You are currently viewing Muda dan Berdaya: Desa Sebagai Masa Depan Pemuda dan Pemuda Sebagai Masa Depan Desa

Muda dan Berdaya: Desa Sebagai Masa Depan Pemuda dan Pemuda Sebagai Masa Depan Desa

Bertahun-tahun lamanya dalam pikiran manusia-manusia Indonesia, desa adalah suatu tempat yang selalu dirindukan (terbukti dengan padatnya arus mudik setiap tahunnya) tapi di sisi lain desa adalah suatu tempat yang dalam perjalanan sejarah Indonesia juga hampir selalu terpinggirkan dan luput dari perhatian para pemegang kekuasaan. Meskipun jauh dari perhatian kekuasaan selama puluhan tahun, akan tetapi terpinggirkannya wacana tentang pengembangan desa dan munculnya anggapan bahwa desa hanyalah tempat kembali para perantau atau tempat bersantai sementara para turis adalah akibat turunan dari sikap pemegang kekuasaan yang terwujud dalam kebijakan perundang-undangan di masa silam.

Beberapa tahun terakhir keadaan lambat laun berubah membaik. “Desa akhirnya berdaulat!”, kira-kira begitu tanggapan banyak aktivis, perangkat desa, dan masyarakat ketika lima tahun lalu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan. Pada Undang-Undang tersebut, Negara mendefinisikan Desa sebagai representasi dari kesatuan masyarakat hukum terkecil yang telah ada dan tumbuh berkembang seiring dengan sejarah kehidupan masyarakat Indonesia dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan kehidupan bangsa Indonesia. Secara historis desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia, jauh sebelum negara bangsa modern ini terbentuk, entitas sosial sejenis desa atau masyarakat adat dan lain sebagainya, telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Satu hal yang paling menonjol dari disahkannya Undang-Undang Desa tersebut adalah diberikannya Dana Desa ke seluruh Desa di Indonesia.

Dana Desa sendiri merupakan dana APBN yang diperuntukkan bagi desa untuk menguatkan kewenangan pemerintahan, pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat. Hampir setiap tahunnya jumlah anggaran yang diperuntukan untuk Dana Desa mengalami peningkatan. Pemerintahan Joko Widodo sendiri memasukkan rancangan dana desa pada RAPBN 2019 sebesar 837 trilliun atau naik 73 triliun dari tahun sebelumnya. Data dari pemerintah menunjukan bahwa pada anggaran semester I tahun 2018, realisasi dana desa telah mencapai Rp 35,9 triliun. Jokowi menjelaskan, dana tersebut digunakan untuk membangun 5,3 ribu kilometer jalan desa, 24,1 kilometer jembatan, 6 ribu unit akses air bersih, 508 unit tambatan perahu, 1,6 ribu unit PAUD, 910 unit Polindes, 845 unit pasar desa, 10,8 ribu unit irigasi, 677 unit posyandu, dan 664 unit embung.

Cukup terserapnya realisasi Dana Desa tidak berarti menjadikan implementasi Dana Desa bebas dari permasalahan. Lima tahun setelah Undang-Undang Desa disahkan dan Dana Desa diberikan ke seluruh Desa di Indonesia ternyata belum mampu secara maksimal mengangkat posisi Desa (paling tidak secara ekonomi) menjadi lebih berdaulat. Data dari Badan Pusat Statistik pada bulan Maret tahun 2018 menunjukan bahwa ketimpangan di wilayah Desa di seluruh Indonesia menjadi 0,324, naik 1,25% dari Maret tahun sebelumnya. Tentu ini menjadi warning bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi yang lebih mendalam dan teliti lagi terhadap implementasi Dana Desa di seluruh Indonesia. Persoalan lain yang muncul adalah soal korupsi Dana Desa. Pada Desember 2017, Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Sumiyati mengatakan, dari hampir 75 ribu desa di Indonesia yang mengelola Dana Desa (DD), sekitar 200 diantaranya terkena operasi tangkap tangan (OTT) (Tirto, 2017).

Sedikit Tentang Pemuda dalam Lintasan Sejarah Bangsa

Data-data tersebut menunjukan bahwa Dana Desa memang berhasil meningkatkan dan memeratakan pembangunan di banyak desa-desa di seluruh Indonesia tetapi tetap tidak bisa menjadi solusi tunggal menyelesaikan berbagai permasalahan dan tumpuan harapan masa depan. Lantas apa atau siapa yang akan paling menentukan masa depan desa-desa di Indonesia? Jawabannya: Pemuda. Menilik sejarahnya di Indonesia, pemuda memegang peranan cukup penting. Meskipun demikian, gerakan pemuda di Indonesia memiliki karakater yang sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Salah satu cara menangkap variasi gerakan pemuda di Indonesia adalah melalui berbagai karya sastra seperti yang dilakukan oleh Hilmar Farid (2011) seorang aktivis yang sekarang menjadi Direktur Jenderal Kebudayaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 

