Banyak orang tua yang menganggap bahwa jika anak sudah dimasukan ke sekolah maka pendidikan anak tersebut sudah menjadi tanggung jawab pihak sekolah. Sebuah anggapan salah kaprah yang sering kali menimbulkan masalah. Para orang tua tersebut sepertinya belum tahu bahwa menurut Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara, setiap orang (termasuk orang tua) adalah guru dan setiap tempat (termasuk rumah) adalah sekolah. Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau Romo Mangun dan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun juga sering mengkritik pandangan yang menyempitkan pendidikan sekadar sebagai kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah formal.
Kaitannya dengan peran orang tua, konsep parenting menjadi penting. Secara umum parenting didefinisikan sebagai serangkaian interaksi berkelanjutan antara orang tua dan anak, yaitu proses yang menyebabkan perubahan kedua belah pihak (Mulyana, dkk, 2018). Interaksi tersebut melibatkan proses melahirkan, melindungi, mengasuh, dan membimbing anak-anak. Parenting sebagai suatu proses yang kompleks turut dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari sisi orang tua dan anak (Martin & Colbert dalam Meliala, 2012). Tujuan dari parenting sendiri adalah mempromosikan ciri-ciri pada anak-anak yang akan menyebabkan mereka menjadi orang dewasa yang berfungsi dengan baik dan memberikan kontribusi di masyarakat (Whiting dan Edwards dalam Bornstein, 2002).
Melihat tujuan dari parenting tersebut maka dapat disimpulkan bahwa parenting adalah urusan publik. Hal tersebut juga didukung dengan adanya fakta bahwa saat ini marak terjadi kasus kenakalan remaja yang menjadi sorotan publik seperti tawuran antar pelajar, membolos dari jam sekolah, penggunaan narkotika, seks bebas, bullying, haters, pornografi, pencurian, penganiayaan, pembunuhan, bahkan sampai terlibat dalam kelompok-kelompok ekstrim akibat paparan informasi di internet. Lebih memprihatinkan lagi ketika mengetahui bahwa mereka yang terlibat tidak hanya berasal dari peserta didik pada tingkat SMP dan SMA/SMK tetapi juga peserta didik pada tingkat SD.
Maraknya kejadian-kejadian tersebut membuat kita layak bertanya tentang apa saja faktor yang menyebabkan itu semua. Tentu saja ada banyak faktor, tapi salah satu faktor yang berpengaruh adalah pola asuh dari orang tua. Pola asuh orang tua yang kurang tepat, memberikan resiko perilaku menyimpang anak di masa depan. Faktor orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, hobi, kondisi keluarga yang broken home, kebebasan yang tidak bertanggung jawab, ketidakdisiplinan, kemanjaan dan banyak hal lain yang “memaksa” orang tua untuk menyerahkan begitu saja tanggung jawab pola pengasuhan anak kepada pihak sekolah tanpa turut memperhatikan perkembangan anak masing-masing (Murdiani, 2019).
Para orang tua juga sering tidak memenuhi hak anak, misalnya saja ketika ada anak-anak bermain di jalan. Anak-anak tersebut pasti hanya akan dimarahi oleh para orang tua tapi sedikit sekali orang tua yang mau berpikir bagaimana menyediakan ruang bermain yang aman dan nyaman sehingga anak-anak tidak perlu bermain di jalan. Sayangnya, marah-marah selalu lebih mudah.
Sebenarnya jika melihat posisi sebagai orang tua, baik itu bekerja maupun tidak bekerja, tugasnya tetaplah sama yaitu merawat dan mendidik anak (Qadafi, 2019). Memang permasalahan orang tua yang bekerja itu cenderung lebih banyak. Apalagi jika kondisi keluarga termasuk ke dalam kategori terpinggirkan baik dari pekerjaan, finansial, dan kapasitas mereka dalam mengasuh anak. Ketika berjumpa dengan anak usai para orang tua bekerja maka kualitas berkasih sayang akan kurang maksimal akibat dari lelah tenaga, emosi, dan pikiran pekerjaan. Belum lagi keterbatasan mereka akan update informasi terkait upaya mengevaluasi gaya pengasuhan yang mereka terapkan (Megawati, 2020).
Kita semua sepakat bahwa anak adalah generasi yang akan melanjutkan kehidupan sebagai umat manusia, maupun sebagai bangsa. Layak bagi mereka jika kini diarahkan kepada hal yang positif agar kelak mereka mampu mempertahankan peradaban yang baik, bahkan menciptakannya. Untuk itu diperlukan perbaikan-perbaikan yang sifatnya berkelanjutan dan harus dilakukan bersama-sama bukan hanya per keluarga saja. Perbaikan-perbaikan tersebut antara lain:
- Menjamin hak-hak anak seperti mendapat kasih sayang, memperoleh gizi yang baik, dan adanya ruang bermain yang aman dan nyaman terpenuhi sepenuhnya.
- Memberikan pendidikan parenting kepada masyarakat umum karena hal ini adalah tanggung jawab bersama.
- Mulai menerapkan pandangan bahwa proses pendidikan terjadi setiap hari dan di setiap tempat bukan hanya ketika kegiatan belajar mengajar di sekolah saja.
- Meningkatkan kesejahteraan material dan psikologis rakyat di Indonesia secara umum agar mereka punya beban yang lebih ringan alias tidak mudah tertekan/stress sehingga bisa lebih tenang, ramah, dan bijaksana dalam mendidik anak-anak mereka.
Ingat, parenting adalah urusan publik dan itu penting!
Referensi
Bornstein, Marc. 2002. Handbook of ParentingSecond Edition Volume 4: Social Conditions and Applied Parenting.Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Megawati, Firda Mustika. 2020. Edukasi Parenting terhadap Kaum Marginal Kota (Studi di Paud Gajah Wong Ledok Timoho Yogyakarta). SCAFFOLDING: Jurnal Pendidikan Islam dan Multikulturalisme Vol. 2, No. 2, September 2020. pp. 143-153.
Meliala. Dianisa Gyanina. 2012. Parenting Self-Efficacy pada Ibu dengan Anak Usia Kanak-kanak Madya Ditinjau dari Attachment yang dimiliki di Masa Lalu. Depok: Universitas Indonesia.
Mulyana, Nandang, dkk. 2018. Pelatihan Teknik Parenting oleh Rumah Parenting Bandung. Prosiding Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat, Vol. 5, No. 3. pp. 220-227.
Murdiani, Ni Ketut. 2019. Implikasi Program Parenting terhadap Pendidikan Karakter Anak. YOGA dan KESEHATAN Volume 2, No.1, Juni 2019. pp. 23-33.
Qadafi, M. 2019. Menumbuhkan Kesadaran Orang Tua dalam Menanamkan Nilai Moral Anak Usia Dini melalui Parenting Education. PRATAMA WIDYA : JURNAL PENDIDIKAN ANAK USIA DINI, 4(1), 57–56. https://doi.org/10.25078/pw.v4i1.1069
Photo by Kelly Sikkema on Unsplash