Perkembangan teknologi yang sangat pesat selama tiga dekade terakhir, yang juga sangat berpengaruh dalam perkembangan masyarakat pengetahuan (knowledge society), telah mengubah cara orang belajar dan berbagi informasi secara global. Saat ini informasi dan pengetahuan dapat diakses dengan mudah hanya dengan mengklik tombol. Di dunia yang berubah sangat cepat ini, untuk mempertahankan dan memperluas tingkat kemajuan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa setiap negara di dunia ini membutuhkan tenaga kerja yang memiliki kapasitas untuk berpikir kreatif (Crossling, dkk, 2015). Jika ketersediaan tenaga kerja yang mampu berpikir kreatif tersebut terpenuhi maka negara-negara di dunia bisa memanfaatkan ketersediaan pengetahuan dan kemudian menemukan solusi inovatif untuk tantangan yang dihadapi oleh berbagai segmen masyarakat.
Beberapa kajian menunjukan bahwa tingkat kemampuan berpikir kreatif dan tenaga kerja terampil sering dikaitkan dengan perbedaan pendapatan di berbagai negara (Lucas, 1988; Hagopian dan Lee, 2012). Secara khusus, kurangnya bakat kreatif karena “pengurasan otak” atau “brain drain”yang masif dan sistem pendidikan yang lemah di banyak negara berkembang apalagi terbelakang telah menghambat kapasitas inovatif dan penciptaan kesejahteraan mereka. Di sisi lain, negara-negara yang dapat meningkatkan pasokan tenaga kerja kreatif (kebanyakan negara yang diangap “maju”) mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan daya saingnya (Romer, 1990).
Pemerintah di banyak negara berkembang dan terbelakang, yang sebenarnya mempunyai sumber daya alam yang sangat melimpah, sudah menyadari tentang pentingnya sistem pendidikan yang baik untuk memastikan penggunaan sumber daya alam mereka secara efektif dan berkelanjutan. Contohnya pemerintah Malaysia yang menginvestasikan sumber daya yang signifikan untuk meningkatkan sistem pendidikan dan melihatnya sebagai katalisator penting untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi semua segmen populasi.
Kebijakan pendidikan di Malaysia telah dikembangkan untuk memastikan bahwa pelatihan dan keterampilan yang diberikan memenuhi kebutuhan ekonomi Malaysia saat transisi dari negara berbasis produksi menjadi negara berbasis inovasi yang intensif (Nair, 2011). Sebagai bagian dari transformasi ini, sejumlah rencana strategis telah diperkenalkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan bakat kreatif siswa-siswi di Malaysia. Ini termasuk Rencana Aksi Pendidikan Tinggi Nasional 2007 yang bertujuan untuk mengembangkan Pendidikan pasca-menengah berkualitas tinggi di Malaysia sehingga dapat berkontribusi secara kuat untuk mewujudkan masyarakat yang inovatif dan secara ekonomi berpenghasilan tinggi (Ministry of Higher Education Malaysia, 2007).
Di sisi lain, di banyak negara maju, pendidikan terus mendapat prioritas tinggi dalam rencana pembangunan nasional, karena dipandang sebagai pendorong penting bagi daya saing nasional suatu negara. Tinjauan pendidikan tinggi di Australia misalnya (Bradley, dkk, 2008). Dokumen tersebut menekankan pentingnya pendidikan tinggi yang berkualitas sebagai kontribusi terhadap angkatan kerja yang akan memungkinkan Australia bersaing secara efektif dalam tatanan ekonomi global yang baru.
Seperti urarian di atas, sistem pendidikan di suatu negara memang sangat menentukan mampu atau tidaknya negara tersebut menghasilkan siswa-siswi dan lulusan yang dapat berpikir kreatif. Tetapi sistem pendidikan tersebut harus didukung oleh jaringan sumber daya masyarakat, yang dapat disebut sebagai ekosistem pembelajaran kreatif atau Creative Learning Ecosystem (CLE). Jaringan sumber daya tersebut termasuk infrastruktur-infrastuktur fisik serta sumber daya elektronik untuk mempermudah transfer pengetahuan yang cepat dan hemat biaya antara semua pemangku kepentingan. Kemudian program pengembangan “modal intelektual” dan pedagogi pengajaran yang inovatif untuk mendorong pemikiran kreatif. Lalu harus ada “interaksi” antara pihak-pihak yang terlibat dalam mengembangkan ide-ide kreatif. Berikutnya perlu ada “sistem integritas” untuk menguraikan dan terus mendukung kepatuhan yang mengacu kepada praktik global terbaik dan standar jaminan kualitas. Selanjutnya harus ada “insentif” yang tersedia untuk mendorong perkembangan pemikiran kreatif. Terakhir perlu terwujud “institusi” sebagai sistem yang mapan dari aturan dan norma sosial yang menyusun interaksi sosial yang memungkinkan untuk mengembangankan pikiran-pikiran kreatif (Hodgson, 2006).
