Pangan adalah hal pokok bagi kehidupan manusia apalagi di saat pandemi seperti sekarang ini. Mustofa (2012) sebagaimana hasil rumusan International Congres of Nutrition (ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 mendefenisikan bahwa: “Ketahanan pangan rumah tangga (household food security) adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari”. Dalam sidang Committee on World Food Security 1995 definisi tersebut diperluas dengan menambah persyaratan “Harus diterima oleh budaya setempat (acceptable with given culture)”.
Pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi individu. Pembangunan ketahanan pangan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat secara adil merata baik jumlah maupun mutu gizinya. Dimensi pembangunan ketahanan pangan sangat luas dan bersifat lintas sektor dengan pendekatan lintas disiplin. Ketahanan pangan merupakan prasyarat dasar yang harus dimiliki oleh suatu daerah termasuk desa yang sekarang kewenangannya sudah diperluas dengan adanya UU Desa.
Ketahanan pangan terwujud apabila secara umum telah terpenuhi dua aspek sekaligus. Pertama adalah tersedianya pangan yang cukup dan merata untuk seluruh penduduk. Kedua, setiap penduduk mempunyai akses fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk memenuhi kecukupan gizi guna menjalani kehidupan yang sehat dan produktif dari hari ke hari.
Kaitannya dengan ketahanan pangan secara keseluruhan, ketahanan pangan rumah tangga sangat penting. Hal tersebut dikarenakan ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga merupakan landasan bagi ketahanan pangan masyarakat, yang selanjutnya menjadi pilar bagi ketahanan pangan daerah dan nasional. Berdasarkan pemahaman tersebut maka salah satu prioritas utama pembangunan ketahanan pangan adalah memberdayakan masyarakat agar mereka mampu menanggulangi masalah pangannya secara mandiri serta mewujudkan ketahanan pangan rumah tangganya secara berkelanjutan.
Melalui proses pemberdayaan, masyarakat ditingkatkan kapasitasnya agar semakin mampu meningkatkan produktivitas, produksi dan pendapatannya, baik melalui usaha tani maupun usaha lainnya. Peningkatan pendapatan akan menambah kemampuan daya beli, sehingga menambah keleluasaan masyarakat untuk memilih pangan yang beragam untuk memenuhi kebutuhan gizinya.
Peningkatan produksi komoditas pangan oleh masyarakat, di samping meningkatkan ketersediaan pangan dalam rumah tangga juga akan memberikan kontribusi terhadap ketersediaan pangan di daerah yang bersangkutan, yang selanjutnya merupakan kontribusi terhadap ketersediaan pangan nasional.
Hukum Working (1943) dalam Dirhamsyah et al (2016), menyatakan bahwa proporsi pengeluaran pangan dapat digunakan sebagai indikator ketahanan pangan rumah tangga. Hukum tersebut menyebutkan bahwa proporsi pengeluaran pangan berhubungan negatif dengan pendapatan rumah tangga, dan ketahanan pangan mempunyai hubungan negatif dengan proporsi pengeluaran pangan. Semakin besar proporsi pengeluaran pangan suatu rumah tangga maka semakin rendah ketahan pangannya.
Lawan dari ketahanan pangan adalah ketidaktahanan pangan, hal yang sangat bisa terjadi pada masa pandemi seperti sekarang. Menurut Mustofa (2012), ada 4 faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan yaitu: kecukupan ketersediaan pangan, stabilitas ketersediaan pangan, aksesibilitas terhadap pangan serta kualitas/keamanan pangan. Secara teoritis, dikenal dua bentuk ketidaktahanan pangan tingkat rumah tangga yaitu pertama, ketidaktahanan pangan kronis yaitu terjadi dan berlangsung secara terus menerus yang biasa disebabkan oleh rendahnya daya beli dan rendahnya kualitas sumberdaya dan sering terjadi di daerah terisolir dan gersang.
Ketidaktahanan pangan jenis kedua, ketidaktahanan pangan akut (transitori) terjadi secara mendadak yang disebabkan oleh antara lain: bencana alam, kegagalan produksi dan kenaikan harga yang mengakibatkan masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk menjangkau pangan yang memadai (Atmojo et al, 1995). Ketidaktahanan pangan jenis kedua inilah yang mengancam saat ini.
Untuk itu menurut Sutrisno (1996) kebijakan peningkatan ketahanan pangan harus memberikan perhatian secara khusus kepada mereka yang memiliki risiko tidak mempunyai akses untuk memperoleh pangan yang cukup. Sekarang ini orang-orang yang memiliki risiko besar tidak mempunyai akses memperoleh pangan adalah pekerja informal, UMKM, serta masyarakat miskin kota dan desa. Apapun yang terjadi, ketahahan pangan wajib dipertahankan!
Bacaan lebih lanjut
Atmojo, S.M., Syarif Hidayat, D. Sukandar., M. Latifah. 1995. Laporan Studi Identifikasi Daerah rawan Pangan. Proyek Pengembangan Diversifikasi Pangan dan Gizi Departemen Pertanian – Jurusan GMSK, Fakultas Pertanian – IPB. Bogor
Dirhamsyah, T. dkk. 2016. “Katahanan Pangan (Kemandirian Pangan dan Kesejahteraan Masyarakat Daerah Rawan Pangan di Jawa)”. Yogyakarta : Plantaxia
FAO. 1996. World Food Summit, 13-17 Nopember 1996. Volume 1, 2 dan 3. FAO, Rome.
Mustofa. 2012. “Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin dan Modal Sosial Di Provinsi DIY”. Geomedia: Jurnal Sains Geografi, Vol. 10, No. 1, pp. 1-21.
Sutrisno L. 1996. Beberapa Catatan dalam Upaya Meningkatkan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Indonesia. Laporan Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga. Departemen Pertanian RI – UNICEF.
*Gambar: dokumentasi kegiatan Akademi Kewirausahaan Masyarakat.