Salah satu tantangan terbesar yang dimiliki wirausaha sosial adalah membuat solusi yang dimiliki oleh bisnisnya dapat menjangkau lebih banyak orang sehingga dapat meningkatkan dampak sosial mereka. Keterbatasan sumber daya, terutama finansial, sering kali menjadi alasan bagi banyak usaha sosial yang hanya dapat menjangkau satu lokasi atau kelompok terdampak dengan skala kecil (Bergfeld, 2020). Sebab, strategi yang dapat digunakan para bisnis sosial untuk mengatasi masalah sosial dengan skala yang lebih besar memerlukan biaya yang lebih banyak. Müller (2012) menyebut bahwa ada dua cara untuk melakukannya. Pertama, melalui replikasi, yaitu melakukan difusi dan mengadopsi model bisnis sosial di lokasi yang berbeda dengan memanfaatkan afiliasi; dan kedua, scaling-up yang fokus terhadap pertumbuhan organisasi secara signifikan.
Waralaba sosial (social franchise) menjadi konsep model bisnis yang populer sebagai upaya untuk menjawab kebutuhan strategi usaha sosial dalam memperluas jangkauan dampak sosialnya. Secara definisi, berbagai literatur masih kesulitan untuk memberikan definisi yang tepat. Meskipun demikian, konsep dari model bisnis waralaba sosial sama halnya dengan waralaba pada bisnis komersial pada umumnya. Dalam hal ini, mengacu kepada hubungan kerjasama antara dua pihak–pemilik waralaba (franchisors) dan pemegang waralaba (franchisees)–untuk mentransfer properti intelektual sehingga dapat mengoperasikan bisnis dengan merek dagang yang sama dengan membayar royalti.
Perbedaan yang signifikan dari keduanya terletak pada tujuan dan biaya, yaitu nihilnya aspek pencarian profit untuk kepentingan individu dan penggunaan biaya yang lebih kecil–profit hanya digunakan untuk mencapai keberlanjutan untuk menyediakan manfaat sosial. Waralaba telah menjadi strategi yang cukup efektif untuk melakukan replikasi bisnis dan menunjang pertumbuhan organisasi bagi bisnis komersil (Ziolkowska, 2016). Namun, aplikasi dari model bisnis ini pada sektor non-profit atau sosial masih terbilang rendah. Dalam konteks kewirausahaan sosial, waralaba harus memiliki tujuan sosial yang harus memenuhi beberapa kriteria seperti yang disebut dalam Zafeiropoulou dan Koufopoulos (2013), Pertama, merupakan inisiasi masyarakat yang memiliki tujuan ekplisit untuk memberi manfaat bagi masyarakat. Kedua, kekuasaan dalam pengambilan keputusan bukan dimiliki oleh pemilik modal. Ketiga, bersifat partisipatif dengan melibatkan kelompok terdampak. Terakhir, distribusi keuntungan yang terbatas sehingga memungkinkan untuk menghindari perilaku memaksimalkan keuntungan.
Pada sektor sosial, waralaba merepresentasikan kesempatan bagi bisnis sosial untuk mereplikasi dan memperluas skala dampak sosial melalui pertumbuhan organisasional dengan memanfaatkan wirausaha sosial lokal dengan maksud untuk mencapai pencapaian sosial. Schuhen (2004) memberikan definisi fungsional bagi konsep model bisnis ini, yaitu sebagai kerjasama vertikal atau horizontal dengan maksud untuk mereplikasi program dan layanan sosial juga untuk menghubungkan organisasi sosial. Artinya, bahwa waralaba sosial juga berkaitan dengan kemitraan, penggabungan kekuatan dan mengambil manfaat dari kerjasama organisasi. Sederhananya, meminjam definisi dari Bartilsson (2012) bahwa waralaba sosial berarti para wirausaha sosial yang saling bertukar nilai yang sama.
