You are currently viewing Gender dalam Pembangunan

Gender dalam Pembangunan

Salah satu tujuan pembangunan dalam peradaban yang menjunjung tinggi kesetaraan seperti sekarang adalah untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Kesetaraan gender adalah suatu kondisi di mana laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan serta hak-hak yang sama sebagai manusia dalam berperan dan berpartisipasi di segala bidang. Sedangkan keadilan gender suatu kondisi di mana terdapat perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki dalam menjalankan kehidupan bernegara. Pembangunan manusia yang seutuhnya, seperti yang selalu dicita-citakan di Indonesia, tidak akan tercapai tanpa kesetaraan gender. Gender pada hakikatnya mencakup laki-laki dan perempuan. Namun, pembahasan tentang gender sangat didominasi pembahasan tentang masalah perempuan. Hal tersebut dikarenakan posisi perempuan seringkali terpinggirkan dalam segala bidang kehidupan, termasuk pembangunan.

Secara umum dan sederhana, gender diartikan sebagai perbedaan fungsi dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Perbedaan tersebut pada kenyataannya menimbulkan ketidakadilan terhadap kaum perempuan dalam kehidupan mereka baik di tingkat masyarakat maupun negara. Kaitannya dengan pembangunan, ada tiga perspektif dalam melihat kesenjangan antara laki-laki dan perempuan (Effendi dalam Santoso, 2004). Ketiga perspektif tersebut adalah perspektif mutu modal manusia (human capital), perspektif yang menekankan pada pertimbangan efisiensi pemanfaatan sumberdaya manusia dalam proses pembangunan dan akumulasi modal serta perspektif gender.

Perspektif mutu modal manusia (human capital) menekankan bahwa keterlibatan perempuan di sektor publik merupakan tuntutan pembangunan dan tidak dapat dielakkan dalam proses modernisasi. Tanpa keterlibatan itu sulit bagi kaum perempuan untuk memperbaiki nasib. Pembangunan membuka peluang perempuan untuk bekerja di sektor publik yang pada gilirannya membuka kemungkinan bagi kaum perempuan untuk menentukan pilihan-pilihan yang lebih baik dalam upaya mengembangkan diri dan memperbaiki kondisi hidupnya, antara lain dengan meningkatkan pendidikan dan keterampilan (Effendi dalam Santoso, 2004).

Perspektif yang menekankan pada pertimbangan efisiensi pemanfaatan sumberdaya manusia dalam proses pembangunan dan akumulasi modal menekankan bahwa perempuan adalah aset pembangunan yang belum banyak dimanfaatkan, sehingga selama ini terjadi inefisiensi dalam pembangunan. Atas dasar inilah kaum perempuan perlu dimanfaatkan secara penuh dengan melibatkan mereka melalui ekspansi industri kapitalis negara maju ke negara berkembang. Hal tersebut membuka peluang keterlibatan kaum perempuan di pasar kerja untuk mendapatkan upah. Dengan demikian mereka dapat memberikan sumbangsih pada pembangunan ekonomi (Effendi dalam Santoso, 2004).

Perspektif gender menekankan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan berakar pada ideologi gender. Ideologi gender ini bersumber dari konstruksi sosial masyarakat, bahwa secara biologis laki-laki dan perempuan itu berbeda, maka peran mereka juga harus berbeda. Perbedaan ini telah disosialisasikan sejak lahir dan akhirnya melahirkan ketidakadilan yang mengejahwantah dalam berbagai perilaku kehidupan bermasyarakat. Jadi menurut perspektif ini, penyebab kesenjangan bukan terletak pada ketidakmampuan perempuan seperti perspektif human capital tetapi lebih disebabkan ideologi, sistem, struktur yang bersumber dari ketidakadilan gender. Manifestasi ideologi ini tercermin dalam strategi, rencana, kebijakan dan program pembangunan (Effendi dalam Santoso, 2004).

