You are currently viewing Fast Fashion: Banyak Masalah, Nihil Faedah

Fast Fashion: Banyak Masalah, Nihil Faedah

Tren fashion berubah-ubah sangat cepat. Media sosial seperti Instagram menjadi salah satu cara menyebarkan tren mode di dunia. Mudahnya masyakat melihat gaya berpakaian yang sedang dipakai oleh banyak orang, menyebabkan masyarakat merasa wajib mengikuti tren mode agar dianggap sebagai manusia modern dan rela mengeluarkan uang sehingga dianggap fashionable.

Pembelian produk fashion yang mengikuti tren menjadi ajang eksistensi diri, baik untuk mengekspresikan diri atau untuk menunjukan status sosial dalam masyarakat. Shinta (2018) sebagaimana dikutip oleh Soelityowati dan Purnomo (2020) menyatakan bahwa tren mode berubah dengan cepat dan menyebabkan masyarakat yang berlomba-lomba mencari barang mode terbaru.

Perubahan tren yang terjadi dengan sangat cepat menyebabkan munculnya konsep ready to wear dalam industri fast fashion. Ready to wear mengimplementasi bentuk tren fashion nasional dan internasional dengan harga yang lebih murah dan mudah didapatkan serta diproduksi dalam jumlah yang banyak. Hal ini menyebabkan banyaknya produk mode yang harus diproduksi serta dijual dengan cepat kepada masyarakat yang terobsesi dengan tren terbaru.

Industri fast fashion dan konsep ready to wear memang berhasil memenuhi permintaan konsumen yang ingin mengikuti tren tapi bukan berarti industri dan konsep tersebut bebas dari permasalahan. Banyak dari hasil produksi industri fast fashion yang akhirnya dibuang dan berakhir jadi limbah tak terurai yang dapat menjadi racun bagi lingkungan. Setiap kali tren mode berganti maka setiap toko dan konsumen yang akan mengganti koleksi mode mereka sehingga makin banyak pakaian yang menjadi limbah. Industri fast fashion  menjadi salah satu sektor yang paling besar mengakibatkan kerusakan lingkungan.

Mengutip Bick, dkk (2018), Nidia dan Suhartini (2020) menyatakan bahwa banyak bahaya lingkungan akibat produksi fast fashion. Contohnya penanaman kapas membutuhkan pasokan air yang besar dan juga sejumlah besar pestisida yang mencemari lingkungan. Sedangkan serat sintetis berasal dari minyak bumi yang tidak bisa diperbarui. Pewarnaan tekstil menghasilkan limbah yang sangat berbahaya dan mencemari air dan tanah. Dalam proses produksi industri garmen juga terjadi banyak kasus tentang standar pekerjaan dan keselamatan. Seperti yang pernah terjadi di Bangladesh, runtuhnya pabrik garmen yang menelan banyak korban jiwa.

Selanjutnya menurut Soelityowati dan Purnomo (2020), fast fashion dapat menimbulkan pencemaran air, kerusakan lingkungan karena penggunaan bahan kimia beracun. Demi mendapatkan bahan yang lebih murah dan dapat di produksi dengan cepat, industri mode sering mengabaikan bahayanya bahan kimia yang terdapat dalam produk mereka. Misalnya, pemberian warna pada pakaian, memberikan cetakan gambar, dan finishing produk biasanya menggunakan bahan kimia yang mengandung racun.

Soelityowati dan Purnomo (2020) memperlihatkan Sungai Citarum sebagai contoh kasus. Sungai ini telah digunakan sebagai tempat pembuangan bahan kimia selama bertahun-tahun oleh pabrik-pabrik tekstil yang ada di sekitarnya. Greenpeace menganalisis airnya dan menemukan air itu tercemar timah hitam, merkuri, arsenik, dan nonylphenol (pewarna pengganggu endokrin yang telah dilarang dari Uni Eropa karena implikasi lingkungannya). Dan ini sama sekali bukan peristiwa yang terisolasi. Setiap tahun, lebih dari setengah triliun galon air segar terkontaminasi limbah tekstil dan kemudian dibuang, tidak diolah, ke sungai yang pada akhirnya akan mencemari laut.

Selain buruk bagi lingkungan hidup, fast fashion juga buruk bagi para pekerjanya sendiri. Studi yang dilakukan oleh Bhardwaj dan Fairhust (2010) memperlihatkan bahwa para pekerja digaji rendah, tidak sebanding dengan jam kerja yang panjang dan penuh tekanan karena tuntutan produksi skala besar. Eksploitasiyang dilkakukan oleh industri fast fashion terhadap para pekerja tidak hanya terbatas pada pemberian upah yang tidak layak, tetapi juga pada berbagai sektor seperti tidak adanya jaminan kesehatan dan keselamatan. Contohnya, pada 2012, pabrik tekstil Ali Enterprises di Karachi, Pakistan terbakar dan menewaskan 258 pekerja.

Pada akhirnya fast fashion tak lebih dari pemuas kerakusan akumulasi keuntungan para pemodal besar yang lebih banyak masalahnya dibanding manfaatnya.

Gambar: Jean-Pierre Dalbera

Leave a Reply