Ada satu hal penting yang sangat penting dalam kita bernegara tapi sering terlupa dan tak pernah muncul dalam bahasan di ranah-ranah publik Indonesia selama puluhan tahun lamanya: Kewaragaan Warga Negara. Kewargaan erat kaitannya dengan partisipasi atau keterlibatan. Sebagaimana dikatakan pakar klasik teori kewargaan T.H. Marshall, kewargaan mengimplikasikan adanya “direct sense of community membership based on loyalty to a civilisation which is a common possession” atau perasaan kuat sebagai anggota suatu komunitas berdasarkan peradaban yang dimiliki komunitas itu (Marshall, 2009). Di dalam sebuah republik termasuk Indonesia, warga disebut sebagai warga karena ia terlibat secara bebas dan setara dalam suatu praktik mempertahankan keutamaan umum (common good).
Mengutip pendapat Robertus Robet (2009), identitas sebagai warga bukan pertama-tama ditentukan oleh identitas komunitas di belakangnya –dalam hal ini negara sebagaimana yang sering secara keliru ditafsirkan oleh kaum komunitarian dan fasis juga bukan ditentukan oleh semacam identitas partikular dan kehidupan relijiusnya -sebagaimana yang dikehendaki oleh kaum fundamentalis agama. Identitas warga tidak ditentukan oleh agama dan kadar atau tingkat kesalehan, ras, etnis bahkan bukan oleh aspirasi nasionalismenya. Seorang agamis dan nasionalis yang berapi-api tapi korup, rasis, diskriminatif dan menghalalkan kekerasan, jelas bukan seorang warga yang baik di dalam republik.
Dengan demikian identitasnya sebagai warga diperoleh dari kebebasan dan melalui praktik dalam kebebasan. Kualitas warga dinilai dari kesertaanya dalam memperjuangkan –dalam istilah Mohammad Hatta- kemaslahatan umum. Inilah yang memberikan status dan identitas kewargaan. Pendapat dari Robertus Robet ini memberi kita sebuah perspektif bahwa di dalam republik, bukan negara yang membentuk identitas warga, tetapi wargalah yang membentuk identitas negara. Negara adalah ekspresi dari warga.
Kewargaan di Indonesia dalam Lintasan Sejarah: Partisipasi Aktif Warga Era 1950-an
Indonesia sendiri sebenarnya memiliki sejarah panjang praktik kewargaan. Agus Suwingnyo dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri (2018) memberikan contoh-contoh praktik kewargaan di Indonesia pada tahun 1950-an. Pertama, aktivitas untuk penguatan identitas kebangsaan. Masa awal kemerdekaan Indonesia merupakan masa ketika pembentukan identitas kebangsaan menempati posisi utama dalam daftar isu-isu publik. Upaya untuk menguatkan identitas kebangsaan ditempuh melalui tiga cara, yaitu (1). Melalui kebijakan dan program-program pemerintah, yang tidak akan diulas dalam artikel ini karena sifatnya yang formal dan bukan keseharian; (2). Melalui penyampaian wacana kebangsaan di depan publik rakyat oleh golongan elit; (3). Melalui kegiatan yang menyasar kelompok sosial tertentu di masyarakat.
Kedua, filantropisme sebagai jaring pengaman sosial. Tindakan-tindakan filantropis, yaitu kesediaan bederma dan berbagi untuk kesejahteraan dan kebaikan orang lain dan komunitas, sangat menonjol di tahun 1950-an. Kita tahu bahwa di masa awal kemerdekaan itu keadaan serba sulit dalam berbagai hal. Pemerintah mengalami keterbatasan anggaran dan tidak mampu memenuhi program-program kesejahteraan rakyat. Di sisi lain, sebagian besar rakyat dalam keadaan miskin dan buta huruf, sebagian lain menganggur akibat sempitnya lapangan kerja. Di tengah situasi demikian, yang pantas dicatat, semangat kebersamaan warga justru sangat menonjol.