Hilmar Farid sebagaimana dikutip oleh Alvian dan Nurshafira (2015) berpendapat bahwa gerakan pemuda direpresentasikan secara berbeda-beda di setiap era. Pada awal abad ke-20, pemuda digambarkan sebagai mereka yang bersinggungan dekat dengan ‘kemajuan’ berkat persentuhannya dengan kultur Eropa. Representasi yang lain lagi nampak pada era Perang Kemerdekaan. Umumnya, pemuda digambarkan sebagai mereka yang berjuang demi kemerdekaan—walau di sisi lain karya-karya Pramoedya Ananta Toer atau Idrus menggambarkan pemuda lebih sebagai ‘bandit’ atau ‘pengkhianat’. Pada era Orde Baru, pemuda digambarkan sebagai pemberontak. Keberagaman ini membuat Farid menyimpulkan bahwa tak ada gerakan pemuda yang sejati. Pemuda adalah ‘floating signifier’ yang tak punya sifat tetap. Karakternya akan terus berubah dari masa ke masa.

Sejarah juga menunjukan bahwa dengan segala keterbatasannya pemuda justru sering memikul beban moral yang besar. Edward Aspinall dalam bukunya Opposing Soeharto berpendapat bahwa gerakan pemuda di awal masa Orde Baru memiliki beban yang cukup besar, mengingat pemuda merupakan pihak yang memiliki peran signifikan dalam menggulingkan Sukarno dan menempatkan Soeharto pada kursi kepresidenan. Hal ini menyebabkan pemuda merasa bertanggungjawab untuk menjaga nama baik sang presiden dan orde baru yang pernah mereka perjuangkan di antara rakyat kecil.

Kecenderungan tersebut kemudian bergesar seiring dengan maraknya tindak korupsi yang dilakukan pemerintah. Pemuda berusaha menciptakan gerakan moral yang terpisah dari kepentingan politik. Tujuan dari gerakan ini adalah mengoreksi apapun yang salah dari pemerintah, melakukan kontrol sosial, dan menolak segala bentuk kegiatan pemerintah yang dianggap tidak bermoral di tengah masyarakat. Gerakan tersebut bukan pada akhirnya bertujuan untuk menggulingkan pemerintah, namun berusaha merepresentasikan dukungan kritis terhadap jalannya pemerintahan itu sendiri.

Dalam karyanya yang lain, The Indonesian Student Uprising of 1998, Aspinall mengatakan terdapat perubahan dalam landasan gerak pemuda. Awal masa Orde Baru menunjukkan pemuda menggunakan gerakan moral yang bertujuan memberikan kritik terhadap berbagai implementasi kebijakan pemerintah dan menunjukkan kemurnian perlawanan terhadap dunia yang korup. Kecenderungan kemudian berubah untuk memperjuangkan isu-isu populis, mulai dari memperjuangkan hak rakyat miskin yang tanahnya digusur, hingga isu pembredelan sejumlah media massa yang cukup dominan saat itu. Dengan isu-isu tersebut, gerakan pemuda menjadi satu entitas yang mampu memobilisasi massa dalam jumlah besar dan menyatukan berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa dan kaum miskin. Pemuda juga berhasil menepatkan isu-isu yang berkaitan dengan HAM, demokrasi, dan ketidakadilan sebagai agenda utama yang harus dikawal. Tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998 dianggap sebagai salah satu contoh sukses gerakan pemuda di Indonesia.

Pemuda, Desa, dan Dana Desa

Lalu apa kaitan antara pemuda, desa, dan dana desa? Sebelumnya telah diuraikan bahwa dilihat dari aspek kesejarahan, gerakan pemuda di Indonesia sangat jarang bersentuhan dengan desa. Setidaknya ada dua faktor yang mengakibatkan hal tersebut terjadi. Pertama, selama bertahun-tahun –meskipun dengan variasi berbeda- karakter gerakan pemuda di Indonesia adalah gerakan perlawanan/kritik yang sifatnya politis dalam artian mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, bukan pemberdayaan seperti yang selama ini dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat. Sehingga ada bias perkotaan dalam gerakan pemuda karena pusat-pusat kekuasaan ada di kota-kota. Kedua, pemuda-pemuda yang berasal/tinggal di desa karena minimnya lapangan pekerjaan di desa akhirnya memutuskan untuk melakukan urbanisasi ke kota sehingga sumber daya manusia pemuda di desa menjadi sangat minim.

