Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sering disebut sebagai salah satu komponen utama dalam ekonomi di Indonesia. Sayangnya, penyebutan tersebut sering kali berujung pada glorifikasi kosong tanpa ada usaha berdampak untuk meningkatkan UMKM-UMKM tersebut menjadi kekuatan industrial. Secara faktual UMKM memang berhasil menyerap banyak tenaga kerja. Pada tahun 2003 saja, UMKM menyerap hampir 99% (lebih dari 79 juta) tenaga kerja dibandingkan tenaga kerja yang diserap oleh industri besar dan dari sisi jumlah kelembagaan bisnis di Indonesia, UMKM sangat mendominasi yaitu 99%. Disamping itu penyebaran UMKM sampai ke pelosok pelosok desa di Indonesia, beda dengan perusahaan besar yang hanya ada di kota besar atau kawasan kawasan industri saja. Namun kontribusi terhadap PDB, hanya sekitar 56.7% dan kontribusinya pada penerimaan devisa negara melalui eksport hanya sebesar 20% dari total nilai ekspor.
Berdasarkan data pertumbuhan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 menunjukkan bahwa sebanyak57.895.721 unit adalah UMKM dengan persentase 99,90%. Jumlah usaha mikro sebanyak 57.189.393usaha (98,87%) dan usaha kecil sebanyak 654.222 usaha (1,13%). Berdasarkan data profil Usaha Industri Mikro Kecil (IMK) BPS tahun 2014, jumlah perusahaan/usaha IMK sebanyak 3.505.064 usaha dengan tenaga kerja sebanyak 8.362.764 orang (BPS, 2014a). Tenaga kerja ini terdiri atas 3.052.498 orang (36,50%) adalah pekerja dibayar dan sebanyak 5.310.248 orang (63.50%) pekerja tidak dibayar (Lubis dan Lubis, 2020). Secara umum permasalahan yang dihadapi UMKM antara lain adalah: (i) akses keuangan dan pembiayaan, (ii) akses terhadap bahan baku, (iii) akses tenaga kerja dan sumber daya manusia (SDM), dan (iv) akses terhadap pasar dan permintaan (Damuri, dkk, 2020).
Besarnya persentase pekerja tidak dibayar/pekerja keluarga mengindikasikan bahwa sebagian besar perusahaan/usaha IMK merupakan perusahaan/usahakeluarga atau bersifat kekeluargaan dengan tata kelola yang belum baik. Sumber modal usaha IMK pada umumnya berasal dari modal milik sendiri, yaitu sebesar 78,98% (BPS, 2014a), sedangkan sisanya 21,02% adalah modal dengan sebagian dari pihak lain yang juga termasuk modal dari keluarga pemilik usaha sertamodal seluruhnya bersumber dari pihak lain, baikperorangan ataupun pinjaman dari lembaga keuangan bank dan non-bank. Modal penyertaan dari keluarga (pinjaman dari keluarga) masuk dalam kategori sumber modal dari pihak lain.
Permasalahan UMKM sekarang bertambah dengan adanya pandemic Covid-19 sekarang ini (Damuri, dkk, 2020). Tantangan utama yang dihadapi UMKM ini adalah turunnya permintaan. Turunnya aktivitas dan pertumbuhan ekonomi baik nasional maupun global telah berdampak pada turunnya permintaan masyarakat termasuk untuk produk dan jasa yang dihasilkan oleh UMKM. Di semester pertama tahun 2020 terlihat penurunan pertumbuhan yang cukup tajam pada sektor-sektor di mana banyak UMKM beraktivitas seperti sektor industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran dan sektor penyediaan akomodasi dan jasa makanan.
Damuri, dkk (2020) dari Center for Strategic and International Studies melanjutkan uraian mereka tentang UMKM Indonesia pada masa pandemi Covid-19 dengan menyatakan bahwa jika di masa normal permasalahan terkait akses keuangan dan pembiayaan sudah dirasa berat bagi UMKM maka tantangan ini semakin terasa berat dimasa COVID-19. Turunnya permintaan dan produksi yang membuat arus kas menjadi tidak lancar pada gilirannya semakin menyulitkan UMKM untuk menanggung beban finansial mereka, baik yang berasal dari beban usaha maupun beban pembiayaan dari perbankan dan lembaga keuangan. Permasalahan selanjutnya menurut Damuri, dkk (2020) adalah permasalahan terkait rantai pasok yang dapat dibagi dalam 3 kategori: (i) permasalahan rantai pasok global, yang mengalami disrupsi akibat dari usaha pencegahan penyebaran COVID-19; (ii) manajemen rantai pasok UMKM yang cenderung sangat tergantung dari satu pemasok atau dari ketersediaan di pasar. (iii) pembiayaan pasokan bahan baku.
Di akhir mereka memberikan beberapa rekomendasi untuk masalah-masalah tersebut. Berbagai program dukungan tersebut mereka kategorikan dalam tujuh kelompok: (i) dukungan untuk mengurangi beban usaha dan keuangan, (ii) dukungan untuk memperkuat modal kerja dan memperbaiki arus kas, (iii) dukungan untuk membuka jalur bisnis baru atau berpindah usaha, (iv) bantuan persiapan penerapan protokol “new-normal”, (v) dukungan untuk merekrut kembali pekerja yang sebelumnya dirumahkan, (vi) dukungan untuk memasuki era digital yang lebih masif, serta (vii) berbagai dukungan dalam meningkatkan permintaan atas produk UMKM.
Pada akhirnya UMKM memang butuh naik kelas bukan glorifikasi tidak jelas.
Referensi
Damuri, et al. 2020. “Langkah Pemberdayaan UMKM dalam Menghadapi COVID-19”. CSIS Policy Paper. Jakarta: CSIS Indonesia.
Lubis, Subhan Fikri dan Andi Fahmi Lubis. 2020. Pengaruh Pekerja Keluarga dan Peran Inovasi terhadap Produktivitas Usaha di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Vol. 20 No. 1 Januari 2020: 111–132.
foto: rasyidiconsultant.com