Ketiga, perkumpulan sebagai wadah kewargaan. Perkumpulan telah menjadi model baru gerakan massa di Hindia Belanda/Indonesia sejak awal abad keduapuluh. Perkumpulan itu kebanyakan diinisiasi dan dijalankan oleh kaum terpelajar. Pada tahun 1950-an, yaitu setelah Indonesia merdeka, perkumpulan sebagai wadah kewargaan tetap sangat banyak jumlahnya di kalangan pemuda dan pelajar. Namun, bedanya, pada tahun 1950-an terdapat berbagai macam perkumpulan dan organisasi kalangan yang bukan pelajar, misalnya ibu-ibu rumah tangga, warga kampung, dan petani. Lewat perkumpulan, warga berpartisipasi dalam merespons maupun mencari penyelesaian atas berbagai permasalahan. Perkumpulan menjadi wadah masyarakat untuk mewujudkan kewargaannya.
Keempat, rakyat menggugat sebagai wujud partisipasi sipil. Protes warga atas berbagai permasalahan sehari-hari merupakan indikator kesadaran warga tentang hak-hak sipilnya sebagai warga negara. Di tahun 1950-an, warga masyarakat di berbagai daerah menyampaikan ketidakpuasan dan tuntutan mereka atas berbagai persoalan itu melalui bermacam-macam saluran ekspresi. Pemberitaan surat kabar secara rutin mengulas persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat dan bagaimana rakyat berusaha mengkomunikasikan persoalan tersebut kepada pemerintah.
Kewargaan di Indonesia dalam Lintasan Sejarah: Totalisme Negara atas Warga di Era Orde Baru
Memasuki era Orde Baru, wajah kewargaan di Indonesia berubah. Politik Orde Baru dimulai dengan suatu proyek kewargaan yang kompleks. Ia melibatkan tidak hanya peralatan hukum, politik tetapi juga kebudayaan hingga filsafat. Proyek kewargaan ini ditangkup dalam suatu politik kebudayaan yang yang sedari mula dimaksudkan untuk mengintegrasikan wilayah mental dengan wilayah biologis dan dirumuskan dalam sebuah konsep antropologi politis bernama: Manusia Pancasila.
Pengorganisasian politis atas wilayah mental-biologis dalam Manusia Pancasila kemudian dilanjutkan dan disofistifikasi melalui konsepsi kewargaan yang subtil yakni dalam gagasan ‘manusia Indonesia seutuhnya’. Gagasan ini dikencangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). GBHN tahun 1979 misalnya menyebut bahwa pembangunan nasional pada hakektanya adalah pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya.
Konsepsi “manusia Indonesia seutuhnya”, digunakan oleh Orde Baru untuk memantapkan semacam standarisasi – atau normalisasi dalam bahasa filsuf asal Prancis Michel Foucault- sehingga dengan itu diharapkan muncul semacam standar baku mengenai siapa manusia Indonesia. Standarisasi itu dibuktikan ketika konsep ini dijadikan dasar bagi orientasi dan tujuan pendidikan secara umum sebagaimana tertera dalam setiap pembukaan undang-undang mengenai pendidikan di masa Orde Baru.
Sejak itu, muncul istilah “aspek-aspek” yakni semacam pembidangan yang membagi-bagi manusia berdasar bagian-bagian tertentu: aspek moral, aspek mental, aspek, fisik, aspek emosional. Istilah ini sangat digemari dalam diskursus manusia di Indonesia dan biasanya dipakai untuk menegakkan ciri partikular “manusia Indonesia” misalnya bahwa “manusia Indonesia” sebagai “orang timur” harus memiliki aspek ‘rasa’ selain aspek akal. Singkatnya, melalui konsep ini, Orde Baru bisa secara sewenang-wenang menentukan mana-mana yang “warga Indonesia” dan “bukan warga Indonesia”, mana-mana “warga yang baik” dan “mana-mana warga yang tidak baik” (Robet, 2009).
