Salah satu faktor yang berperan dalam keberlangsungan perusahaan sebagai organisasi bisnis adalah lingkungan politik. Lingkungan politik menyangkut banyak hal yang mana harus dapat diantisipasi oleh perusahaan agar tidak terjadi sesuatu yang berdampak fatal bagi perusahaan. Lingkungan politik bisa menyangkut politik keamanan bisa juga menyangkut politik hukum (political-legal). Untuk itulah, seorang wirausahawan yang handal tidak hanya menguasai pengetahuan soal bisnis saja tetapi juga harus memahami lingkungan-lingkungan perusahaan yang salah satunya lingkungan politik.
Contohnya ketika terjadi kerusuhan pada bulan Mei 1998 di Jakarta maka dampaknya bukan hanya menyebabkan aktivitas bisnis di Jakarta lumpuh selama beberapa pekan tetapi yang lebih jauh para investor asing menjadi takut berinvestasi di Indonesia khususnya di Jakarta. Mereka tentu bertanya-tanya apakah kejadian seperti itu akan terulang lagi di masa mendatang. Apalagi kepemimpinan nasional sudah berpindah dari tangan Soeharto sehingga pertanyaan berikutnya apakah pengganti Soeharto dan yang berikutnya mempunyai kemampuan untuk mempertahankan tingkat stabilitas politik seperti Orde Baru Soeharto.
Lingkungan politik juga menyangkut tentang sistem ekonomi yang diimplementasikan di suatu negara. Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang tentu saja secara normatif harusnya akan dipengaruhi juga oleh Pancasila pada semua bidang kehidupan di Indonesia. Masalahnya secara praktik apakah sistem ekonomi Indonesia juga menganut sistem ekonomi Pancasila? Salah satu ciri ekonomi Pancasila menurut Mubyarto (1993) adalah adanya koperasi sebagai sokoguru perekonomian. Rasanya koperasi belumlah menjadi sokoguru perekonomian di Indonesia sehingga banyak pakar lebih setuju bahwa azas perekonomian Indonesia lebih condong kepada kapitalisme. Hal tersebut dapat dibuktikan sebagai berikut:
- Bisnis di Indonesia secara praktis menganut prinsip persaingan pasar. Hampir semua sektor bisnis terbuka lebar bagi siapapun untuk terjun ke bisnis kecuali untuk sektor tertentu seperti listrik dan kereta api yang masih dimonopoli negara.
- Adanya konglomerasi di Indonesia yang memunculkan konglomerat-konglomerat. Indonesia memiliki banyak konglomerat yang mulai muncul pada jaman pemerintahan Soeharto. Dulu ada Liem Sioe Liong (Sudono Salim), pemilik Salim Group (Bank BCA, Bogasari, Indofood ), Eka Tjipta Widjaja, pemilik Sinar Mas Group (Sinar Mas, Tjiwi Kimia, Bank BII), Prayogo Pangestu, pemilik Barito Pacific Timber, Bob Hasan, raja kayu lapis dan pemilik Bank Umum Nasional, Bambang Trihatmodjo, putera mantan Presiden Soeharto, pemilik Bimantara Group, Tommy Soeharto, juga putera Soeharto, pemilik Humpuss Group, Mochtar Ryadi, pemilik Lippo Group, Sjamsul Nursalim, buronan kasus BLBI yang pemilik Gadjah Tunggal Group, Ciputra, pemilik Ciputra Group, Sudwikatmono, pemilik Studio 21 yang masih bersaudara dengan Soeharto, dan masih ada beberapa konglomerat lainnya. Beberapa dari konglomerat tersebut sekarang bermain di belakang layar. Konglomerat pada masa sekarang pun juga masih ada seperti Aburizal Bakrie dengan Bakrie & Brothers Groupnya, Chairul Tanjung dengan Para Goupnya (Bank Mega, Trans TV, Trans 7), Tommy Winata dengan Arta Graha Groupnya. Konglomerat-konglomerat di Indonesia banyak yang menguasai industri hulu sampai hilir yang bahkan di AS yang menganut kapitalisme murni sekalipun hal tersebut dilarang. Dengan kata lain, kondisi perekonomian di Indonesia lebih kapitalistik dibanding negara yang dianggap paling kapitalistik di dunia ini.
Berkaitan dengan kondisi kapitalistik tatanan ekonomi-politik di Indonesia yang sudah disebutkan di atas, belakangan ini muncul suatu konsep kewirausahaan yang dianggap lebih mengandung aktivisme sosial dan politik di dalamya yang disebut sebagai “Kewirausahaan Sosial”. Salah satu definisi paling luas tentang kewirausahaan sosial datang dari buku terbitan penerbit Oxford karya dua praktisi kewirausahaan sosial, David Bornstein dan Susan Davis, Social Entrepreneurship: What Everyone Needs To Know (Bornstein & Davis, 2010). David Bornstein dan Susan Davis mendefinisikan kewirausahaan sosial sebagai proses yang dilakukan oleh warga untuk membangun atau mengubah institusi agar dapat mengajukan solusi untuk permasalahan sosial seperti kemiskinan, penyakit, buta huruf, kerusakan lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia, dan korupsi, sehingga kehidupan bersama masyarakat menjadi lebih baik.
