Kemunculan sharing economy dan digitalisasi memfasilitasi pembentukan ekosistem inovasi atau Areas of Innovation (AOI) dan pembangunan startup melalui kolaborasi berbagai entitas bisnis. Interaksi yang turut difasilitasi oleh teknologi digital memungkinkan perumusan ide dari berbagai pihak pendukung dan pemangku kepentingan, seperti akselerator, inkubator, asosiasi bisnis, dan lembaga pengembangan regional, yang mendukung ekosistem inovasi digital yang efektif dan berkelanjutan (Nikina Ruohonen, 2021). Penerapan model multi pihak diadopsi dalam pembangunan startup dengan mengikutsertakan berbagai aktor dalam rantai nilai. Selain itu, model multi pihak juga diterapkan dalam kewirausahaan sosial. Merangkum pendapat Isabel Vidal (2014), berbagai kelompok kepentingan yang berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam organisasi bersumber pada dialog dari pemangku kepentingan akan mewakili kepentingan publik secara general.
Kementerian Koperasi dan UKM Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Menteri No. 8 Tahun 2021 tentang Koperasi Model Multi Pihak sebagai model bisnis baru dalam pemberdayaan koperasi dan UKM untuk bersaing di perekonomian modern. Model multi pihak atau Multi-Stakeholder Cooperative (MSCs) merupakan model yang meletakkan modal sosial sebagai tumpuan dalam menjalankan aktivitas ekonomi. Dalam penerapannya, struktur kepemilikan terbuka bagi berbagai pemangku kepentingan baik individu maupun organisasi, termasuk pekerja, produsen, konsumen, anggota komunitas, hingga investor dan pemerintahan. Menurut Gijselinckx (2009), kolaborasi dari berbagai pemangku kepentingan dalam model ini dapat memperkuat karakter publik, menciptakan inovasi, dan memperluas cakupan tujuan. Sebab, memunculkan pertukaran variasi sudut pandang dan sumber informasi yang mungkin diperoleh karena jaringan mitra konstituen yang besar.
MSCs merupakan model baru yang berkembang di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, khususnya Italia dan Quebec. Di negara-negara tersebut, MSCs diterapkan sebagai upaya untuk mencapai tujuan sosial dan keberlanjutan. Model ini memungkinkan integrasi antara aktivitas pasar sekaligus memberi pelayanan sosial. Utamanya, pada organisasi yang bergerak dalam pelayanan sosial, kesehatan, sistem pangan dan pertanian. Representasi kepentingan publik yang dibawa oleh anggota institusi yang terlibat dalam koperasi multi pihak juga digunakan sebagai alat ekonomi dalam mendorong gerakan sosial. Di berbagai negara, MSCs telah dilembagakan dalam regulasi yang berkaitan dengan kewirausahaan sosial yang berbasis koperasi. Melalui komitmen untuk memenuhi kepentingan seluruh pihak yang terlibat, Jean Pierre Girard mengelaborasi bahwa koperasi solidaritas mereartikulasi hubungan antara bidang ekonomi dan sosial dalam ekonomi dalam lingkungan di mana ekonomi global dan teknologi baru membutuhkan mobilitas sosial, tenaga kerja dan pengetahuan yang tidak terbatas (Lund, 2013).
Koperasi multi pihak menampung berbagai kepentingan, namun mengutamakan aspirasi atau kebutuhan bersama, menentukan golongan kepentingan dan dampak yang dimiliki organisasi, serta mengenali interdependensi antara keduanya. Oleh karena itu, model ini juga disebut sebagai koperasi solidaritas, sebab mengutamakan kesamaan (commonality) dari kepentingan yang ditargetkan dari berbagai pemangku kepentingan. Hubungan sosial yang terbentuk melalui kepercayaan mutual dan nilai bersama membentuk modal sosial sebagai pondasi yang dibutuhkan dalam menjalankan model tersebut. Menurut Coleman, modal sosial merujuk pada representasi dari sumber daya manusia yang ikut serta dalam jaringan sosial yang lebih besar, serta terikat melalui sistem nilai dan kepercayaa bersama (Kafaa, 2017) Pola pertukaran yang terbentuk memungkinkan pengarusutamaan spirit altruisme, sehingga semua pihak yang terlibat di dalamnya mengambil aksi, menanggung risiko bersama serta mendapatkan manfaat dalam pelaksanaan kerja sama. Dalam kaitannya dengan model koperasi multi pihak, hal ini ditujukan untuk mencapai tujuan ekonomi, sosial dan kultural melalui perusahaan yang dikendalikan secara demokratis secara efektif dan efisien.