Pada dasarnya, waralaba sosial memiliki beberapa atribut yang melengkapinya, seperti kontrak secara legal antara dua pihak, replikasi model bisnis, transfer ilmu dan sumber daya dengan menyediakan pelatihan serta penjelasan mendetail terkait dengan prosedur, teknik, dan standar kualitas. Selain itu, termasuk sistem asuransi kualitas, kelayakan finansial, dan dukungan lain dari pemilik utama kepada pengelola waralaba.
Waralaba sosial menjadi konsep yang cukup popular di Eropa dan turut menjadi konsep yang menarik di berbagai belahan dunia. Sebab, konsep ini dapat dioperasikan di berbagai struktur baik wirausaha sosial maupun sektor komersial, mulai dari pemilik tunggal (sole proprietors), perusahaan for-profit dan nirlaba, NGO, komunitas (Ziolkowska, 2016), hingga sektor publik (Cumberland, 2018). Berdasarkan pemangku kepentingan yang bertindak sebagai franchisor dan franchisee, Crawford-Spencer (2015) mengklasifikasikannya menjadi waralaba sosial tradisional (nirlaba-nirlaba), microfranchise, dan investasi waralaba sosial (for profit – non profit).
Pengaplikasian waralaba sosial dapat dilakukan dengan berbagai konteks. Pada ekonomi maju, berupa perusahaan waralaba yang ingin berpartisipasi sebagai upaya untuk memenuhi tanggung jawab sosial dapat dengan mudah mendapatkan lisensi sebagai entitas nirlaba. Dalam konteks lainnya, yaitu ekonomi berkembang, waralaba sosial berfungsi sebagai sarana untuk mengatasi masalah sosial di berbagai lokasi yang berbeda, sehingga memungkinkan untuk perluasan manfaat sosial.
Hal tersebut menjadi alasan yang mendasari ketertarikan kewirausahaan sosial terhadap pendekatan waralaba. Pasalnya, waralaba memungkinkan peningkatan skala dampak sosial, pertumbuhan pada sektor operasional dan organisasional dengan cepat tanpa perlu menambah biaya maupun sumber daya manusia pada tingkat franchisor (Burand, Coch, dan Yang, 2020). Selain itu, waralaba sosial memungkinkan terjadinya berbagi pengetahuan sehingga membuatnya lebih cepat dan lebih mudah untuk memulai, dan memungkinkan kepemilikan lokal, fleksibilitas dan penyesuaian dengan konteks dan keadaan. Waralaba dianggap menjadi model yang sukses dengan cara yang menggabungkan tujuan sosial dan keuangan serta memastikan dampak sosial dan keberlanjutan secara finansial (Ziolkowska, 2016).
Referensi:
Bergfeld, A., Lutz, E., & Scheck, B. (2020). Social franchising: a transitional solution for organisational growth of social entrepreneurial organisations. International Journal of Entrepreneurial Venturing, 12(1), 17. doi:10.1504/ijev.2020.105136
Cumberland, D. M., & Litalien, B. C. (2018). Social franchising: A systematic review. Journal of Marketing Channels, 25(3), 137–156. doi:10.1080/1046669x.2019.1657757
Deborah Burand, David Koch, and Katy Yang. (2021). Scaling Social Enterprises Through Franchise Models: Rethinking Social Franchise Agreements
Elizabeth Crawford-Spencer (2015) Deriving Meaning for Social Franchising From Commercial Franchising and Social Enterprise, Journal of Marketing Channels, 22:3, 163-174, DOI: 10.1080/1046669X.2015.1071585
Fiori A. Zafeiropoulou & Dimitrios N. Koufopoulos (2013) The Influence of Relational Embeddedness on the Formation and Performance of Social Franchising, Journal of Marketing Channels, 20:1-2, 73-98, DOI: 10.1080/1046669X.2013.747861
Müller, S. (2012). Business Models in Social Entrepreneurship. Social Entrepreneurship and Social Business, 105–131. doi:10.1007/978-3-8349-7093-0_6
Ziółkowska, Marta. (2015). Social Franchise as a form of entrepreneurship.
Photo by Thirdman on Pexels