You are currently viewing Bukit Algoritma: Bukan yang Pertama, Masih Perlukah Ada? dan Tawaran agar Semua Sama-Sama Bahagia

Bukit Algoritma: Bukan yang Pertama, Masih Perlukah Ada? dan Tawaran agar Semua Sama-Sama Bahagia

Beberapa bulan terakhir dunia maya di Indonesia lumayan dihebohkan dengan adanya rencana pembangunan suatu kawasan terpadu yang digadang-gadang akan menjadi “Sillicon Valey-nya Indonesia”. Kawasan tersebut rencananya akan diberi nama “Bukit Algoritma”. Mantan anggota DPR RI yang sekarang menjabat sebagai Komisaris Independen di BUMN PTPN V sekaligus Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia, Budiman Sudjatmiko, adalah orang dibalik gagasan pembangunan kawasan tersebut.

Rencana pembangunan Bukit Algoritma tersebut menuai respons bermacam-macam dari masyarakat Indonesia di dunia maya. Beberapa menyambut positif, tapi banyak juga yang kritis. Menjadi wajar kalau Bukit Algoritma dianggap kontroversial mengingat rencana pembangunannya diungkapkan oleh Budiman Sudjatmiko secara tiba-tiba.

Budiman Sudjatmiko sendiri dalam keterangannya ketika diwawancarai oleh Tirto menyatakan bahwa mimpi membangun “Silicon Valley-nya Indonesia” salah satunya karena didorong keresahan banyak ilmuwan, periset, dan inovator yang merasa kurang mendapat tempat di negara sendiri. Menurutnya, mereka adalah orang-orang sudah melewati studi doktoral dengan riset yang bagus, hingga ada yang pernah bekerja di Tesla—perusahaan otomotif milik Elon Musk, namun merasa bingung saat pulang kampung.

Budiman Sudjatmiko menambahkan bahwa proyek tersebut akan dibangun di atas tanah seluas 888 hektare di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan menghabiskan dana sebesar Rp18 triliun selama tiga tahun. Budiman Sudjatmiko mengklaim bahwa proyek tersebut tidak akan menggunakan dana dari APBN atau pajak. Kawasan yang akan menjadi Bukit Algoritma tersebut menurut laporan dari Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus tahun 2018 adalah milik PT. Bintang Raya Lokalestari yang mengusulkan tanah tersebut menjadi Kawasan Ekonomi Khusus dengan kegiatan utama meliputi pariwisata, fusi sains, dan teknologi.

Kawasan Khusus Sains dan Teknologi di Indonesia: Bukan Gagasan Baru

Bukit Algoritma memang didengung-dengungkan sebagai sebuah inovasi tetapi jika kita melihat sejarah pembangunan sains dan teknologi di Indonesia maka kita akan mengetahui kalau gagasan untuk membuat suatu kawasan khusus sains dan teknologi di Indonesia bukan merupakan hal baru. Adalah Sumitro Djojohadikusumo dan Bacharuddin Jusuf Habibie yang bisa disebut sebagai orang Indonesia pertama yang punya gagasan tentang pembangunan kawasan khusus sains dan teknologi. Gagasan tersebut dilontarkan oleh Sumitro dan diwujudkan oleh Habibie ketika mereka menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi pada masa Orde Baru.

Kawasan yang akhirnya menjadi kawasan riset terbesar di Indonesia tersebut dinamakan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek). Kawasan tersebut terletak di  Serpong, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Puspiptek didirikan berdasarkan Keppres nomor 43/1976 tanggal 1 Oktober 1976. Pada saat itu (juga sampai sekarang), Puspiptek ditujukan sebagai kawasan terpadu untuk menempatkan sejumlah pusat penelitian milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan).

Penempatan pusat-pusat tersebut dalam satu kawasan dimaksudkan agar dapat membentuk kemampuan yang kuat bagi pengamanan dan pelaksanaan kegiatan penelitian IPTEK yang berhubungan dengan Program Riset Nasional. Puspiptek merupakan aset nasional yang sangat besar. Luas area 460 Ha dengan 47 Pusat/Balai litbang dan pengujian dengan SDM berjumlah 2451 orang pada tahun 2013. Nilai investasinya sendiri adalah 500 juta USD (1976-sekarang).

Puspiptek diarahkan sebagai sebuah kawasan yang mengintegrasikan unsur-unsur inovasi yang terdiri atas lembaga litbang, pendidikan tinggi, serta sektor bisnis (industri), dalam kerangka sistem inovasi nasional (SINas) dan Sistem Inovasi Daerah (SIDa). Dalam kaitan dengan komersialisasi hasil litbang, salah satu aktivitas di Puspiptek ke depan adalah penumbuhan IKM baru berbasis teknologi serta menumbuhkan budaya technopreneurship melalui inkubasi teknologi dan bisnis.