Contoh konkrit analisis gender dalam pembangunan dapat dilihat dari kajian Anita Dhewy yang berjudul Perspektif Gender sebagai Formalitas: Analisis Kebijakan Feminis terhadap RPJMN 2015-2019 dan Renstra KPPPA 2015-2019. Dhewy (2017) menyatakan bahwa bahwa meskipun RPJMN 2015-2019 menyebutkan pengarusutamaan gender sebagai salah satu arah kebijakan, namun perspektif gender sesungguhnya belum menjadi bagian integral. Bahkan pada beberapa bagian kebijakan RPJMN 2015-2019 masih bersifat netral gender. Dhewy (2017) menggunakan kerangka analisis kebijakan feminis untuk mengungkap keterbatasan RPJMN 2015-2019 dalam menggunakan, menerjemahkan dan mengimplementasikan perspektif gender. Analisis feminis juga menemukan hak dan kesehatan seksual dan reproduksi (HKRS) belum dikenali dalam RPJMN 2015-2019. Selain itu, terdapat potensi tersingkirnya isu perempuan dan kelompok marginal lainnya dari agenda pembangunan karena kebijakan pembangunan yang cenderung mengarah pada model developmentalisme baru.

Secara lebih rinci, Dhewy (2017) menjelaskan bagaimana perspektif gender belum belum menjadi bagian integral dari RPJMN 2015- 2019. Hal ini dapat dilihat misalnya pada kebijakan tentang pembangunan berkelanjutan, pemerataan dan penanggulangan kemiskinan, serta perubahan iklim yang belum memasukkan perspektif gender. Hal serupa juga ditemui pada arah kebijakan dan strategi pembangunan lintas bidang khususnya pemerataan dan penanggulangan kemiskinan. RPJMN 2015-2019 telah mengenali dan memasukkan kelompok marginal dalam arah dan strateginya. Akan tetapi aspek gender tidak menjadi pertimbangan. Sehingga strategi dan sasaran yang hendak dicapai RPJMN 2015-2019 masih netral gender.

Dhewy (2017) menyimpulkan bahwa dalam RPJMN 2015-2019 perspektif gender hanya digunakan sebagai formalitas belaka belum diterapkan secara substansial. Pencomotan perspektif gender dengan mengabaikan substansinya akan menjauhkannya dari kepentingan perempuan. Pemahaman yang lebih baik atas keterkaitan yang kompleks dari berbagai isu yang kita hadapi hari-hari ini sangatlah penting untuk memastikan kebijakan pembangunan yang dijalankan benar-benar menjawab kebutuhan perempuan dan kelompok marginal lainnya serta mampu merespons tantangan dan kesenjangan yang ada. 

Untuk memastikan bahwa pembangunan bersifat transformatif dan mengikutsertakan serta memberi manfaat bagi semua pihak, maka seksualitas, hak dan kesehatan seksual dan reproduksi dan hak asasi manusia perlu dijabarkan dalam dokumen untuk menghindari ambiguitas dalam pelaksanaan dan pendanaan. Tidak cukup hanya memasukkan kata-kata seperti inklusivitas dan berkeadilan ketika praktik yang dijalankan bertentangan dengan yang dikatakan atau yang tertulis. Kesungguhan atas komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan, kesetaraan dan keadilan bagi semua mensyaratkan masuknya hak dan kesehatan seksual dan reproduksi (HKRS) sebagai bagian integral dari semua diskursus dan perencanaan terkait pembangunan (Dhewy, 2017). 

Referensi

Dhewy, Anita, 2017, Perspektif Gender sebagai Formalitas: Analisis Kebijakan Feminis terhadap RPJMN 2015-2019 dan Renstra KPPPA 2015-2019, Jurnal Perempuan, Vol. 22, No. 1, pp. 55-64. Santoso, B. 2004. Perencanaan Pembangunan Responsif Gender. Jember: Universitas Jember.

Photo by Markus Winkler on Unsplash

Leave a Reply