Pandemi tak hanya berdampak pada kesehatan fisik, tapi juga dapat memengaruhi kondisi mental setiap orang. Terlebih lagi saat ini masyarakat dihadapkan pada aturan new normal yang mendorong masyarakat untuk beradaptasi cepat dengan kebiasaan baru. Kondisi tersebut diperparah dengan dampak sosial ekonomi yakni potensi terkena PHK yang membuat masyarakat risau masalah finansial, pekerjaan, dan masa depan seusai pandemi berakhir. Jika tidak segera ditangani, masyarakat dapat mengalami gangguan kesehatan mental atau penyakit mental.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri telah memperingatkan bahwa ada kemungkinan krisis penyakit mental meningkat ketika jutaan orang di seluruh dunia dikelilingi oleh kematian dan penyakit. Terlebih lagi masyarakat global terbebani dengan paksaan melakukan isolasi, menghadapi bayang-bayang kemiskinan, dan kegelisahan akibat pandemi virus korona. WHO kemudian mengeluarkan surat edaran yang berisi panduan pertimbangan kesehatan mental selama adanya COVID-19.
Diluar konteks pandemi, di Indonesia, gangguan pada kesehatan mental sayangnya masih dianggap sebagai aib yang sangat memalukan. Para penderitanya seringkali mendapat cap, label, dan stigma sebagai “orang-orang yang tidak bersyukur dan kurang iman”. Data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi rumah tangga dengan anggota yang menderita skizofrenia atau psikosis sebesar 7 per 1000 dengan cakupan pengobatan 84,9 persen. Sementara itu, prevalensi gangguan mental emosional pada remaja berumur lebih dari 15 tahun sebesar 9,8 persen. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu sebesar 6 persen.
Sementara itu di tingkat global, WHO menyelenggarakan studi epidemiologis terpisah untuk menginvestigasi dampak global dari kesehatan mental yang dilakukan pertamakali pada tahun 2001-2003. World Mental Health (WMH) Survey Initiative awalnya melibatkan 14 negara (6 negara berkembang dan 8 negara maju). Sampai saat ini, survei WMH telah dilakukan 17 kali dan studi yang terakhir melibatkan lebih banyak negara, yaitu 28 negara.
Survei ini menggunakan WHO Composite International Diagnostic Interview (CIDI), yaitu sebuah panduan wawancara diagnostik terstruktur yang menggunakan DSM-IV sebagai kriteria diagnostik, sebagai instrumen survei. Data yang diekstraksi dari survei WMH diharapkan mampu memberikan gambaran yang lebih baik mengenai prevalensi dan tingkat keparahan gangguan kesehatan mental di negara-negara yang berpartisipasi. Sayangnya sampai dengan saat ini, Indonesia belum termasuk negara yang berpartisipasi dalam studi tersebut (Ridlo dan Zein, 2018).
Gangguan pada kesehatan mental tidak hanya berpengaruh pada individual tapi juga kepada publik. Diketahui dari Guru Besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Ascobat Gani kerugian ekonomi minimal akibat masalah kesehatan mental berdasarkan data lama Riskesdas 2007 adalah sebesar Rp 20 triliun. Jumlahnya tentu bisa berkali-kali lipat jika kita bisa mengetahui data terbaru.
Contoh lainnya datang dari Aceh, total kerugian ekonomi (economic loss) akibat schizophrenia pada penderita rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Aceh tahun 2016 dihitung berdasarkan besarnya biaya langsung (direct cost) yang dikeluarkan pemerintah dan rumah tangga terkait pengobatan penderita dan besarnya biaya tidak langsung (indirect cost) rumah tangga yang terjadi selama penderita dirawat. Perhitungan kerugian ekonomi ini dilakukan pada 74 penderita schizophrenia rawat inap dan keluarga yang menjadi sampel penelitian (Isnaini, dkk, 2018). Akhirnya, kesehatan mental adalah urusan kita semua. Mari hentikan stigma, bantu yang menderita, menuju kehidupan bersama yang sehat jiwanya.