You are currently viewing Pancasila dalam Kehidupan Kemahasiswaan: Gotong Royong sebagai Sebuah Jawaban

Pancasila dalam Kehidupan Kemahasiswaan: Gotong Royong sebagai Sebuah Jawaban

Munculnya Pertanyaan Tahunan

Setiap tahun jutaan mahasiswa di Indonesia belajar tentang Pancasila. Setiap tahun pula selalu muncul pertanyaan: Bagaimana cara menerapkan Pancasila dalam dalam kehidupan kemahasiswaan? Untuk menjawab pertanyaan tahunan di atas, kita perlu menilik jauh ke belakang ketika dasar negara Indonesia pertama kali dirumuskan dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Pada sidang tanggal 1 Juni 1945 Sukarno mendapat giliran terakhir untuk menyampaikan gagasannya. 

Sukarno mengemukakan dalam pidatonya secara jelas memberikan jawaban atas pertanyaan apa dasar Indonesia merdeka. Pada awal pidatonya, Sukarno mengatakan bahwa pidato sebelum tanggal 1 Juni belum ada anggota secara sistematis dan argumentatif menjawab pertanyaan yang diajukan Ketua BPUPKI: Apa dasar Indonesia merdeka? Sukarno selain menjawab dan mengkritisi pidato yang telah disampaikan peserta sidang juga mengajukan konsep dan gagasan dasar Indonesia merdeka yakni lima sila atau Pancasila. Tanggal disampaikannya pidato ini kemudian kita peringati setiap tahunnya sebagai hari lahirnya Pancasila.

Sukarno dalam pidatonya tersebut mengatakan:

“Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong! 

“Gotong Royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo, satu gawe.

Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama ! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!”

Sebuah Jawaban

Gotong royong adalah suatu konsep dan praktik yang sangat penting bagi Sukarno. Sehingga ketika merumuskan Pancasila beliau berkeyakinan bahwa kelima sila yang ada dalam Pancasila jika diperas menjadi satu maka akan menjadi eka sila yaitu “Gotong Royong”. Menurut Tadjuddin Noor Effendi (2013) Gotong royong merupakan budaya yang telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia sebagai warisan budaya yang telah eksis secara turun-temurun. Gotong royong adalah bentuk kerja-sama kelompok masyarakat untuk mencapai suatu hasil positif dari tujuan yang ingin dicapai secara mufakat dan musyawarah bersama. 

Gotong-royong muncul atas dorongan keinsyafan, kesadaran dan semangat untuk mengerjakan serta menanggung akibat dari suatu karya, terutama yang benar-benar, secara bersama-sama, serentak dan beramai-ramai, tanpa memikirkan dan mengutamakan keuntungan bagi dirinya sendiri, melainkan selalu untuk kebahagian bersama, seperti terkandung dalam istilah “Gotong”. Selanjutnya dalam membagi hasil karyanya, masing-masing anggota mendapat dan menerima bagian-bagiannya sendiri-sendiri sesuai dengan tempat dan sifat sumbangan karyanya masingmasing, seperti tersimpul dalam istilah “Royong” (Effendi, 2013).

“Gotong Royong” menjadi jawaban dari pertanyaan tahunan yang dibahas di awal karena dalam “Gotong Royong” terkandung nilai dari semua sila di dalam Pancasila. Dengan kata lain, ketika anda mempraktikan gotong royong maka anda dapat mempraktikan kelima sila dalam Pancasila secara bersamaan. Ketika bergotong-royong anda akan bekerjasama dan saling menghargai antar pemeluk agama/kepercayaan sebagai wujud nilai sila pertama. Di dalam gotong royong anda akan saling memanusiakan manusia sebagai wujud nilai sila kedua. Di dalam gotong royong anda akan berusaha mempersatukan antar komponen bangsa sebagai wujud nilai sila ketiga. Di dalam gotong royong anda akan belajar bermusyawarah sebagai wujud nilai sila keempat. Dan di dalam gotong royong anda akan saling bekerja sama mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai wujud nilai sila kelima.

Gotong Royong dalam Kehidupan Kemahasiswaan

Secara khusus dalam kaitannya dengan kehidupan kemahasiswaan, gotong royong dapat dilakukan salah satunya dengan kolaborasi antar bidang keilmuan. Penulis mengambil contoh bidang ilmu yang saat ini penulis pelajari yaitu Ilmu Politik. Penulis menyadari betul bahwa masalah-masalah seperti hoax/fake news/berita bohong, ekstrimisme di dunia maya yang berujung kekerasan, kerusakan lingkungan karena perkembangan teknologi, perlunya energi terbarukan, ketimpangan ekonomi, perubahan iklim, transportasi publik, penyalahgunaan narkoba, kekerasan pada anak dan kekerasan seksual, dan banyak masalah kontemporer lainnya jelas tidak bisa diselesaikan oleh satu bidang ilmu saja yaitu Ilmu Politik.

