You are currently viewing Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia

Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia

Salah satu pihak yang bisa diajak kerjasama oleh para wirausahawan sosial di Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sejarah membuktikan bahwa LSM masih dapat memaikan peranan penting, meskipun ada pembatasan yang sangat ketat oleh Orde Baru selama 32 tahun. Pada pertengahan 1980-an, lembaga donor international dan LSM internasional menyalurkan sedikit dana dan dukungan bagi LSM Indonesia, yang didorong oleh meningkatnya peranan masyarakat sipil dalam transisi menuju demokrasi. Proses transisi menuju demokrasi yang terjadi pada akhir tahun 1990-an menyebabkan proliferasi dan perluasan LSM yang beragam. Proses desentralisasi yang mulai pada awal tahun 2000-an juga terus mendorong penyebaran tersebut.

Scanlon dan Alawiyah (2015) dalam laporannya yang berjudul Sektor LSM di Indonesia: Konteks, Konsep dan Profil Terkini mendefinisikan lembaga swadaya masyarakat (non-government organisations /NGO) sebagai bagian dari masyarakat sipil, yaitu ‘berbagai lembaga non-pemeirntah dan non-pasar dimana kelompok masyarakat mengorganisir diri untuk mencapai kepentingan atau nilai-nilai bersama dalam kehidupan publik,’ menurut Civil Society Engagement Framework milik DFAT Australia. 

LSM sebagai organisasi masyarakat sipil merupakan suatu ruang yang memungkinkan publik dapat memeriksa kuasa negara dan pasar dengan mengadvokasi untuk keadilan sosial dan ekonomi, dan untuk menjawab kebutuhan pembangunan sosial yang tidak dapat dilakukan oleh negara dan pasar. Keanggotaan dalam suatu organisasi masyarakat sipil bersifat sukarela dan tata kelola dilakukan sendiri, serta laba yang didapatkan dikembalikan ke dalam organisasi ketimbang dalam kantong anggotanya. Di bawah suatu kerangka kerja operasi, organisasi masyarakat sipil juga meliputi organisasi berbasis masyarakat, yang bekerja di tingkat lokal dan bergantung pada kontribusi dari para anggotanya untuk dapat beroperasi, seringkali untuk melayani para anggotanya (Scanlon dan Alawiyah, 2015).

Salah satu contoh LSM tertua di Indonesia adalah Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang berdiri pada tahun 1971 (Suharko, 2005). LP3ES menjadi lembaga bergengsi yang mampu memberikan sumbangsih alternatif bagi pemikiran-pemikiran pengembangan masyarakat. Lembaga ini juga menjadi inspirator terhadap pola-pola baru model pembangunan yang pada waktu itu masih menggunakan model pembangunan yang berorientasi pada pengembangan ekonomi (economic growth) saja mengikuti konsep yang diusung dari negara-negara maju dengan teori modernisasi.

Desentralisasi menjadi pemicu berdirinya generasi LSM baru yang berfokus ada tata kelola dan layanan publik di daerah. Proses ini berujung pada dikeluarkannya UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, yang dengan dukungan kepemimpinan masyarakat sipil membuahkan anggaran pembangunan yang lebih tinggi bagi ribuan desa di Indonesia (Parlinda dan Halim, 2013). Terlebih lagi, tersedia ruang bagi keterlibatan LSM dalam membantu desa-desa mengidentifikasi kebutuhannya dan dalam mengelola dan menggunakan dana tersebut dengan baik (Pellini et.al., 2014).

Beberapa tahun terakhir, Indonesia merupakan bagian dari negara berpenghasilan menengah yang telah mengalami pertumbuhan ekonomi sejak krisis keuangan pada tahun 1998 (World Bank, 2014). Antara tahun 2010–2015, tingkat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) mencapai 5-6% (Asian Development Bank, 2015). Seiring dengan itu, kelas menengah di Indonesia juga tumbuh. Keadaan ini membuka peluang namun juga menyebabkan tantangan bagi sektor LSM. 

Di tingkat global, seperti halnya di Indonesia, LSM mengalami beberapa pembatasan dana dari lembaga donor internasional, yang ingin melihat dananya dihubungkan dengan kebijakan luar negeri dan agenda perdagangannya (agar dapat menjustifikasi pengeluaran untuk bantuan asing saat pengeluaran domestik mengalami pemotongan anggaran). Selain itu, makin banyak donor yang berfokus pada program pelayanan ketimbang program untuk mendukung agenda LSM yang meliputi kerja-kerja perubahan sosial berjangka panjang. Sampai dengan tahun 2012, tercatat sekitar 2.293 LSM yang aktif di Indonesia (STATT, 2012). Diperkirakan bahwa sektor LSM di Indonesia secara keseluruhan memiliki pendapatan sebesar AU$340 juta (Rp 3.4 triliun) pada tahun 2013.

Selain masalah di atas, LSM di Indonesia juga mengalami krisis kepercayaan karena kurangnya transparansi dan akuntabilitas. Penelitian yang dilakukan oleh STATT (2012) menunjukan bahwa ada beberapa responden dari pemerintah dan pihak swasta yang menyatakan kecurigaan atau ketidakpercayaannya. Secara lebih luas, dan lebih penting, para responden menyatakan bahwa tidak cukup banyak informasi mengenai kerja-kerja LSM. Ada pandangan di kalangan responden dari pemerintah dan pihak swasta bahwa LSM tidak memiliki sistem manajemen kinerja dan keuangan yang kuat, dan mereka juga menyatakan bahwa tidak ada sistem akreditasi atau sertifikasi yang dapat memberikan informasi tentang kinerja dan dokumentasi kemajuan dan hasil-hasil program (Scanlon dan Alawiyah, 2015). 

Mengenai masalah pendanaan lembaga swadaya masyarakat yang sudah dibahas di atas, konsep kewirausahaan sosial jika dipraktikan oleh LSM-LSM di Indonesia akan sangat mungkin membantu LSM-LSM tersebut untuk lebih mandiri dan mulai lepas dari ketergantungan dana dari donor. Sedangkan untuk para wirausahawan sosial, kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat akan memungkinkan jangkauan dampak sosial yang ingin diciptakan melalui usaha-usaha sosial yang mereka rintis bisa menjadi lebih luas lagi.

Referensi

Parlina, I., dan Halim, H. (19 Desember 2013). New Law Allows Direct Cash Payment to Villages. The Jakarta Post. Jakarta. Diambil dari http://www.thejakartapost.com/news/2013/12/19/new-law-allows-direct-cash-payment-villages.html.

Pellini, A., Angelina, M., dan Purnawati, E. (2014). Working politically: A Story of Change of the contribution of research evidence to the new Village Law in Indonesia. Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme (ACCESS) and Knowledge Sector Initiative (KSI). Diambil dari http://www.ksi-indonesia.org/index.php/publications/2014/02/18/17/story-of-change-indonesia-039-s-new-village-law-revised-edition.html 

Scanlon, Megan McGlynn dan Tuti Alawiyah. 2015. Sektor LSM di Indonesia: Konteks, Konsep dan Profil Terkini. Australia: Department of Foreign Affairs and Trade.

STATT. (2012, November). NGO Sector Review Findings Report. STATT. Diambil dari http://dfat.gov.au/about-us/publications/Documents/indo-ks15-LSM-sector-review-phase1.pdf 

Suharko. 2005. Merajut Demokarsi: Hubungan NGO, Pemerintah, dan Pengembangan Tata Pemerintahan Demokratis (1966-2001). Yogyakarta: Tiara Wacana.

Leave a Reply