kesehatan, memantau kondisi vital pasien, bahkan pengobatan kanker.
Mendiskusikan big data kaitannya dengan dunia medis memang sedikit jauh dengan topik sosio humaniora, termasuk isu-isu politik. Namun bukan berarti big data hanya bisa diaplikasikan untuk keperluan data administrasi, pengobatan dan hal lain terkait industri kesehatan —atau ilmu eksakta lainnya. Sebab beberapa tahun terakhir, perkembangan big data telah dimanfaatkan secara baik sebagai tools untuk memahami realitas sosial – politik dengan melihat perilaku masyarakat di media sosial (khususnya twitter). Sedikit berbeda dengan Hadoop yang berbentuk piranti lunak —yang harus dioperasikan oleh pengguna dan menjadi database bagi instansi terkait, big data satu ini telah terlebih dahulu dianalisis dan menghasilkan peta data yang disebut sebagai Social Network Analysis (SNA) sebelum sampai di hadapan para pembaca. Saat ini, sebuah lembaga media karnels asli buatan anak bangsa: Drone Emprit (dapat diakses di laman https://pers.droneemprit.id/), menjadi salah satu platform yang bergerak dalam analisis big data. Drone Emprit sendiri merupakan sebuah sistem yang berfungsi untuk memonitor serta menganalisa media sosial dan platform online yang berbasis teknologi big data.
Drone Emprit menggunakan keahlian Artificial Intelligence (AI) dan Natural Learning Process (NLP). Drone Emprit mampu menyajikan peta Social Network Analysis tentang bagaimana sebuah hoaks berasal, menyebar, siapa influencer pertama, dan siapa groupnya. Seluruh koding dilakukan dengan rumus dan menampilkan hasil yang lebih akurat (Anggraini, 2018). Bahkan melalui Drone Emprit Academic Open Data, masyarakat umum (akademisi, peneliti, dan elemen lain) dapat berpartisipasi dengan mendaftarkan diri, untuk kemudian diakomodir dalam sebuah grup WhatsApp yang akan mendiskusikan isu-isu apa saja yang menarik untuk digali dari interaksi orang-orang di media sosial. Beberapa isu yang sudah pernah digali antara lain: tren pembicaraan hoaks Ratna Sarumpaet, Sandi melangkahi makam, kasus Agni, Jokowi vs Prabowo, dan berbagai tema politik lainnya.
Inisiatif untuk membuka hasil analisis big data —yang dihimpun dari media sosial— dalam peta SNA tentu sangat memudahkan kita: akademisi sosio humaniora, untuk melihat relasi serta reaksi masyarakat atas isu tertentu. Bahkan kita dapat mengambil banyak keseimpulan seperti menakar kekuatan politik calon presiden dengan melihat seberapa banyak respons positif dan negatif masyarakat di media sosial, melihat derajat perpecahan atau polarisasi yang terbentuk, juga menetapkan berbagai standar untuk menilai isu seperti apa yang paling disukai oleh masyarakat.
Sayangnya, kemajuan ini akan menjadi virus bagi peneliti dan pegiat studi sosio humaniora lainnya saat tidak diimbangi dengan proses mengkritisi kelemahan-kelemahan big data (terutama dari media sosial). Selain karena media sosial tidak selalu merepresentasikan kehidupan nyata, berbagai manipulasi dalam dunia siber yang kian canggih bukan tidak mungkin membuat kita salah mengambil kesimpulan dan gagal memahai realitas sosial. Sehingga, meskipun disrupsi big data telah menyempurnakan riset konvensional —yang sering dianggap tidak representatif akibat pengambilan sampel— tugas kita sebagai akademisi tidak pernah berubah. Yakni untuk terus kritis dan memperkaya literasi agar tidak mudah mengambil kesimpulan tanpa proses triangulasi.
Sumber gambar: computerworld.ch