Perkembangan teknologi informasi, utamanya di era Revoulsi Industri 4.0, menambah deras arus globalisasi. Globalisasi dan teknologi informasi memang sangat erat kaitannya. Menurut Mubah (2011), tidak ada globalisasi tanpa kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi juga berjalan lambat jika masyarakat tidak berpikir secara global. Perkembangan teknologi dan globalisasi adalah suatu fenomena yang tak terelakan di era sekarang ini (Scholte, 2001).
Teknologi informasi tidak mungkin berkembang tanpa pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga menjadi sangat wajar kalau negara-negara maju dengan pertumbuhan ekonomi yang menjadi pelopor sekaligus menguasai perkembangan teknologi informasi di dunia ini. Konsekuensi logis dari dikuasainya perkembangan teknologi oleh negara-negara maju (baca: Barat) adalah dikuasainya globalisasi oleh mereka. Hal inilah yang menjadi penyebab munculnya perspektif yang memandang globalisasi sebagai westernisasi.
Pakenham (1998) mendefinisikan westernisasi sebagai sebagai bentuk penyebaran nilai, norma, dan kebiasaan Barat ke berbagai penjuru dunia. Secara historis, westernisasi tidak bisa dilepaskan dari semangat “pemberadaban” yang menjadi pandangan arus utama bangsa-bangsa Barat di era kolonialisme di abad-abad yang lalu. Orang-orang Barat, menganggap budaya Timur sebagai budaya yang “tidak beradab” sehingga perlu untuk dijadikan “beradab”.
Standarisasi peradaban Barat sebagai peradaban yang “beradab” inilah yang kemudian menimbulkan peminggiran budaya Timur. Westernisasi sendiri sangat cakap untuk menyimbolkan dirinya sebagai entitas modern yang beradab berkat keunggulan dalam teknologi dan informasi sehingga dengan sangat mudah bisa “menghakimi” Timur sebagai entitas yang “tidak beradab”.
Hal-hal tersebut yang kemudian memicu imperialisme budaya Barat. Budaya Timur harus di-Barat-kan agar citra “tidak beradab” yang melekat selama ini berganti menjadi sesuatu yang “modern dan beradab”. Pengertian imperialisme dalam aspek kultural tidak dalam pengertian aktif seperti halnya imperialisme dalam bidang ekonomi-politik dimana terdapat ekspansi yang dilakukan perusahaan multinasional dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi pasar di negara dunia ketiga.
Edward Said (1978) dalam karya magnum opus-nya Orientalism mengatakan bahwa imperialisme kultural dipahami sebagai bentuk pasif yang dimanifestasikan dalam bentuk literasi dan seni seperti dalam karya novel (Austen, Conrad, Chateaubriand, de Nerval, Flaubert), laporan penelitian antroplogi budaya (Burton, de Sacy, Renan), maupun pertunjukan opera (Giuseppe Verdi) yang menganalisa Timur sebagai entitas yang perlu didisplinkan agar sesuai dengan nilai Barat.
Pandangan soal imperialisme kultural juga datang dari Antonio Gramsci yang memandang bahwa kultur adalah sebuah cara untuk memahami kelas penguasa (dalam hal ini negara-negara Barat) dalam memelihara kekuasaannya dan dalam kesempatan tertentu mengendurkan kekuasaanya dalam menjaga stabilitas. Melalui kultur, kita juga bisa melihat kelas penguasa dengan mudahnya menyebarkan nilai dan normanya untuk diaplikasikan kepada subordinatnya.
Menggunakan pemikiran Antonio Grasmci, Ranajit Guha mengungkapkan adanya kultur dominan Inggris dalam sistem sosial kemasyarakatan India berimplikasi pada mengkisinya kultur lokal yang selama ini menjadi pakem. Guha mencontohkan pada kasus yang dialami pada masyarakat petani India yang mengalami transformasi pertanian dari hidup subsisten menjadi kapitalis produktif.
Wasisto Raharjo Jati (2012) memberi contoh lain terjadinya imperialisme kultural Barat dalam bidang tata kelola agraria. Wasisto Raharjo Jati mencontohkan komodifikasi tanah pada masa industrialisasi yang berlangsung di kawasan Asia. Tanah dalam kultur Timur dimaknai bukan hanya sebagai entitas material-produktif seperti halnya lahan garapan pertanian, melainkan juga sebagai entitas sosial-budaya sehingga masyarakat Timur menganggapnya sebagai ibu. Tanah kemudian mulai berubah menjadi entitas tunggal sebagai faktor produksi sebagaimana dalam kultur Barat.
Lantas apa yang harus dilakukan masyarakat Timur dalam kondisi imperialisme kultural Barat sekarang ini? Hanya ada satu kata: Lawan. Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana caranya melawan? Stuart Hall dari kelompok cultural studies menyerukan adanya pengembangan popular culture sebagai strategi resistensi sekaligus dekonstruksi terhadap nilai kultur global yang berkembang seluruh dunia melalui media seni. Perpsektif inilah yang dipakai oleh Kartitedjo.
Kartitedjo merupakan proyek sosial yang diinisasi oleh Ulul Azmi Aziz (lulusan Fisipol UGM), yang lewat Fisipol C-hub dibantu untuk berkembang menjadi sebuah bisnis sosial yang melestarikan budaya Jawa lewat konten-konten kreatif audiovisual. Sampai saat ini Kartitedjo Audiovisual sudah mengerjakan lebih dari 20 pementasaan di Jogja, terutama terkait dokumentasi dan videografi, juga beberapa pementasaan di Jakarta dan Jawa Timur. Lalu Kartitedjo juga menjadi pengelola dari beberapa akun media sosial seperti channel youtube dan Instagram terkait musik lokal, salah satu channel bahkan sudah memiliki 20.000 subscriber yaitu Simphony Kerotjong Muda. Kemudian Kartitedjo juga menjalin kerjasama dengan SMP Tumbuh untuk membuat workshop videografi dan salah satu dari SMP Tumbuh lolos 6 besar nasional dalam kompetisi videografi dari Kementrian Kesehatan. Kartitedjo juga memproduksi sebuah aplikasi audiovisual terkait syair atau tembang macapat yang bernama Macapat Jawa dan bisa diunduh lewat Google Playstore.
Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena penjajahan dalam bentuk apapun termasuk kebudayaan tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Kartitedjo, meskipun masih dalam tahap rintisan, adalah bentuk perjuangan melawan penjajahan kebudayan.