Berakhirnya Orde Baru pada tahun 1998 dikatakan oleh Robertus Robet (2009) bisa diartikan sebagai berakhirnya doktrin totalisme mengenai “warga negara” yakni bangkrutnya paham “manusia Indonesia seutuhnya”. Dengan berakhirnya politik otoritarian dan klaim partikularisme antropologi politiknya, berakhir pula sistem pemaknaan tunggal mengenai siapa warga atau siapa “warga yang baik”. Dari sini, menurut Robertus Robet (2009) muncul beragam tantangan dan gerakan dalam upaya merekonstruksi pandangan-pandangan baru mengenai siapa “manusia Indonesia” itu. Lantas pihak-pihak mana yang kemudian mewarisi arena pertarungan untuk mendefinisikan “konsepsi manusia Indonesia” yang baru itu? Yang paling kuat tentu saja: Pasar Global
Kewargaan di Indonesia dalam Lintasan Sejarah: Manusia Indonesia Berdimensi Tunggal Bentukan Pasar Global di Era Reformasi
Selain sebagai tanda runtuhnya dominasi Negara, berakhirnya Orde Baru juga bisa disebut sebagai awal dari hegemoni entitas baru dalam mendefinisikan “Manusia Indonesia” yaitu Pasar Global dengan ideologi Neoliberalismenya. Pasca Reformasi, menurut Hasrul Hanif (2012), politik kewargaan kini didorong selaras dengan logika pasar daripada sebagai bentuk oposisi atau kompensasi terhadap efek aktivitas pasar. Kewargaan kemudiaan didefinisikan ulang sebagai sarana penting untuk menciptakan kesejahteraan melalui pasar.
Konsekuensinya, berbagai kebijakan sosial dilahirkan tidak sebagai respon politik atas resiko sosial yang harus ditanggung akibat gagalnya pasar yang selalu destruktif melainkan upaya untuk memperbaiki kapasitas individu agar bisa mengakses pasar. Kebijakan sosial didesain untuk memberikan kontribusi produktifitas atau mendorong adanya partisipasi (baca: inklusi) yang lebih besar dalam aktivitas ekonomi. Dengan demikian program perbaikan kualitas kesehatan, pendidikan, dan lain-lain lebih dipahami sebagai human investment untuk mempersiapkan sumberdaya unggul bagi pembangunan daripada sebagai upaya pemenuhan hak dasar warga.
Sebagaimana diuraikan oleh Kanishka Jayasuriya yang dikutip oleh Hasrul Hanif (2012), ada beberapa elemen-elemen fundamental dari kewargaan pasar:
- Kewargaan dikerangkai dalam pasar daripada sebagai oposisi terhadap pasar atau sebagai kompensasi terhadap efek dari aktivitas pasar,
- Kebijakan sosial dalam kewargaan pasar didesain untuk mendorong kontribusi produktif atau mendorong partisipasi dalam ekonomi,
- Partisipasi di-individualisasi dalam kerangka kemampuan untuk memobilisasi kapasitas dan aset individu,
- Kebijakan sosial bergeser dari logika “rights-based” ke versi kesejahteraan kontraktual yang membuat kebijakan sosial mengklaim hal yang bersifat kondisional atas performa kewajiban dan tugas yang spesifik, dan
- Kewargaan pasar cenderung untuk mendefinisikan asosiasi sosial dalam logika akses ke, dan partisipasi dalam, pasar.
Kewirausahaan Sosial: Sebuah Eksperimen Kewargaan di Tengah Hegemoni Kapitalisme Neoliberal
Di tengah hegemoni kapitalisme neoliberal pasar global ternyata muncul satu alternatif ekspresi kewargaan yang dilakukan oleh warga di Indonesia yaitu: Kewirausahaan Sosial. Dilihat secara lebih luas kewirausahaan sosial merupakan fenomena global yang telah dan terus mendorong perubahan sosial. Nicholls (2006) menjelaskan bahwa kewirausahaan sosial didorong oleh gerakan dari orang-orang yang inovatif, aktivis sosial yang visioner, serta jaringan-jaringan mereka. Kewirausahaan sosial menggabungkan konsep bisnis, amal, dan model pergerakan sosial untuk membangun solusi atas permasalahan sosial secara berkelanjutan dan menciptakan tatanan nilai sosial (social value).
Aktivitas kewirausahaan sosial memiliki jangkauan yang luas. Bornstein (2006) menambahkan bahwa praktik kewirausahaan sosial telah memainkan peran penting dengan menggunakan pendekatan-pendekatan baru terhadap penyakit sosial melalui gagasan atau model baru dalam bentuk pengentasan kemiskinan, penciptaaan kekayaan, peningkatan kesejahteraan, pelestarian lingkungan, serta pendampingan hukum (advocacy). Kewirausahaan sosial sendiri menurut Bornstein dan Davis (2010) adalah bentuk dari kewargaan (citizenship).
