Munculnya pasar modern, juga pasar daring akhir-akhir ini, harus diakui sedikit banyak telah menggeser peran pasar tradisional. Preferensi berbelanja masyarakat telah berubah dari pasar tradisional ke pusat perbelanjaan, pasar modern, dan pasar daring. Hal ini terjadi dikarenakan banyaknya keunggulan yang ditawarkan oleh pasar-pasar tersebut. Misalnya kenyamanan, keamanan, kecepatan layanan, kualitas barang, kebersihan, kerapian, produk yang lengkap dengan harga bersaing.
Di sisi lain pandangan negatif tentang pasar tradisional juga menghinggapi pikiran banyak orang modern sekarang ini. Kotor, banyak sampah, bau, sumpek, becek di waktu hujan, sarang preman dan copet, biang kemacetan, kualitas barang yang tidak terjamin adalah beberapa hal yang sering diidentikan dengan pasar tradisional. Selain itu secara struktural keberadaan pasar tradisional seringkali dilemahkan dengan tidak adanya aturan zonasi dari pembangunan pasar modern. Persaingan head to head akibat menjamurnya pasar modern serta masifnya pasar daring membuat keberadaan pasar tradisional melemah.
Melemahnya pasar tradisional ini tentu saja bukan hal yang baik bagi banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada pasar tradisional seperti pedagang pasar, buruh angkut pasar, petugas pasar, penjaga parkir, serta pengusaha UMKM yang membeli barang jualannya di pasar tradisional. Meskipun posisinya sekarang melemah bukan berarti pasar tradisional tidak mempunyai modal untuk menolong diri mereka sendiri. Ada beberapa hal yang bisa didorong agar posisi pasar tradisional kembali menguat.
Pertama, bagi masyarakat di Indonesia pasar tradisional bukan sekadar sebagai tempat jual beli semata, namun lebih dari itu pasar tradisional terkait dengan konsepsi hidup dan sosial budaya. Pasar tidak semata-mata mewadai kegiatan ekonomi, akan tetapi pelaku juga dapat mencapai tujuan-tujuan lain. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pasar tradisional dapat menjadi wadah kegiatan ekonomi, interaksi sosial, dan sarana rekreasi baik suasana pasar maupun produk dagangan yang khas. Dengan kata lain selama konsepsi bahwa kehidupan ekonomi dan sosial itu melekat seperti yang diajukan oleh Karl Polanyi dalam magnum opus-nya The Great Transformation bisa diarusutamakan maka pasar tradisional akan punya peluang besar untuk tetap ada.
Lebih lanjut Mulyadi (2012) menyatakan bahwa pasar tradisional adalah cermin dari keberadaan kehidupan sosial di dalam satu wilayah tertentu. Pasar tradisional merupakan pusat kebudayaan, dimana segala macam ekspresi perilaku dan nilai yang melekat dalam masyarakat terekspresikan didalamnya. Intensitas interaksi di dalam pasar tradisonal tidak kita temukan di pasar modern. Pasar sebagai pusat budaya terlihat ketika Pasar tradisional tidak hanya menjadi ruang jual beli tetapi lebih dari itu pasar tadisional menjadi ruang ekspresi kesenian dan bentuk kebudayaan lainnya.
Kedua, pasar tradisional dapat mengadopsi beberapa bentuk teknologi modern yang bertujuan untuk melakukan semacam rekayasa sosial agar pasar tradisional bisa bertahan. Memasang kamera CCTV misalnya, hal tersebut dapat membuat pelaku kriminal semakin takut untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum sehingga stigma bahwa pasar tradsional adalah lahan subur kriminalitas sedikit demi sedikit dapat terhapus. Contoh lainnya dengan pemasangan billboard harga yang menjadikan para pedagang enggan untuk membentuk harga barang sesuka hati. Para pedagang tidak bisa dengan mudah menaikkan harga barang dagangannya secara sepihak. Dengan begitu persaingan antar pedagang pasar tradisional bisa lebih sehat dan pengunjung tidak bingung dengan variasi harga yang terlalu banyak.
Ketiga, perlu adanya dorongan agar pemerintah mengimplementasikan secara kuat kebijakan pro pasar tradisional yang sudah mereka buat mengingat banyaknya warga yang mendapat penghasilan dari keberadaan pasar tradisional. Kebijakan seperti Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pasar Modern dan Pusat Perbelanjaan, Permendag No. 53 Tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, juga banyak peraturan daerah tentang hal ini harus diimplementasikan secara lebih tegas.
Bacaan lebih lanjut
Muyadi. 2012. Model Pengelolaan Pasar Tradisional Dalam Perspektif Kemandirian Daerah Kota Surakarta. STIE AUB: Surakarta.
Photo by Falaq Lazuardi on Unsplash