Di sisi lain penulis juga ingin menyadarkan kepada teman-teman dari bidang ilmu lain bahwa masalah-masalah yang ingin mereka selesaikan pun tidak bisa diselesaikan hanya dengan bidang ilmu mereka saja. Bagaimana bisa teman-teman dari bidang ilmu Medika memperjuangkan kebijakan yang berorientasi pada peningkatan kesehatan publik kalau tidak ada diantara mereka yang mau memahami politik? Bagaimana bisa teman-teman dari Psikologi memperjuangkan kebijakan yang melindungi kesehatan jiwa dan mental penduduk negeri ini kalau tidak ada diantara mereka yang mau memahami politik? Bagaimana bisa teman-teman dari Ekonomi memperjuangkan kebijakan ekonomi yang berorientasi pemerataan dan kesejahteraan kalau tidak ada diantara mereka yang mau memahami politik? Bagaimana bisa teman-teman dari Sastra memperjuangkan kebijakan yang menumbuhkan kesadaran literasi bangsa ini kalau tidak ada diantara mereka yang mau memahami politik? 

Bagaimana bisa teman-teman dari Sejarah, Arkeologi, dan Antropologi memperjuangkan kebijakan pembangunan yang tidak hanya berorientasi fisik belaka namun juga memperhatikan aspek kebudayaan kalau tidak ada diantara mereka yang mau memahami politik? Bagaimana bisa teman-teman dari Pertanian, Perikanan, Peternakan, dan Kedokteran Hewan memperjuangkan kedaulatan pangan dan kesehatan hewan kalau tidak ada diantara mereka yang mau memahami politik? Bagaimana bisa teman-teman dari MIPA dan Biologi memperjuangkan kebijakan dana untuk membiayai riset-riset dasar dan terapan ilmu alam yang bisa membawa manfaat bagi masyarakat kalau tidak ada diantara mereka yang mau memahami politik? 

Bagaimana bisa teman-teman dari Teknik memperjuangkan kebijakan kedaulatan teknologi kalau diantara mereka tidak ada yang mau memahami politik? Bagaimana bisa teman-teman dari Geografi dan Kehutanan memperjuangkan kebijakan konservasi alam kalau tidak ada diantara mereka yang mau memahami politik? Bagaimana bisa teman-teman dari Filsafat memperjuangkan kurikulum pendidikan yang menumbuhkan pemikiran kritis kalau tidak ada diantara mereka yang mau memahami politik? Bagaimana bisa teman-teman dari Hukum memperjuangkan pemberantasan korupsi kalau tidak ada diantara mereka yang mau memahami politik?

Tentu saja untuk mencapai kondisi ideal terciptanya gotong royong dalam kehidupan kemahasiswaan diperlukan adanya usaha menghapus stigma antar mahasiswa. Banyak mahasiswa dari klaster Sosial-Humaniora menganggap bahwa banyak mahasiswa dari klaster Sains-Teknologi, Agro, dan Medika punya ekspresi keagamaan/gaya hidup yang kaku, hanya punya logika benar-salah yang mutlak-mutlakan, pikirannya tidak dalam, apatis, dan berpotensi menjadi ekstrimis. Sebaliknya, banyak mahasiswa dari klaster Sains-Teknologi, Agro, dan Medika menganggap banyak mahasiswa dari klaster Sosial-Humaniora sebagai orang yang terlalu bebas serta santai dalam hal gaya hidup dan pemikiran, terlalu banyak bicara tanpa ada hasil konkritnya, kurang/tidak pandai karena kemampuan matematikanya rendah, dan terlalu banyak protes.

Selain menjadi penghalang terwujudnya gotong royong hal tersebut juga kontraproduktif dengan tujuan terbentuknya institusi pendidikan yang menaungi keduanya yaitu “Universitas”. Padahal sesuai dengan namanya, Universitas dibentuk untuk menghasilkan manusia yang berpengetahuan universal (menyeluruh) yang artinya mahasiswa Sains dan Teknologi harus paham dengan kondisi sosial dan mahasiswa Sosial-Humaniora harus paham perkembangan sains-teknologi. Sayangnya yang nyata terjadi sekarang hanya sekadar “Multi-Fakultas” dimana banyak fakultas dikelola dalam satu payung administrasi saja tetapi esensi pembelajaran menyeluruh dari “Universitas” tidak ada, baik karena hambatan kurikulum yang menyulitkan gotong royong antar bidang keilmuan maupun stigma-stigma yang tidak perlu seperti yang sudah disebutkan.

Penutup

“Gotong Royong” sudah berhasil menjawab pertanyaan di awal tentang bagaimana cara menerapkan Pancasila dalam kehidupan kemahasiswaan. Sekarang pertanyaan yang perlu dijawab adalah: Bagaimana bisa menerapkan Pancasila di kampus kalau hanya karena berbeda bidang ilmu atau minat saja masih menumbuhkan stigma? Dan bagaimana bisa bergotong-royong dalam kehidupan kemahasiswaan kalau antar mahasiswa masih gontok-gontokan? 

Photo by Mufid Majnun on Unsplash

Oleh: Dendy Raditya Atmosuwito dan Obed Kresna Widyapratistha

Leave a Reply