Perrini dan Vurro (2006) menambahkan bahwa kewirausahaan sosial secara aktif berkontribusi terhadap perubahan sosial dengan kreativitas dan inovasi yang berlandaskan pada praktik kewirausahaan. Di sini wirausaha sosial menjadi penggerak perubahan, pioner dalam berinovasi dalam bidang sosial dengan kualitas kewirausahaan yang mencakup pemecahan masalah, peningkatan kapasitas, dan mempertunjukkan kualitas gagasan secara konkrit sehingga dapat mengukur dampak sosialnya.
Di Indonesia, kewirausahaan sosial bisa dibilang cukup potensial sebagai sarana mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial akibat kapitalisme neoliberal pasar global. Penelitian yang dilakukan oleh British Council, UNESCAP, dan PLUS (2018) menunjukan bahwa kewirausahaan sosial di Indonesia telah menghasilkan 67% layanan usaha, membuka 50% pekerjaan inklusif, 58% usaha dikembangkan komunitas, memberikan manfaat 63% kepada masyarakat lokal, dan 48% penerima manfaatnya adalah perempuan. Meningkatkan tenaga kerja full-time mencapai 42% dan tenaga kerja full-time perempuan sebanyak 99%. Dilihat dari perspektif kebudayaan, kewirausahaan sosial dianggap sangat tepat bagi konteks sosial budaya di Indonesia terlihat dari CAF World Giving Index Indonesia tahun 2018 berada pada peringkat pertama, dengan aspek mendonasikan uang mencapai 78% dan meluangkan waktu untuk kegiatan sukarela 53%. Pada Social Innovation Index (2016), Indonesia juga memiliki nilai cukup baik dalam aspek society atau kuatnya modal sosial di masyarakat.
Dampak-dampak positif yang berhasil dihasilkan oleh kewirausahaan sosial di Indonesia tentu layak diapresiasi, tetapi itu semua tentu saja masih belum cukup untuk mengatasi seluruh permasalahan kesenjangan ekonomi dan sosial di Indonesia. Menarik untuk melihat bagaimana kewirausahaan sosial sebagai sebuah eksperimen dan ekspresi kewargaan bertahan dari gempuran kapitalisme neoliberal pasar global di masa depan.
Referensi
Bornstein, D., 2006. How to Change the World: Social Entrepreneurs and the Power of New Ideas (Terj. Kusumawijaya, M.). Yogyakarta: INSISTPress-Nurani Dunia.
Bornstein, D., dan S. Davis, 2010. Social Entrepreneurship: What Everyone Needs to Know. New York: Oxford University Press
Hanif, Hasrul. 2012. Dibawah Bayang-Bayang Kewargaan Pasar (Market Citizenship)?: Menegaskan Politik Inklusi, Mengabaikan Politik Redistribusi. Disampaikan dalam Seminar International ke-13 “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Kewargaan Subnasional dan Cita-cita Negara Bangsa dalam Dinamika dan Perspektif Lokal” yang akan diselenggarakan di Kampoeng Percik Salatiga pada tanggal 10-13 Juli 2012.
Jayasuriya, Kanishka. 2006. Statecraft, Welfare and the Politics of Inclusion. New York: Palgrave Macmillan.
Kajian British Council, UNESCAP, dan PLUS diakses dari https://www.britishcouncil.org/sites/default/files/the_state_of_social_enterprise_in_indoensia_british_council_web_final.pdf
Marshall, T.H. 2009, “Citizenship and Social Class”, dalam Inequality and Society, ed. Jeff Manza & Michael Sauder. New York: W.W. Norton & Co., hh. 148-154.
Perrini, F., dan C. Vurro, 2006. Social Entrepreneurship: Innovation and Social Change Across Theory and Practice. Dalam J. Mair, J. Robinson, dan K. Hockerts (Ed.). Social Entrepreneurship: 57-85. New York (USA): Palgrave Macmillan.
Robet, Robertus. 2009. Gagasan Manusia Indonesia dan Politik Kewargaan Indonesia Kontemporer.Suwingnyo, Agus dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri. 2018. Praktik Kewargaan Sehari-hari Sebagai Ketahanan Sosial Masyarakat Tahun 1950-an (Sebuah Tinjauan Sejarah). Jurnal Ketahanan Nasional Vol. 24, No.1, April 2018, pp. 94-116.