Sejak tahun 2017, istilah “Revolusi Industri 4.0” menjadi salah satu istilah yang sangat sering kita dengar, baca, bahkan ucapankan oleh berbagai kalangan termasuk dari kalangan pemerintah dari banyak negara-negara di dunia. Adalah Klaus Schwab, intelektual asal Jerman sekaligus salah satu ketua eksekutif World Economic Forum (WEF), dalam bukunya yang berjudul “The Fourth Industrial Revolution” Schwab memperkenalkan istilah Revolusi Industri 4.0. Menurut Schwab, berbeda dengan revolusi industri sebelumnya, revolusi industri generasi ke-4 ini memiliki skala, ruang lingkup dan kompleksitas yang lebih luas. Kemajuan teknologi baru yang mengintegrasikan dunia fisik, digital dan biologis telah mempengaruhi semua disiplin ilmu, ekonomi, industri dan pemerintah. Istilah “Revolusi Industri 4.0” sendiri sering dipertukarkan dengan istilah “Transformasi Digital”.
Transformasi digital seolah semakin menemukan momentumnya pada masa pandemi Covid-19 sekarang ini. Karakteristik Covid-19 dengan proses penularan antar manusia melalui droplet, membuat pertemuan secara fisik berkurang drastis. Manusia harus menjaga jarak dan menghindari kerumunan saat beraktivitas di luar rumah. Berangkat dari kondisi tersebut, oleh pemerintah, aktivitas pendidikan diharuskan dilaksanakan dalam jaringan atau menggunakan fasilitas pembelajaran elektronik (e-learning). Tujuannya agar generasi muda kita tidak terkena pandemi Covid-19 yang parah. Kegiatan lain (bisnis, pemerintahan, organisasi, dll.) pun mau tidak mau menyesuaikan diri dan mulai memanfaatkan fasilitas digital.
Sebelum pandemi terjadi, transformasi digital sendiri sudah dimanfaatkan oleh kalangan swasta yang mayoritasnya adalah anak-anak muda untuk mendirikan start-up atau perusahaan rintisan untuk dapat menyediakan platform digital berteknologi tinggi yang mampu mempermudah kehidupan manusia. Tulisan di laman Forbes yang ditulis oleh Dane Stagler (2019) menyebutkan bahwa ekonomi start-up global sejak tahun 2017 telah menghasilkan lebih dari US$2,8 triliun nilai ekonomi. Nilai tersebut telah naik sebanyak 20% apabila dibandingkan dengan periode dua tahun sebelumnya. Peningkatan semacam ini juga dipengaruhi oleh pertumbuhan pesat sejumlah start-up yang telah mencapai nilai valuasi lebih dari US$ 1 miliar, atau biasa disebut sebagai unicorn.
CBInsight (2019) mencatat bahwa di Indonesia sudah ada lima start-up yang mendapat julukan unicorn. Lima perusahaan unicorn tersebut adalah Tokopedia, Traveloka, Bukalapak, OVO, dan Go-Jek yang bahkan telah mencapai level decacorn karena telah mencapai nilai valuasi sebesar US$10 miliar. Go-Jek merupakan aplikasi on-demand yang telah mendapatkan predikat unicorn sejak 4 Agustus 2016 dan gelar decacorn pada April 2019. Decacorn sendiri merupakan julukan bagi start-up yang telah mencapai nilai valuasi lebih dari US$10 miliar. Selanjutnya Tokopedia merupakan sebuah online marketplace yang telah mencapai valuasi sebesar US$7 miliar sejak bulan Desember 2018. Lalu ada Traveloka yang merupakan sebuah aplikasi teknologi travel yang mencapai valuasi sebesar US$2 miliar sejak Juli 2017. Selanjutnya ada Bukalapak yang merupakan e-commerce yang berhasil mendapat gelar unicorn sejak November 2017. Terakhir ada OVO yang merupakan sebuah platform financial technology yang baru saja menyandang unicorn pada 14 Maret 2019.
Di sisi lain, pergeseran sistem sosial di dalam masyarakat global termasuk masyarakat di Indonesia dari masyarakat yang sebelumnya tertutup menjadi masyarakat terbuka karena perkembangan teknologi seolah belum terlalu ditangkap oleh sektor pelayanan publik atau pemerintahan. Perkembangan positif transformasi digital yang terjadi di sektor bisnis sayangnya belum bisa diikuti oleh mereka yang bergerak di sektor pelayanan publik atau pemerintahan sedangkan start-up yang sekarang banyak bermunculan jarang ada yang berfokus pada peningkatan kualitas pelayanan publik.
Nilai-nilai seperti humanisme, toleransi, keragaman, pengakuan akan kebebasan individu, dan keadilan sosial yang dianut oleh masyarakat terbuka saat ini membuat mereka menuntut pemerintah untuk memberikan pelayanan publik secara humanis, inklusif, transparan, dan lebih modern atau menggunakan teknologi mutakhir seperti teknologi digital. Untuk menjawab tantangan dari tuntutan masyarakat terbuka tersebut, pemerintah harus mengganti paradigma sistem tata kelola pemerintahan dari closed to open. Beberapa ciri khas konsep Open Government antara lain adalah adanya transparansi, partisipasi, dan kolaborasi dari masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Hadi et all, 2020).
Munculnya konsep Open Government memungkinkan adanya bottom-up innovation atau inovasi yang bersumber dari hasil partisipasi masyarakat sebagai upaya untuk meningkatkan penyelenggaraan dan mutu pelayanan publik. Hadi et al (2020) menjelaskan bahwa bottom–up innovation akan muncul dan bisa meningkatkan kualitas pelayanan publik jika dari pihak pemerintah sendiri sudah siap mempraktikan inovasi dialogis dengan ciri tidak anti kritik, mau berdialog, menerima keluhan, menempatkan masyarakat sebagai partner kebijakan, dan lingkungan pemerintahan harus menggunakan pendekatan humanis.
Hadi et al (2020) kemudian menyimpulkan secara rinci bahwa tuntutan dan tantangan dalam reformasi birokrasi sejatinya mengembalikan daulat rakyat. Idealnya, pemerintah bertindak atas keinginan dan kebutuhan rakyatnya. Sehingga, jika di era open society, pemerintah juga dituntut untuk membuka diri, itu tidak hanya dalam rangka mengikuti arus mainstream, latah dan cenderung mengikuti tren tanpa diikuti dengan kesadaran. Namun, melampaui itu semua, bahwa dialog merupakan keniscayaan di dalam proses pembuatan kebijakan, terlepas dari adanya tren open society dan open government. Artinya, tidak hanya menghafal dan melafal pilar-pilar keterbukaan tersebut, sehingga gagap dan minim dalam implementasi. Namun, pelibatan publik menjadi hal yang sangat fundamental dan substansial, bukan hanya sekadar formalitas yang kerap ditunjukkan.
Referensi
Hadi, Krishno, Listiano Asworo, and Iradhad Taqwa Sihidi. 2020. “Inovasi Dialogis: Menuju Transformasi Pelayanan Publik Yang Partisipatif (Kajian Sistem Pelayanan Malang Online).” Journal of Government and Civil Society 4(1):115–29.