You are currently viewing Hari Hutan adalah Saat yang Tepat untuk Meninjau Kembali Pembangunan Berkelanjutan

Hari Hutan adalah Saat yang Tepat untuk Meninjau Kembali Pembangunan Berkelanjutan

Pemberitaan mengenai kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi sumber daya alam telah mendominasi tajuk-tajuk berita di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang yang memiliki wilayah hutan tropis cukup luas seperti Indonesia. Contoh yang paling baru adalah kasus kebakaran hutan di Turki bulan ini. Di Sumatera dan Kalimantan pada akhir tahun 2015 juga pernah terjadi kebakaran hutan yang sangat luas sampai asapnya melumpuhkan kegiatan masyarakat di kawasan tersebut.

Menurut Colin Macandrews, dalam artikelnya yang berjudul Politics of the Environment In Indonesia, bahasan mengenai pentingnya ketahanan lingkungan sebenarnya telah menjadi perhatian khusus dari pemerintah Indonesia, bahkan pada masa akhir pemerintahan Orde Baru. Masalah deforestasi adalah satu fokus utama yang ingin diatasi. Rata-rata tingkat kehilangan hutan 1,1 juta hektar hutan per tahun pada 1990-an menjadi salah satu pemicu isu lingkungan mulai naik di Indonesia (Macandrews, 1994). Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah Indonesia kemudian mengadopsi konsep pembangunan berkelanjutan yang dianggap dapat menjaga lingkungan hidup di Indonesia dari eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan namun dapat tetap menjaga perekonomian di Indonesia tumbuh setiap tahunnya.

Konsep pembangunan berkelanjutan ditinjau dari sejarahnya tidak bisa dipisahkan dari keinginan untuk lepas dari paradigma pembangunan ekonomi neoliberal. Neoliberalisme memang begitu lekat dengan eksploitasi sumber daya alam. Sejak kerusakan lingkungan mulai dilihat sebagai permasalahan serius, konsep pembangunan berkelanjutan mulai banyak ditulis oleh para analis. Konsep pembangunan berkelanjutan mulai dilirik dunia internasional ketika adanya pemahaman ekologis yang menguat di tingkat pemerintah atau pun negara bangsa di dunia. Menurut A.K.Ramakrishna , konsep pembangunan berkelanjutan dipopulerkan oleh Brundtland Report (Laporan World Commission on Environment and Development) pada tahun 1987.

Pembangunan berkelanjutan sendiri didefinisikan sebagai proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb.) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan” (menurut Laporan Brundtland dari PBB, 1987). Sejak saat itu konsep pembangunan berkelanjutan mulai dikenal dengan pandangannya pada generasi masa depan (Ramakrishna, 2011). Namun apakah pembangunan berkelanjutan benar-benar lepas dari paradigma pembangunan neoliberal atau malah jangan-jangan pembangunan berkelanjutan adalah bentuk baru dari neoliberalisme untuk menarik simpati orang-orang yang peduli dengan lingkungan hidup?

Untuk mencoba menjawab pertanyaan tersebut mari kita lihat Washington Consensus yang menjadi dasar praktik kebijakan neoliberal. Ada 10 kata kunci baru yang ingin diterapkan oleh doktrin Washington Consensus yaitu: (1) Bank Sentral yang independen; (2) reformasi baik terhadap sektor publik maupun tata kelola sektor swasta; (3) fleksibilitas tenaga kerja; (4) pemberlakuan kesepakatan-kesepakatan WTO dan harmonisasi standar-standar nasional dengan standar-standar internasional di dalam kegiatan bisnis dan keuangan, tetapi dengan pengecualian (terutama tentang perburuhan dan lingkungan hidup); (5) penguatan sistem keuangan nasional untuk memfasilitasi liberalisasi; (6) pembangunan berkelanjutan; (7) perlindungan masyarakat miskin melalui program jaring pengaman sosial; (8) strategi pengurangan kemiskinan; (9) adanya agenda kebijakan pembangunan nasional; (10) partisipasi demokrasi (M. Beeson & I. Islam, 2006).

Dilihat dari 10 kata kunci baru yang ingin diterapkan oleh para penganut doktrin Washington Consensus atau Neoliberalisme ini maka pembangunan berkelanjutan adalah salah satu agenda pembangunan ekonomi neoliberal. Kemudian jika dilihat sebagai sebuah ideologi, pembangunan berkelanjutan sebenarnya menuntut segala sesuatunya untuk memenuhi tendensi pembangunan pemilik kapital dan menjadikannya sebagai komoditi yang bisa dijual dan mendatangkan keuntungan baik di masa kini maupun di masa depan. Penghancuran dan penebangan hutan, misalnya, telah dipilih jenis-jenis pohon tertentu yang tentu saja pohon yang tidak boleh ditebang adalah pohon yang sudah jelas tidak membawa keuntungan. Dengan kata lain, yang paling berlanjut dari pembangunan berkelanjutan ala neoliberal adalah eksploitasi lingkungan.