Semua jaringan sumber daya tersebut harus beroperasi bersama dan secara holistik. Hal tersebut diperlukan untuk menghasilkan CLE yang membentuk kualitas sistem pendidikan atau Quality of Education System (QES) dan pada gilirannya juga akan menumbuhkan kapasitas inovatif atau Innovative capacity (IC) pada siswa. Contoh dari hubungan ini adalah situasi dimana angka pendaftaran sekolah yang rendah dan angka putus sekolah yang tinggi pada tingkat sekolah dasar di banyak negara berkembang dapat dikaitkan tidak hanya dengan biaya pendidikan, tetapi juga dengan kurangnya lembaga pendidikan serta kurangnya infrastruktur dan juga infostruktur yang menyediakan akses bagi komunitas yang terpinggirkan ke sumber daya pendidikan (United Nations, 2011). Terjadinya hal tersebut menunjukan bahwa banyak siswa-siswi tidak diberi kesempatan untuk mengakses interaksi, perkembangan intelektual, dan alat-alat yang memungkinkan pembelajaran kreatif (Crossling, dkk, 2015).
Secara konseptual, kreativitas sebagai suatu hal yang mengarah pada pengembangan pengetahuan dan inovasi baru, merupakan bagian integral dari masyarakat pengetahuan. Kreativitas adalah hasil dari “interaksi kompleks antara faktor teknis, sosial, ekonomi, dan manusia” (Tuomi, 2005). Masyarakat pengetahuan sendiri memungkinkan terciptanya modal ekonomi dan sosial. Jika pada tahapan sebelumnya yang disebut masyarakat informasi masyarakat hanya berfokus pada pengumpulan dan penyusunan informasi (European Foundation for the Improvement of Living and Working Conditions, 2004). Maka pada tahapan masyarakat pengetahuan, masyarakat menggunakan pemikiran kreatif untuk mengubah dan membuat informasi tersebut berguna (Resnick, 2007; Ferrari, Cachia, dan Punie, 2009). Tahapan masyarakat pengetahuan tersebut tentu saja membutuhkan perkembangan teknologi sehingga orang dapat dengan mudah mengakses informasi dan pengetahuan (Nair, 2011) dan kemudian menyusun solusi inovatif untuk masalah yang muncul. Pada gilirannya, masyarakat pengetahuan akan mendorong pembangunan ekonomi nasional dan peningkatan kesejahteraan sosial (David dan Foray, 2002).
Secara umum, literatur-literatur yang menjelaskan tentang kreativitas sepakat bahwa kreativitas dapat dikembangkan melalui pendidikan dan bukan hanya domain individu berbakat (Lin 2011; Dyer, Gregersen, dan Christensen, 2009). Berdasarkan karakteristik kreativitas yang akan diuraikan di akhir paragraf ini, sistem pendidikan (terutama pendidikan tinggi) yang tepat untuk mengembangkan kapasitas kreatif lebih menekankan pada pemecahan masalah dan proses berpikir tingkat tinggi daripada belajar menghafal dan mendaur ulang informasi. Menjadi kreatif berarti berpikir secara berbeda atau menggabungkan ide-ide yang ada, gambar, atau keahlian ke dalam karya yang orisinil (Association of American Colleges and Universities, 2011). Kreativitas memerlukan penggunaan pemikiran konvergen dan divergen (Belliugi, 2009) dan kemampuan untuk melihat kemungkinan yang tidak diperhatikan oleh orang lain (Craft, 2005 seperti dikutip dalam Ferrari, Cachia, dan Punie, 2009). Kreativitas terjalin erat dengan pemikiran kritis, kemampuan membuat perbandingan, dan kemampuan membuat penilaian. Inovasi, yang sudah diuraikan di sub-bab sebelumnya, juga tumbuh dari kreativitas (European Foundation for the Improvement of Living and Working Conditions, 2004).
