You are currently viewing Gotong Royong Hadapi Pandemi: Karena Hidup Bukan Hanya Soal Diri Sendiri

Gotong Royong Hadapi Pandemi: Karena Hidup Bukan Hanya Soal Diri Sendiri

Kebaikan tak bisa dibendung, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun. Barangkali itu ungkapan yang tepat untuk mengambarkan bagaimana masyarakat saling peduli dan membantu di tengah pandemi seperti sekarang ini. Salah satu contohnya adalah gerakan Solidaritas Pangan Jogja. Setiap hari anggota dari Solidaritas Pangan Jogja pergi ke Pasar Beringharjo, mereka menemui buruh-buruh gendong. Para buruh gendong mulai gelisah karena pembeli mulai berkurang, sehingga mereka tidak mempunyai pemasukan untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.

Solidaritas Pangan Jogja dimulai ketika Ita Fadja Nadia melihat dampak diberlakukannya kebijakan physical distancing yang mengakibatkan pendapatan para pekerja informal yang terpaksa harus keluar rumah menurun drastis. pemetaan, para pekerja informal yang dinilai paling terdampak oleh pandemi hingga sulit mencari makan didatangi. Akhirnya, mereka memutuskan untuk membuat dapur umum di rumahnya, di kawasan Ngadiwinatan, Ngampilan, Kota Yogyakarta.

Mengutip laporan Tirto.Id Pada 17 Maret 2020, dapur umum swadaya yang dibikin Ita menghasilkan 50 bungkus nasi. Sehari dua hari berjalan, ia dan kedua anaknya semakin kewalahan. Lalu ia mengontak jaringan pekerja sosial lainnya yang ia kenal di Yogya, salah satunya adalah Sosial Movement Institute (SMI). Bersama SMI yang mayoritas adalah aktivis mahasiswa, gerakan tersebut semakin besar. Donasi mulai berdatangan, para pembuat nasi angkringan yang dagangannya tak laku kemudian dibeli untuk dibagikan.

Solidaritas Pangan Jogja kemudian menjadi semakin luas, sejumlah organisasi kemudian ikut bergabung seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, dan sejumlah organisasi serta lembaga lainnya.Menurut keterangan koordinator Solidaritas Pangan Jogja, Raihan Ibrahim Annas, yang dikutip Tirto.Id donasi yang terkumpul sudah mencapai Rp 50 juta. Dari donasi tersebut setiap dapur umum dapat menghasilkan rata-rata 100 bungkus makanan tiap hari. Saat ini Solidaritas Pangan Jogja sudah memiliki enam dapur umum di Gamping, Seyegan, Prawirotaman, Mergangsan, Piyungan dan Wonocatur.

Secara konseptual dalam kajian ilmu sosial, apa yang dilakukan oleh Solidaritas Pangan Jogja adalah bentuk altruisme yang berkembang menjadi solidaritas sosial, yang dalam bahasa sehari-hari masyrakat kita dikenal sebagai gotong royong. Mengutip Seglow (2004:1-9), Robertus Robet (2013) mengatakan bahwa altruisme menjadi soal moral yang penting dewasa ini karena globalisasi telah mengubah “ state of nature” kehidupan masyarakat.  Kita hidup dalam “ a world of strangers”, sebuah dunia di mana melalui  tindakan, baik sengaja maupun tidak, kita dapat mempengaruhi atau  bahkan mengubah nasib manusia lain, manusia yang tak pernah kita jumpai.

Peter Kropotkin (2006) menerangkan bahwa sosialitas, kebutuhan gotong royong, dan saling dukung merupakan bagian yang sangat melekat pada sifat manusia. Akibatnya, dalam masa kapan pun dalam sejarah, tak pernah kita lihat manusia tinggal dalam keluarga kecil terasing, saling kelahi demi tetap hidup. Hal yang sebaliknya dibuktikan oleh riset modern. Lebih lanjut Peter Kropotkin (2006) bahkan berani membantah konsep darwinisme sosial yang secara umum dipahami sebagai “yang akan bisa bertahan hanya yang paling kuat” dan menyatakan bahwa gotong royong adalah sebuah faktor utama evolusi karena hal tersebut adalah naluri alamiah manusia.

Gotong royong yang dilakukan oleh masyarakat untuk menghadapi dampak pandemi Covid-19 ini menurut Mikhail Gorbachev Dom dalam telaahnya yang berjudul Mengelola Altruisme Relawan dalam Penanganan COVID-19, perlu dikelola secara rapi agar orang-orang tetap bisa saling menolong tetapi risiko penularan tetap minimal. Menurutnya salah satu caranya adalah dengan memperhitungkan kemampuan manusia bekerja dalam kelompok sosial selama beberapa ribu tahun terakhir yang ada pada angka 150 orang. Sebaiknya, unit administrasi terkecil sebuah daerah agar dapat tanggap terhadap wabah ataupun bencana lainnya diatur pada angka 150 – 200 Kepala Keluarga dan diberi protokol yang jelas. Dengan demikian masyarakat bisa membuat grup dalam Aplikasi (WhatsApp misalnya) yang berisikan sekitar 150 – 200 kepala keluarga dalam satu RT sebagai unit pantau, berjenjang hingga RW, Dusun, Desa atau Kelurahan, Kecamatan sampai Walikota/Bupati.

Bacaan lebih lanjut

Dom, Mikail Gorbachev. 2020. Mengelola Altruisme Relawan dalam Penanganan COVID-19. Jakarta: Laporan CSIS.

Kropotkin, Peter. 2006. Gotong Royong Kunci Kesejahteraan Sosial; Tumbangnya Darwinisme Sosial. Depok: Piramedia.

Laporan Tirto.Id “Solidaritas Pangan Rakyat saat Negara Tak Tanggung Kebutuhan Dasar”. Dimuat pada 5 April 2020.

Robet, Robertus. 2013. “Altruisme, Solidaritas, dan Kebijakan Sosial.” Jurnal Sosiologi MASYARAKAT, Vol. 18, No. 1, Januari 2013: 1-18. Seglow, Jonathan. 2004. “The Ethics of Altruism: Introduction”. Dalam  The Ethics of Altruism, diedit oleh Jonathan Seglow. London, Portland: Frank Cass Pub.

*Sumber gambar: news.detik.com

Leave a Reply