Pergeseran dari model produksi massal menuju kerja-kerja imaterial sebagai penopang utama menandai era pasca-fordisme. Pada masa ini, disrupsi digital dan akselerasi inovasi teknologi turut mentransformasi ekosistem kerja. Implikasinya, muncul berbagai jenis pekerjaan baru berbasis digital yang dicirikan oleh fleksibilitas waktu dan ruang, seperti pekerja paruh waktu dan pekerja lepas. Hubungan yang terjalin antara perusahaan, pekerja, dan klien dilakukan melalui platform online sebagai ruang transaksi kerja. Spesialisasi kerja fleksibel yang ditandai dengan kesenggangan (leisure), menghasilkan produk sampingan dari sistem kerja post-fordisme, yaitu kemunculan ekonomi gig (Muntaner, 2018).
Dalam Bérastégui (2021), kerja berbasis platform dikategorikan menjadi tiga. Pertama, eskalasi sektor jasa yang didukung dengan teknologi digital memunculkan kategori kerja on demand physical service. Berbagai aplikasi penyedia layanan jasa, seperti pengiriman maupun ojek online membuka peluang bagi pekerja gig. Kedua, pekerja lepas yang menuntut spesialisasi kemampuan, seperti halnya pekerja kreatif. Ketiga, kerja mikro atau crowdwork yang memungkinkan pekerja untuk melakukan tugas-tugas sederhana berdasarkan pembagian kerja tertentu. Ketiganya menjadikan platform sebagai middle-man, yang menghubungkan pada permintaan konsumen. Hal inilah yang menjadi karakteristik pada sistem sosial pasca-fordisme.
Dalam skema kerja gig, pekerja diperlakukan layaknya self-employed yang memiliki hubungan dependen dengan klien dan perusahaan. Pekerja masih diberlakukan sebagai komoditas, sehingga hubungan yang terbentuk juga berdasar pada mekanisme pasar. Dalam kerja berbasis platform, hubungan yang terjalin adalah melalui skema kemitraan, alih-alih sebagai buruh atau pekerja. Alhasil, pekerja sering kali terlepas dari kondisi kerja layak dan hak-hak fundamental sebagai pekerja yang tercantum dalam aturan yang berlaku. Sistem kerja yang singkat, minim perlindungan, dan upah rendah membuat para pekerja gig termasuk ke dalam kategori kerja prekariat (Fathurrahman, 2021).
Isolasi Fisik dan Sosial
Berbeda dengan skema kerja tradisional penuh waktu, pekerja gig bekerja secara individu dan dimediasi oleh platform. Terlebih, interaksi yang terbentuk selama proses kerja terbatas pada pemenuhan permintaan dan penawaran gig, sehingga mengancam identitas profesionalnya sebagai pekerja. Tuntutan pada produktivitas yang tinggi dibarengi dengan kecemasan terhadap kerentanan akibat konsekuensi berupa upah rendah, kompetisi tinggi, beban kerja berlebih dan employment insecurity turut mengganggu kondisi psikologis. Selain itu, para pekerja gig seringkali tercerabut dari realitas sebab kaburnya konsep tempat dan waktu sehingga menciptakan alienasi pada para pekerjanya. Secara spesifik, (Galvin, 2021) menyebut bahwa kerja berbasis platform cenderung menantang otonomi pekerja dan kemampuan untuk mempertahankan hubungan kerja yang memuaskan. Penggunaan kontrol melalui algoritma termanifestasi pada evaluasi klien, membuat posisi pekerja gig berada pada ketidakberdayaan (powerlessness).
Lebih lanjut, dalam (Novianto, Keban, dan Hermawan: 2021), disebutkan bahwa kekuatan dari pekerja gih terletak pada kekuatan struktural dan kekuatan asosiasi. Kekuatan struktural merujuk kepada kondisi supply-demand yang bekerja di pasar kerja dan keahlian tertentu sehingga memiliki daya tawar yang besar, sedang asosiasi merujuk kepada kesempatan untuk berjejaring dan membentuk serikat. Isolasi sosial yang dialami oleh pekerja gig serta nihilnya interaksi dengan pekerja lainnya membuat kekuatan yang berasal dari asosiasi rendah. Akibatnya, para pekerja tidak dapat bertindak sebagai agensi dan menjadikan serikat sebagai kendaraan untuk mengantarkan mereka pada kondisi kerja yang lebih adil dan layak. Kesulitan para pekerja gig untuk membentuk serikat memaksa mereka untuk bertahan dalam kerentanan. Menurut (Bérastégui ), alienasi dan isolasi yang dialami berpotensi untuk menyebabkan kesepian pada para pekerja.