Kaitannya dengan aspek kedua, Bappenas memprediksi bahwa pada tingkat nasional, tingkat urbanisasi diproyeksikan sudah mencapai 66,6 persen pada tahun 2035. Untuk beberapa provinsi, terutama provinsi di Jawa dan Bali, tingkat urbanisasinya sudah lebih tinggi dari Indonesia secara total. Tingkat urbanisasi di empat provinsi di Pulau Jawa pada tahun 2035 sudah di atas 80 persen, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten. Urbanisasi juga mengakibatkan terjadinya Brain Drain atau fenomena berpindahnya pemuda-pemuda potensial dengan kualitas sumber daya manusia mumpuni dari desa.Kaitannya dengan Dana Desa, akibat dari urbanisasi dan brain drain tersebut adalah minimnya pengawasan terhadap implementasi dan realisasi Dana Desa di desa-desa seluruh Indonesia. Dengan kata lain, kisah terjadinya korupsi atau maladministrasi Dana Desa sangat mungkin akan berulang setiap tahunnya.

Para pemangku kepentingan dan pembuat kebijakan di desa-desa di seluruh Indonesia harus melibatkan pemuda dalam formulasi, implementasi, dan evaluasi penggunaan Dana Desa. Dilibatkannya pemuda dalam formulasi, implementasi, dan evaluasi Dana Desa akan membuat para pemuda desa merasa djadikan subjek sehingga punya rasa keterikatan yang kuat dengan desa. Dengan kata lain pemuda akan merasa bahwa meskipun mereka tetap tinggal di desa dan tidak melakukan urbanisasi ke kota mereka tetap punya masa depan. Para pemuda dapat merancang masa depan mereka di desa juga masa depan desa itu sendiri dengan menggunakan Dana Desa sebagai modal menjadi wirausahawan sosial.

Kajian British Council, UNESCAP, dan PLUS (2018) menunjukan bahwa usaha sosial di Indonesia telah menghasilkan 67% layanan usaha, membuka 50% pekerjaan inklusif, 58% usaha dikembangkan komunitas, memberikan manfaat 63% kepada masyarakat lokal, dan 48% penerima manfaatnya adalah perempuan. Meningkatkan tenaga kerja full-time mencapai 42% dan tenaga kerja full-time perempuan sebanyak 99%. Wirausaha sosial sangat tepat bagi konteks sosial budaya di Indonesia. Terlihat dari CAF World Giving Index Indonesia tahun 2018 berada pada peringkat pertama, dengan aspek mendonasikan uang mencapai 78% dan meluangkan waktu untuk kegiatan sukarela 53%. Pada Social Innovation Index (2016), Indonesia juga memiliki nilai cukup baik dalam aspek society atau kuatnya modal sosial di masyarakat.

Jika hal tersebut dilaksanakan maka akan menguntungkan desa karena dapat meminimalisasi fenomena brain drain, sehingga di masa depan desa akan mempunyai sumber daya manusia yang berkualitas. Pemuda dan desa juga akan mendapat kesempatan untuk melakukan pembelajaran politik serta administrasi dalam formulasi, implementasi, serta evaluasi penggunaan Dana Desa. Pemerintah juga akan mendapat keuntungan karena dengan meratanya sumber daya manusia yang berkualitas di desa-desa di seluruh Indonesia maka pemerataan pembangunan lebih mudah untuk dilakukan. Dengan begitu, desa bisa menjadi masa depan pemuda dan pemuda menjadi masa depan desa sekaligus masa depan Indonesia. 

Referensi

Alvian, Rizky Alif dan Tadzkia Nurshafira. 2014. Diantara Rakyat dan Negara: Membaca Landasan Gerakan Pemuda di Indonesia Pasca Reformasi. Makalah tidak diterbitkan.

Aspinall, Edward. 1999. ‘The Indonesian Student Uprising of 1998’, Reformasi: Crisis and change in Indonesia. Monash Asia Institute, 1999.

Aspinall, Edward. 2005 ‘Student Activism’, Opposing Suharto: Compromise, resistance, and regime change in Indonesia. Stanford University Press:.

Data Prediksi Urbanisasi Bappenas diakses dari   https://www.bappenas.go.id/files/5413/ 9148/4109/Proyeksi_Penduduk_Indonesia_2010-2035.pdf

Farid, Hilmar, ‘Meronta dan Berontak: Pemuda dalam Sastra Indonesia’, Prisma, Vol. 30, 2011.

Kajian British Council, UNESCAP, dan PLUS diakses dari https://www.britishcouncil.org/sites/default/files/the_state_of_social_enterprise_in_indoensia_british_council_web_final.pdf

Pengelolaan Dana Desa: Kemenkeu Sebut 200 Desa Terkena OTT diakses dari https://tirto.id/pengelolaan-dana-desa-kemenkeu-sebut-200-desa-terkena-ott-cB1V

Leave a Reply