David Bornstein dan Susan Davis dalam buku mereka tersebut juga mengutip salah satu definisi kewirausahaan sosial paling populer dari Greg Dees, yang sering disebut sebagai “Bapak Kewirausahaan Sosial”. Menurut Greg Dees, yang banyak terpengaruh pemikiran ekonom Jean-Baptise Say dan Joseph A. Schumpeter, wirausahawan secara umum mempunyai peran dalam masyarakat untuk meningkatkan kapasitas produktif masyarakat dan memberikan “creative destructions” yang mendorong perubahan ekonomi. Dees berpendapat bahwa wirausahawan sosial melakukan hal yang sama dalam bidang perubahan sosial. Yaitu menciptakan kombinasi baru antara orang dan sumber daya yang secara signifikan dapat meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mengatasi masalah. Greg Dees secara lebih rinci menjelaskan bahwa wirausahawan sosial, menciptakan nilai publik, mengejar peluang baru, berinovasi dan beradaptasi, bertindak berani, memanfaatkan sumber daya yang tidak mereka kendalikan, dan menunjukkan akuntabilitas yang kuat.
Definisi-definisi positif terhadap “Kewirausahaan Sosial” tidak boleh membuat kita lupa untuk terus melihat pengatasnamaan “sosial” pada “Kewirausahaan Sosial” secara kritis. Kita sudah melihat bahwa sejarah dikotori dengan contoh-contoh individu yang telah berusaha untuk memaksakan pandangan mereka tentang dunia sampai mengekslusi mereka yang berpandangan berbeda dengannya, dan kita tidak tentu saja tidak ingin kewirausahaan sosial dijadikan alat untuk mengulang sejarah kelam tersebut. Mengingat sifat kepentingan “sosial” yang terus bergeser dan sangat diperebutkan antar kelompok di dalam masyarakat, maka perhatian terhadap politik dan nilai-nilai akan menjadi penting jika kewirausahaan sosial ingin memenuhi potensinya sebagai kekuatan pendorong untuk perubahan sosial yang positif (Cho, 2006).
Secara praktis, para pembuat kebijakan publik bisa membuat beberapa kebijakan yang bisa mendorong konsep kewirausahaan yang lebih memiliki kepedulian sosial. Komite Uni Eropa pada tahun 2011 memberikan semacam rumus umum tentang hal yang bisa dilakukan oleh kebijakan publik untuk mendukung kewirausahaan sosial, menurut Komite Uni Eropa kebijakan publik harus menciptakan ekosistem yang memungkinkan untuk mengembangkan kewirausahaan sosial dan memfasilitasi, antara lain, akses ke pendanaan. Pendidikan bagi para pelaku kewirausahaan sosial juga penting. Di Inggris misalnya telah diimplementasikan sekolah bagi para wirausahawan sosial yang sudah terlaksana selama bertahun-tahun (Austin dkk, 2006). Di Hong Kong, contoh kebijakan publik yang diadopsi untuk membantu para wirausahawan sosial adalah dengan sistem mentoring atau konsultasi.
Memformulasikan kebijakan publik yang mampu mendukung kewirausahaan sosial memang membutuhkan waktu yang tidak sebentar bahkan di negara yang selama ini dianggap sebagai eksportir konsep serta pengetahuan tentang kewirausahaan sosial seperti Inggris. Di Inggris, kewirausahaan sosial mulai menarik perhatian di Inggris pada tahun 1995, namun baru mulai menerima dukungan signifikan pemerintah pada tahun 1997 ketika Partai Buruh yang dipimpin oleh Tony Blair memenangkan pemilihan umum, dan ditandai juga dengan runtuhnya Fordisme. Setelah pemilihan umum tahun 1997, beberapa kebijakan untuk mendukung kewirausahaan sosial dilaksanakan, termasuk penijauan kembali pajak untuk perusahaan berbasis kewirausahaan sosial yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan Inggris, kemudian undang-undang tentang charity yang tujuannya adalah untuk menciptakan kerangka hukum modern yang memberikan dukungan dan dorongan untuk yang kuat pada sektor kesukarelawanan yang independen dan beragam, serta pembentukan agenda kebijakan publik untuk sektor ketiga yang berusaha saling menguntungkan antara perusahaan sosial dan pemerintah.
Referensi
Bornstein, D., & Davis, S. (2010). Social Entrepreneurship: What Everyone Needs To Know. Oxford: Oxford University Publishers.
Cho, A. H. 2006. Politics, Values, and Social Entrepreneurship: A Critical Appraisal. In R. a. Mair, Social Entrepreneurship (pp. 34-56). New York: Palgrave Macmillan. Mubyarto. 1993. Ekonomi Pancasila. Jakarta: LP3ES.
Photo by Markus Spiske on Unsplash