Algoritma dan Pengawasan Digital
Berkat pemanfaatan teknologi berbasis platform, kontrol algoritma memegang peranan penting dalam penentuan beban kerja. Secara khusus, Mohlmann dan Zalmanson (2017) menyatakan bahwa ada lima karakteristik dari manajemen algoritma, (1) pengawasan digital, (2) evaluasi performa konstan, (3) keputusan otomatis, (4) interaksi dengan sistem yang membatasi proses negosiasi, dan (5) transparasi rendah mengenai aturan dar algoritma yang digunakan. Implikasinya, pekerja gig diharuskan untuk memenuhi beban kerja yang sudah ditentukan dalam sistem. Hal tersebut seringkali membuat para pekerja gig memiliki beban kerja yang berlebih. Model hierarki organisasional bagi para pekerja gig merupakan algocracy, sehingga otoritas tertinggi dalam birokrasi kerja dipegang oleh algoritma, sistem rating, dan tarif yang dinamis, sehingga memaksa para pekerja untuk bekerja lebih keras (Sunardi, 2021).
Ilusi Kerja dan Pekerjaan Tak Berbatas
Ekonomi gig menawarkan inovasi kerja kasual yang lekat dengan fleksibilitas, otonomi, dan kesempatan bagi individu untuk monetisasi sumber daya mereka. Di sisi lain, proses kerja yang berlaku secara virtual dan fleksibel, dapat menjadi bumerang yang mengancam pekerja jatuh pada jurang kerentanan. Sebab, ilusi dari kebebasan dan pemberdayaan kerja yang ditawarkan oleh ekonomi gig secara bersamaan turut menjadi subjek tersembunyi dari eksploitasi dan regulasi.
Fleksibilitas sebagai karakteristik dari kerja-kerja dalam ekonomi gig memungkinkan pekerja untuk menembus batas dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya, memperluas pengetahuan dan kemampuan, membuat koneksi dan berjejaring dengan posisi-posisi influensial. Meskipun demikian, fleksibilitas garis batas kerja tersebut juga berdampak terhadap ketidakjelasan arah karir dan berujung pada eksploitasi diri karena motivasi untuk bertahan dalam gempuran ekonomi platform yang mengadu para pekerja untuk menuruti logika pasar. Di sisi lain, kerja gig sering kali dianggap sebagai batu loncatan sebelum menemukan kerja tetap, sehingga para pekerja tidak mengindahkan kerentanan yang mereka alami akibat normalisasi dari keadaan tersebut.
Menurut (Novianto, Keban, dan Hermawan: 2021), pekerja gig masih jauh dari pemenuhan indikator-indikator kerja layak dan adil. Kebutuhan finansial dibarengi nihilnya regulasi yang menjamin perlindungan kerja memaksa para pekerja untuk bertahan dalam kerentanan. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya strategis dan perjuangan kolektif yang datang dari kelas pekerja, akademisi, dan masyarakat untuk mendorong kesejahteraan para pekerja gig, baik melalui jalur regulasi, peningkatan kepedulian, narasi kerja, bahkan menentang struktural untuk menarik pekerja gig keluar dari kerentanan.
Referensi
Bérastégui, Pierre, Exposure to Psychosocial Risk Factors in the Gig Economy: A Systematic Review (January 20, 2021). ETUI Research Paper – Report 2021.01, http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.3770016
Carles, Muntaner. (2018). Digital Platforms, Gig Economy, Precarious Employment, and the Invisible Hand of Social Class. International Journal of Health Services. 48. 597-600. 10.1177/0020731418801413.
Glavin, P., Bierman, A., & Schieman, S. (2021). Über-Alienated: Powerless and Alone in the Gig Economy. Work and Occupations, 073088842110247. doi:10.1177/07308884211024711
Möhlmann, Mareike & Zalmanson, Lior. (2017). Hands on the wheel: Navigating algorithmic management and Uber drivers’ autonomy.
Novianto, A., Keban, Yeremias., Hermawan, A. (2021). Menyoal Kerja Layak dan Adil dalam Ekonomi Gig di Indonesia. IGPA Press. ISBN: 978-623-96204-6-2