Menurut Lund, komposisi pemangku kepentingan dalam koperasi multi-pihak dikategorikan dalam tiga kelompok kelas:
- Cooperative User Class, terdiri atas konsumen, klien, institutional purchaser, produsen dan kelompok produsen, serta kelompok perantara seperti distributor.
- Cooperative Worker, termasuk pekerja dan pekerja profesional lainnya.
- Cooperative Supporter, termasuk anggota masyarakat sebagai anggota pendukung dan investor.
Dalam praktiknya, model ini mengubah model tradisional yang menempatkan anggota koperasi yang berperan sebagai pemilik dan pengguna jasa koperasi sekaligus. Pada konsep koperasi tradisional, koperasi memiliki karakteristik dasar, yaitu kepemilikan, pengendalian dan keuntungan yang berorientasi pada keanggotaan koperasi. Menurut penemuan dari Michaud dan Auderband (2017), anggota dalam koperasi solidaritas tidak berperan ganda–sebagai pemilik dan pengguna–namun sebagai penghubung antara koperasi dan masyarakat sekaligus menyadari dan melaksanakan misi koperasi. Dengan kata lain, anggota masyarakat dapat masuk ke dalam struktur koperasi secara terbuka sebagai anggota pendukung dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini juga memantik kemunculan kerja berbasis kerelawanan (voluntary) dari heterogenitas pemangku kepentingan yang turut serta.
Kerja sama yang dibentuk dari berbagai pihak tersebut, memungkinkan distribusi nilai sosial sebagai rantai nilai horizontal yang terimplementasi melalui jaringan. Kontrol dan kepemilikan yang terdistribusi dalam struktur kepemilikan multi pihak turut mengurangi potensi informasi asimetris sekaligus memanajemen kompleksitas secara lebih efektif. Selain itu, Lund berpendapat bahwa model koperasi multi pihak menekankan pada paradigma transformasional, yang fokus terhadap modifikasi kegagalan pasar yang masih dikendalikan secara konvensional oleh pemerintah dan investor, demi meningkatkan kualitas produk melalui model kerjasama berbagai pihak. Keterlibatan kerja dari anggota masyarakat sipil dalam koperasi multi pihak membentuk kewirausahaan untuk tujuan pengembangan sosial dan masyarakat juga menjadi alternatif dalam penyediaan barang dan jasa serta pengamanan pekerjaan lokal dengan partisipasi berbagai pemangku kepentingan melalui dua cara: finance to service, dan konsumen ke pekerja (Novkovic, 2019). Kebutuhan masyarakat dalam berpartisipasi dan bentuk inisiasi untuk membangun koperasi secara organik membutuhkan afirmasi dan dukungan dari pemerintah untuk melembagakan model koperasi multi pihak di Indonesia.
Referensi:
Kafaa, Kafa Abdallah. (2017). SOCIAL CAPITAL AND MULTI-STAKEHOLDERS COOPERATION AS A FOUNDATION OF CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY. Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan.
Lund, Margareth. (2013). Solidarity as a Businesss Model: A Multi-Stakeholder Cooperatives Manual. Kent State University.
Myriam Michaud, Luc K. Audebrand, (2018) “Inside out, outside in: “supporting members” in multi-stakeholder cooperatives”, Management Decision, https://doi.org/10.1108/MD-01-2017-0042.
Nikina-Ruohonen, Anna (2021). Leading and Managing Areas of Innovation: The Multi-Stakeholder and Startup Perspectives. HHBIC 2020, 17–18.11.2020, Online. https://esignals.fi/research/en/2021/02/15/leading-and-managing-areas-of-innovation-the-multi-stakeholder-and-startup-perspectives/#e3946ea5
Novkovic, Sonja. (2019). Multi-stakeholder cooperatives as a means for jobs creation and social transformation. 10.4324/9780429285936-14.
Vidal, Isabel. (2014). Multi-stakeholder Governance in Social Enterprise. Routledge. ISBN: 9780203487747.