Studi dari Crossling, dkk (2015) menunjukan bahwa sistem pendidikan yang dapat menumbuhkan pemikiran kreatif dan ekonomi pengetahuan (knowledge economy) perlu memastikan bahwa masyarakat memiliki infrastruktur dan infostruktur yang diperlukan untuk mengakses pendidikan berkualitas tinggi. Secara lebih lanjut, sistem pendidikan harus mampu meningkatkan kapasitas intelektual melalui penekanan pada pembelajaran aktif seperti yang terlihat dalam penelitian, jejaring internasional, pemecahan masalah, dan transfer pengetahuan dengan pusat pendidikan terkemuka lainnya. Juga diperlukan kemitraan yang cerdas dengan pemangku kepentingan utama di dalam negeri dan di seluruh dunia untuk memperkaya pembelajaran. Analisis empiris dan studi kasus dari negara-negara yang sudah mampu mengembangan ekosistem pembelajaran kreatif menunjukkan bahwa integritas yang kuat dan sistem pemerintahan penting untuk memastikan kualitas serta standar sistem pendidikan.
Referensi
Association of American Colleges and Universities. 2011. Creative Thinking Value Rubric. http://fod.msu.edu/oir/TeachingMethods/creativity.asp (diakses pada 28 November 2020)
Belliugi, D. 2009. Exploring the discourses around ‘creativity’ and ‘critical thinking’ in a South African creative arts curriculum. Studies in Higher Education 34, no. 6: 699–717.
Bradley, D., P. Noonan, H. Nugent, and B. Scales. 2008. Review of Australian higher education report, Canberra, Australian Capital Territory: Department of Education, Employment and Workplace Relations (DEEWR).
David, P.A., and D. Foray. 2002. An introduction to the economy of the knowledge society. International Social Science Journal 54, no. 171: 9–23.
Dyer, J., H. Gregersen, and C.M. Christensen. 2009. The innovator’s DNA. Harvard Business Review 61, December: 60–67.
European Foundation for the Improvement of Living and Working Conditions. 2004. Paper presented at the Irish Presidency Conference, Foresight for Innovations –Thinking and Debating the Future: Shaping and Aligning Policies, June 14–15, in Dublin.
Ferrari, A., R. Cachia, and Y. Punie. 2009. Innovation and creativity in education and training in the EU member states: Fostering creative learning and supporting innovative teaching. European Commission, Joint Research Centre, Institute for Prospective Technological Studies. Luxembourg: Office for Official Publications of the European Communities.
Glenda Crosling, Mahendhiran Nair & Santha Vaithilingam (2014): A creative learning ecosystem, quality of education and innovative capacity: a perspective from higher education, Studies in Higher Education, DOI: 10.1080/03075079.2014.881342
Hagopian, K., and L. Ohanian. 2012. The mismeasure of inequality. Policy Review, no. 174: August 1.
Hodgson, G. 2006. What are institutions? Journal of Economic Issues 40, no. 1: 1–25.
Lin, Y. 2011. Fostering creativity through education. A conceptual framework of creative pedagogy. Creative Education 2, no. 3: 149–56.
Lucas, R.B. 1988. On the mechanics of economic development. Journal of Monetary Economics 22 (June): 3–42.
Ministry of Higher Education, Malaysia. 2007. National higher education action plan 2007–2010: Triggering Higher Education Transformation. Putrajaya and Selangor: Ministry of Higher Education Malaysia. August 27.
Nair, M. 2011. Inclusive innovation and sustainable development: Leapfrogging to a high-income economy. In ICT Strategic Review 2011/12: Transcending into High Value, ed. R. Ramasamy, 226–56. Putrajaya and Selangor: Ministry of Science, Technology, and Innovation (MOSTI) and Persatuan Industri Komputer dan Multimedia (PIKOM), The National ICT Association of Malaysia.
Resnick, M. 2007. Sowing the seeds for a more creative society. Learning and Leading with Technology 35, no. 4: 18–22.
Romer, P. 1990. Endogenous technological change. Journal of Political Economy 98, no. 5: 71–102.
Tuomi, I. 2005. The future of learning in the knowledge society: Disruptive changes for Europe by 2020. In The Future of ICT and Learning in the Knowledge Society, ed. Y. Punie and M. Cabrera, 47–85. Luxembourg: European Commission. United Nations. 2011. The Millennium Development Goals Report 2011. New York: United Nations.
Photo by Mario Gogh on Unsplash