Dewasa ini di Indonesia, pertanian diserbu oleh serangan kapital. Hak-hak agraria rakyat sering terpinggirkan oleh proyek-proyek industri. Banyak rakyat, yang terusir dari tanahnya, mereka akhirnya harus rela dipaksa beradaptasi menjadi buruh sesuai dengan kebutuhan dan kehendak pasar. Gambaran terbaru data sensus pertanian 2013, menginformasikan tingginya jumlah petani kecil. Sebanyak 26,14 juta petani hanya berlahan rata-rata 0,89 ha, sedangkan 14,25 juta lainnya memiliki lahan rata-rata kurang dari 0,5 ha. Adapun indeks koefisien Gini Indonesia, dari data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2015, menyatakan sudah mencapai angka 0,41. Berkenaan dengan ketimpangan kepemilikan lahan ini, secara historis, terdapat preposisi penting bahwa ada hubungan linier antara struktur penguasaan lahan dan pendapatan rumah tangga di pedesaan. Kepemilikan lahan memegang faktor utama dalam ketidaksetaraan struktur pendapatan.
Undang-undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) telah menciptakan terobosan politik yang mendasar di dalam demokratisasi relasi negara-desa termasuk dalam urusan agraria. Meskipun demikian perlu disadari bahwa akumulasi “kesalahan” kebijakan pada masa lampau seperti kebijakan Revolusi Hijau pada masa Orde Baru yang turut berkontribusi dalam mentransformasikan desa menjadi sebuah “desa korporatis” ketika para elitenya mendapatkan posisi yang kuat secara ekonomi dan politik serta loyal dalam menjalankan peran sebagai perpanjangan tangan negara sehingga tidak hanya memunculkan permasalahan ketidakmampuan masyarakat untuk mengakses hak agrarianya tapi juga menimbulkan permasalahan ekologis.
Akumulasi permasalahan agraria dan ekologis tersebut menurut Mohamad Sohibuddin (2016) harus dilihat dari perpsektif agraria kritis. Perspektif tersebut didasarkan pada satu asumsi dasar bahwa relasi-relasi sosial terkait dengan sumber daya alam pada dasarnya bersifat timpang, bahkan eksploitatif, sehingga harus menjadi sasaran pembaruan. Dalam konteks tata kelola sumber daya alam, pembaruan yang dimaksud menuntut adanya demokratisasi, baik menyangkut aspek penguasaan, penggunaan, maupun pemanfaatannya.
Mohammad Sohibuddin (2016) kemudian mengutip Borras dan Franco dalam sejumlah policy paper untuk UNDP Oslo Governance Centre (2008) telah menawarkan kerangka konseptual untuk agenda demokratisasi tata kelola sumber daya alam dimaksud. Menurut Sohibuddin (2016) ada dua konsep dari Borras dan Franco yang sangat tepat digunakn untuk menganalisis permasalahan agraria desa di Indonesia. Konsep yang pertama adalah “tata kelola yang demokratis” (democratic governance). Melalui konsep ini, keduanya menggarisbawahi bahwa persoalan tata kelola sumber daya alam tidak dapat dibatasi hanya pada masalah teknis dan administratif belaka, seperti sistem kadaster, registrasi tanah, sistem informasi pertanahan. Suatu tata kelola sumber daya alam yang demokratis justru menuntut penilaian atas berbagai bentuk ketimpangan dan eksploitasi dalam relasi-relasi sosio-agraria yang berlangsung. Penilaian itu kemudian ditindaklanjuti dengan upaya pembaruan agar aneka manfaat ekonomi dan politik dari sumber daya alam terdistribusi secara inklusif di antara anggota masyarakat.
Konsep yang kedua adalah kebijakan terkait sumber daya alam yang memihak warga miskin (pro-poor policy). Dengan konsep ini, Borras dan Franco menegaskan bahwa pembaruan relasi-relasi sosio-agraria yang timpang mustahil dilakukan tanpa adanya pemihakan secara nyata pada kebutuhan dan kepentingan kelompok miskin dan marginal. Ada sembilan karakteristik yang mereka berdua ajukan untuk menentukan sejauh mana suatu kebijakan terkait sumber daya alam bisa disebut pro-poor, yaitu: (1) melindungi dan mentransfer kesejahteraan berbasis sumber daya alam; (2) mentransfer kekuasaan politik berbasis sumber daya alam; (3) sadar kelas; (4) sadar sejarah; (5) sensitif gender; (6) sensitif etnis; (7) meningkatkan produktivitas; (8) mengembangkan sumber-sumber nafkah; dan (9) menjamin kepastian hak.
Sohibuddin (2016) kemudian merekomendasikan beberapa agenda untuk agar pengelolaan agraria di desa bisa lebih adil. Pertama, menuntut interpretasi lebih mendasar atas asas rekognisi sebagai pengakuan secara aktif oleh negara melalui redistribusi aset-asetnya kepada desa. Dalam hal itu, lebih dari sekedar kucuran dana desa yang melimpah seperti ditekankan Sutoro Eko (2015:41), redistribusi aset negara juga menghendaki pemberian wewenang kepada desa untuk mengontrol dan mengelola sumber daya alam di wilayahnya yang secara asal-usul memang tidak pernah terlepas dari kehidupan ekonomi, sosial, kultural, dan politik warga desa.
Kedua, mendorong penyelenggaraan urusan tata kelola sumber daya alam oleh desa dalam kerangka otonomi desa. Hal ini menuntut perluasan pemaknaan atas asas subsidiaritas untuk menjadikan urusan tata kelola sumber daya alam desa sebagai “kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal” yang berada di tangan desa. Ketiga, pembalikan krisis pedesaan demi memulihkan kembali basis-basis produksi desa. Agenda ini diupayakan dengan mengembangkan kebijakan agraria skala desa yang memperhatikan pembaruan tata kuasa agraria desa, pembaruan tata guna agraria desa, pembaruan tata produksi agraria desa, dan terakhir pembaruan tata konsumsi agraria desa.
Bacaan lebih lanjut
Borras, Saturnino M. dan Jennifer C. Franco. 2008a. “Land Policy and Governance: Gaps and Challenges in Policy Studies.” Oslo Governance Centre Brief 1. Oslo: UNDP Oslo Governance Centre.
————–. 2008b. “Land Based Social Relations: Key Features of a Pro-poor Land Policy.” Oslo Governance Centre Brief 2. Oslo: UNDP Oslo Governance Centre.
————–. 2008c. “How Land Policies Impact Land-Based Wealth and Power Transfer.” Oslo Governance Centre Brief 3. Oslo: UNDP Oslo Governance Centre.
————–. 2008d. “Democratic Land Governance and Some Policy Recommendation.” Discussion Paper 1. Oslo: UNDP Oslo Governance Centre.
————–. 2010. “Contemporary Discourses and Contestations around Pro-Poor Land Policies and Land Governance.” Journal of Agrarian Change 10(1):1-32.
Eko, Sutoro. 2015. Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan TransmigrasiShohibuddin, Mohamad. 2016. “Peluang dan Tantangan Undang-undang Desa dalam Upaya Demokratisasi Tata Kelola Sumber Daya Alam Desa: Perspektif Agraria Kritis.” MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi 21(1):1-33.