Rini Astuti dalam tulisannya yang berjudul REDD+ sebagai Strategi-Strategi Kepengaturan dalam Tata Kelola Hutan di Indonesia: Sebuah Perspektif Foucauldian, menunjukan bagaimana cara neoliberalisme bekerja dalam pembangunan berkelanjutan khususnya program REDD+ di Indonesia lewat kerangka konsep kepengaturan (governmentality) yang dipopulerkan oleh filsuf Prancis Michel Foucault. Melalui kerangka teori governmentality, REDD+ dapat dipahami sebagai sebuah rezim tata kelola yang dibentuk dan dipengaruhi oleh beragam aktor, motivasi, kepentingan, dan pengetahuan. Penerapan REDD+ menunjukkan bagaimana sebuah kebijakan yang dibuat dengan dasar ilmu pengetahuan saintifik tertentu dapat menjustifikasi bentuk-bentuk baru strategi sosial politik di sektor kehutanan. Strategi sosial politik ini membentuk ruang bagi para aktor untuk menegosiasikan agenda dan kepentingan mereka sehingga terbentuklah tata kelola kehutanan yang rumit dan tumpang tindih (Astuti, 2013).

Rini Astuti berargumen bahwa teori governmentality dianggap dapat menyediakan alat analisis yang memadai untuk membedah kerja-kerja aktor negara maupun nonnegara dalam memengaruhi, membentuk, dan mendefinisikan kebijakan dan program REDD+. Governmentality memungkinkan diagnosis yang lebih tepat dan mendalam mengenai bagaimana kumpulan praktik, partisipan, pengetahuan, dan teknik bekerja untuk menghasilan subjek yang dapat diatur (Hart, 2004 dalam Astuti, 2013). Menggunakan governmentality dalam analisis berarti “mengeksplorasi rezim kepengaturan yang berusaha membentuk perilaku manusia dengan cara memeriksa kondisi-kondisi di mana kita diatur dan bagaimana kita mengatur diri kita dan orang lain” (Dean, 2009 dalam Astuti, 2013).

Selanjutnya, Rini Astuti membahas strategi-strategi kepengaturan yang bertujuan untuk memungkinkan REDD+ diterapkan di Indonesia. REDD+ mensyaratkan diterimanya pengetahuan-pengetahuan saintifik baru serta praktik-praktik modernisasi ekologi sebagai hal yang lumrah dalam tata kelola hutan di Indonesia. Karbon ekonomi sebagai rasionalitas baru coba diperkenalkan dan dinormalisasi dalam mengatur dan mengelola relasi antara manusia dan hutan.

Kemudian dalam kesimpulan tulisannya, Rini Astuti mengatakan bahwa REDD+ mewujud melalui berbagai macam strategi dan praktik yang lahir karena didorong oleh rasionalitas karbon ekonomi yang berkelindan dengan beragam motivasi lain untuk memperbaiki tata kepengaturan hutan di Indonesia Proses-proses persiapan REDD+ telah berhasil membawa diskursus sosial politik kehutanan dalam arena-arena perdebatan di antara berbagai pihak.

Pada akhirnya, jika ditelusuri lebih lanjut, alih-alih menjawab persoalan mendasar ekonomi politik kehutanan, aktivitas-aktivitas ini justru lebih disibukkan dengan teknikalisasi permasalahan yang bisa dibilang sangat dekat dengan neoliberalisme yang sangat memfavoritkan dimensi teknis dalam pembangunan. Oleh karena itu, momentum Hari Hutan Nasional sekarang ini adalah saat yang tepat untuk meninjau kembali sebenarnya apa yang lestari dan berlanjut dari konsep pembangunan berkelanjutan yang selama ini diterapkan.

Referensi

Astuti, Rini.  “REDD+ sebagai Strategi-Strategi Kepengaturan dalam Tata Kelola  Hutan di Indonesia: Sebuah Perspektif Foucauldian”. Jurnal Transformasi Sosial. No. 30. (2013): 71-97.

Beeson, M. & I. Islam. 2006. Neo-liberalism and East Asia: Resisting the Washington Consensus, dalam K. Hewison & R. Robison (eds.) East Asia and the Trials of Neo-Liberalism. London: Routledge.

Dean, M. 2009. Governmentality: Power and Rule in Modern Society. London: Sage Publications.

Foucault, Michel. Governmentality.” Dalam The Foucault Effect: Studies in Governmentality, disunting oleh G. Burchell, C. Gordon, dan P. Miller, 87–104. London: Harvester Wheatsheaf.

Macandrews, Colin. “Politics of the Environment In Indonesia.” Asian Survey. Vol.34. No.4 (1994): 369-380.

Ramakrishna, A.K. “The Global and The Local: A Critical International Perspective on the Politics of “Sustainable Development”.” Indian Political Science Association. Vol.62. No.1 (2011): 91-104.

Photo by Justus Menke on Unsplash

Leave a Reply