Inkubasi bisnis tersebut bertujuan untuk melakukan komersialisasi hasil riset yang di Indonesia sehingga mampu menjadi produk unggulan di pasar global. Untuk itu di Kawasan Puspiptek dioperasikan Balai Inkubator Teknologi sebagai Inkubator Bisnis untuk melahirkan industri pemula dan technopreneurship dari teknologi baru (emerging technologies) yang telah terbukti lebih tahan krisis ekonomi sejak tahun 1997.

Puspiptek juga dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas. Misalnya ada sentral telepon dan persediaan air minum yang diproduksi oleh unit pemurnian air minum yang mengambil air dari sungai Cisadane. Untuk keperluan reaktor dan LTMP, tersedia mesin-mesin pendingin air. Air diproses dari sungai Cisadane dengan kapasitas 3,30 m3 per hari dan disimpan di reservoir buatan berkapasitas 18.000 m3. Limbah yang dihasilkan diolah terlebih dahulu dalam sistem pemrosesan limbah terpusat. Limbah cairan diproses hingga memenuhi syarat untuk dibuang ke sungai Cisadane. Limbah padat dikumpulkan dan diproses untuk kemudian ditimbun atau dibakar sesuai dengan keperluan. Energi Listrik disuplai oleh Perusahaan Listrik Negara melalui sentral listrik yang khusus dibangun dalam kawasan ini, dengan daya 2 x 60 MVA dan tegangan sebesar 20 KV.

Masih Perlukah Bukit Algoritma Ada?

Melihat sudah adanya Puspiptek yang sangat lengkap, siap, dan sudah terbukti bisa melakukan komersialisasi hasil riset dan inovasi membuat kita bertanya-tanya tentang masih perlukah Bukit Algoritma ada? Semangat menggebu-gebu untuk membangun Bukit Algoritma bisa jadi datang dari cara pandang yang berlebihan terhadap ekosistem start-up di Indonesia yang dianggap sangat berpotensi dan tanpa kekurangan sama sekali.

Memang benar bahwa ekosistem start-up di Indonesia tumbuh dengan cepat. Tetapi yang banyak luput dari perhatian adalah fakta bahwa kebanyakan perusahaan ini adalah perusahaan soft tech alias masih sebatas memanfaatkan teknologi yang konsep awalnya sudah dibangun di negara lain seperti Tiongkok dan Amerika Serikat. Kebanyakan dari perusahaan start-up Indonesia merupakan platform jasa daring yang menemukan supply dan demand pasar, yang disesuaikan dengan konteks budaya dan preferensi masyarakat Indonesia. Bukan berarti soft tech itu buruk, tapi kalau tujuannya benar-benar ingin membangun “Sillicon Valey-nya Indonesia” maka perlu membangun hard tech atau industri manufaktur terlebih dahulu yang sayangnya selama beberapa tahun terakhir justru mengalami deindustrialisasi.

Kalaupun pada akhirnya Bukit Algoritma memang ditunjukkan untuk industri start-up bertipe soft tech maka juga bisa dipertanyakan apakah perlu membangun kluster industri tersendiri? Pertanyaan tersebut didasarkan pada fakta bahwa mayoritas pekerja start-up bisa melakukan pekerjaannya dari berbagai tempat asalkan ada koneksi jaringan internet. Terjadinya pandemi Covid-19 juga mengakibatkan kebiasaan bekerja dari berbagai tempat dengan perantara koneksi jaringan internet menjadi semakin tumbuh subur. Jangan-jangan yang pertama-tama diperlukan oleh ekosistem industri start-up di Indonesia bukan kluster industri seperti Bukit Algoritma tetapi justru sesederhana koneksi internet cepat di mana saja.

Tiga tahun lagi Bukit Algoritma akan berdiri. Kita memang punya banyak pertanyaan mengenai proyek ini, tapi tentu tidak ada satu pun di antara kita yang berharap proyek ini gagal. Misalkan pada akhirnya Bukit Algoritma tidak mampu memberi peningkatan pada ekosistem start-up di Indonesia maka solusi yang paling tepat adalah mengubah fungsi Bukit Algoritma menjadi kawasan wisata sekaligus edukasi sains dan teknologi (Science and Technology Park) bagi generasi muda. Sehingga pada akhirnya semua sama-sama bahagia di Bukit Algoritma.

Foto: tirto.id

Leave a Reply