Perdagangan memang sering menguntungkan tapi tak jarang juga merugikan. Masalahnya sering kali kerugian dalam perdagangan disebabkan karena adanya tata kelola perdagangan yang tidak adil. Ketidakadilan dalam tata kelola perdagangan tersebut selain terjadi di tataran mikro seperti adanya “cukong” dalam rantai distribusi, juga terjadi pada tataran yang lebih makro seperti yang terjadi dalam perdagangan bebas global.
Seorang ekonom pemenang hadiah Nobel Ekonomi, Joseph E. Stiglitz, bersama dengan peneliti ekonomi Andrew Charlton dalam bukunya yang berjudul Fair Trade For All: How Trade Can Promote Development, menerangkan bahwa sebenarnya perdagangan merupakan kekuatan positif untuk memacu pembangunan. Dalam situasi dan regulasi yang tepat, kebijakan pengurangan tarif dan hambatan-hambatan yang sering dilakukan oleh para pendukung konsep perdagangan bebas (free trade) terhadap pergerakan arus barang dan jasa dapat memfasifiiasi perdagangan antar negara dan pada akhirnya memberikan keuntungan dan kesejahteraan.
Tantangannya kemudian adalah menyusun kebijakan perdagangan yang tepat agar negara berkembang dapat terlibat lebih jauh dalam sistem perdagangan multilateral sehingga negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dan partisipasi mereka. Hal tersebut menjadi penting karena faktanya adalah liberalisasi perdagangan yang sekarang terjadi karena difasilitasi oleh globalisasi bersifat asimetris dan lebih sering menguntungkan negara-negara “maju” atau “Utara”.
Penyebab terjadinya liberalisasi perdagangan yang bersifat asimetris adalah perbedaan kondisi di antara negara yang seringkali senjang, terutama pada negara-negara yang belum maju dan membutuhkan waktu lama untuk dapat memproduksi barang yang sesuai standar permintaan yang ada, sehingga belum tentu frekuensi perdagangan pun akan meningkat. Selain itu, Stigliz dan Charlton menjelaskan bahwa secara teoritis teori liberalisasi perdagangan sendiri sudah memprediksi bahwa akan selalu ada pihak yang untung dan pihak yang rugi.
Kekurangan dari konsep dan praktik perdangan bebas membuat beberapa pihak menginisiasi konsep dan praktik fair trade (perdagangan yang adil). Alex Nicholls dan Charlotte Opal menerangkan bahwa fair trade adalah suatu alat perkembangan atau development tools yang digunakan untuk melindungi produsen lokal di negara yang lemah, tanpa harus terlibat hukum proteksi (Nicholls dan Opal, 2005). Argumen dari Richard Welford juga menambahkan bahwa fair trade tidak hanya berperan pada global justice, tetapi juga pada pelestarian lingkungan secara global dan menjadi platform bagi green economy (Welford, 2003).
Di Indonesia, konsep fair trade pertama kali diperkenalkan oleh Oxfam GB/Indonesia. Fair trade adalah salah satu dari program utama Oxfam Indonesia yang didirikan pada tahun 1972. Gerakan Fair Trade muncul pada pertengahan 1980-an sebagai bentuk reaksi dari kondisi perdagangan Indonesia yang sangat merugikan produsen-produsen kecil yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Pada pertengahan 1990-an, gerakan Fair trade Indonesia berkembang pada komoditi pertanian khususnya pertanian organis. Perkembangan ini ditandai dengan berkumpulnya beberapa NGO pada tahun 1996 di Yogyakarta yang difasilitasi oleh Oxfam GB/Indonesia.
Tindak lanjutnya didirikanlah Konsorsium Masyarakat Fair trade (KMFT) pada bulan Oktober tahun 1997 dengan agenda pertama menentukan langkah strategis program Fair trade dan merintis pendirian toko bersama sebagai media untuk mempraktekkan Fair trade yang diberi nama SAHANI (Sahabat Niaga) sebagai ujung tombak KMFT untuk melawan sistem perdagangan yang tidak adil. pada perkembangan selanjutnya gerakan fair trade telah merambah sektor pertanian dan tekstil.
Selain Oxfam, ada juga Ailet Green yang membangun sebuah skema perdagangan yang telah tersertifikasi sebagai fair trade, sekaligus mengembangkan sumber daya lokal berikut dengan pengetahuan dan keterampilan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat setempat (alietgreen.com). Hal lain yang sangat unik dari Aliet Green, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Orly (sapaan akrab pendiri Aliet Green) dalam Talkshow bersama Bukalapak x Creative Hub, adalah pemberdayaan yang dilakukan. Hal tersebut diskarenakan Aliet Green berusaha memberdayakan perempuanperempuan terstigma, seperti single parent dan lain sebagainya.
Selain ada keuntungan, pastikan jug ada keadilan dalam perdangan.
Referensi
Nicholls, Alex dan Opal, Charlotte. 2005. The Economics of Fair Trade‖ dalam Fair Trade: Market-Driven Ethical Consumption. Los Angeles, CA: SAGE Publications Ltd.
Stiglitz, Joseph E. dan Andrew Charlton. 2005. Fair Trade For All How Trade Can Promote Development. New York: Oxford University Press.
Welford, Richard; Meaton, Julia; dan Young, William. (2003). ―Fair trade as a strategy for international competitiveness‖ dalam International Journal of Sustainable Development & World Ecology. Vol. 10/Issue 1, Taylor and Francis.