You are currently viewing Internet of Things (IoT) dan Jalan Panjang Mewujudkan Desa Digital

Internet of Things (IoT) dan Jalan Panjang Mewujudkan Desa Digital

Banyak pihak memprediksi, beberapa tahun ke depan dunia akan memasuki era Internet of Things (IoT) atau pemanfaatan internet untuk segalanya. Untuk Indonesia sendiri, berdasarkan riset Asia IoT Business hanya 8,9% perusahaan Indonesia yang sudah mengadopsi IoT, jumlah ini masih berada di bawah Thailand, yang sudah mencapai 10,7%. Kendati demikian, adopsi IoT di Indonesia lebih unggul dibanding Malaysia (5,1%), Filipina (2,8%), dan Vietnam (2,1%).

Hasil riset tersebut senada dengan survei yang dilakukan oleh Forbes Insight bersama Hitachi Vantara yang menunjukkan, sebanyak 70 persen perusahaan di wilayah Asia Pasifik percaya bahwa peran IoT penting atau sangat penting bagi bisnis mereka saat ini. Sebanyak 87 persen responden percaya bahwa IoT akan menjadi penting bagi masa depan bisnis mereka. Kendati baru 8,9% industri di Indonesia yang telah memanfaatkan IoT, bukan berarti Indonesia tidak siap menghadapi tren teknologi yang tengah berkembang tersebut. Mulai muncul berbagai inisiatif dari masyarakat untuk mengembangkan teknologi IoT di Indonesia, namun masih butuh perhatian yang lebih besar. Pemerintah sendiri melalui Kominfo sudah menyatakan mendukung penuh perkembangan IoT di Indonesia, tinggal bagaimana mengoptimalkannya.

Sayangnya, saat ini masih terjadi bias atau ketimpangan perkembangan teknologi antar wilayah di Indonesia. Kesenjangan antar wilayah terlihat dari masih terdapatnya 122 kabupaten yang merupakan daerah tertinggal. Sedangkan kesenjangan kota dan desa dapat terlihat dari laju urbanisasi yang cukup pesat beberapa tahun terakhir. Saat ini, laju urbanisasi di desa sebesar 1,2 persen setiap tahunnya.

Kesenjangan pembangunan antara kota dan desa tidak dapat dilepaskan dari dampak sebaran demografi dan kapasitas ekonomi yang tidak seimbang serta kesenjangan ketersediaan infrastruktur yang memadai, termasuk kesenjangan teknologi informasi dan komunikasi. Menurut Kemkominfo, jumlah desa yang belum tersentuh teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sekitar 40 persen di tahun 2017. Kesenjangan-kesenjangan inilah yang menyebabkan desa menjadi sulit berkembang.

Masalah tersebut kemudian memunculkan inisiatif desa digital dari  beberapa pihak. Digitalisasi diharapkan dapat menghapus kesenjangan ruang, waktu, budaya, gaya hidup kota dan desa sampai tingkat tertentu, meningkatkan kinerja pemerintah desa dalam pelaksanaan APBDes, meningkatkan produktivitas, kesehatan, dan kebahagiaan penduduk desa.

Gambaran ideal desa digital dimulai dari adanya situs resmi desa. Kemudian instrumen digital milik desa selalu ditayangkan pada situs dan gerbang desa, misalnya jumlah unit sarana WiFi, basis teknologi wajib (misalnya Andoid), sistem penginderaan jauh, kentongan digital berupa sinyal gawat-darurat setiap telepon genggam seluruh penduduk desa (untuk berita bahaya, tamu penting, tamu tak diundang seperti pencuri ternak, peristiwa kekerasan sampai KDRT, dan berbagai berita lainnya.

Di depan Kantor Kepala Desa ditayangkan berbagai info-elektronik tentang profil utama desa (misalnya peta desa, jumlah dan komposisi penduduk, jumlah pendatang menginap, dll), rencana kegiatan bersama, peraturan desa yang baru, laporan panen harian dan lumbung-desa, berita kelahiran atau kemalangan, serta penerimaan dan penggunaan Dana Desa. Berbagai sistem pertanian, pertambakan dan pertambangan dilengkapi sarana digital sesuai kebutuhan, misalnya sistem pemberian pakan ikan kolam besar.

Beberapa contoh penerapan konsep desa digital ini adalah Kelokal.id, sebuah platform untuk reservasi paket desa wisata, penginapan, acara, workshop, ataupun sharing session dengan tema tertentu yang dikelola oleh Sidatani. Kemudian ada juga Kandang.in sebuah  platform online sehingga Anda dapat melakukan investasi dengan prinsip syariah kepada mitra peternak dari Kandang.in. Dengan melakukan transaksi bantu danai maka Anda akan memiliki hak kepemilikan atas hewan ternak yang telah Anda bantu danai sesuai dengan persentase kepemilikan (penyertaan modal). Selanjutnya Anda mendapatkan layanan untuk mendapatkan akses informasi terkait kondisi ternak, laporan pertumbuhan ternak, laporan keuangan dan informasi lain secara periodik tentang ternak Anda. Ketika hewan tersebut terjual Anda berhak untuk mendapatkan laporan akhir investasi dengan transparan disertai dengan hasil perhitungan untung dan rugi serta bagi hasil yang diperoleh.

Mewujudkan desa digital tentu saja mempunyai beberapa tantangan. Untuk bisa mengiolementasikan konsep desa digital diperlukan dukungan sarana dan prasarana teknologi informasi dan komunikasi yang memadai. Namun, masih banyak wilayah di Indonesia dengan kondisi TIK yang masih rendah atau bahkan tidak ada sama sekali. Menurut data Potensi Desa Badan Pusat Statistik tahun 2018 masih ada sekitar 62 persen desa yang tidak tersedia BTS (Base Transceiver Station).

Dilihat dari sisi kekuatan sinyal telepon seluler dan sinyal internet, masih banyak desa-desa yang kekuatan sinyalnya lemah dan bahkan tidak ada, yakni 34 persen untuk sinyal telepon dan 21,6 persen untuk sinyal internet. Tantangan lainnya untuk mewujudkan desa-desa digital adalah butuh dukungan pendanaan yang cukup besar. Saat ini, desa digital merupakan hasil kerjasama antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat melalui BAKTI Kominfo dan juga pihak-pihak lainnya. BAKTI Kominfo bertugas menyediakan akses internet dengan menggunakan dana USO (Universal Service Obligation) bagi desa yang mengajukan usulan melalui pemerintah daerah untuk menjadi desa digital. Sedangkan perangkat dan aplikasi disediakan oleh pemerintah daerah dengan mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Penyediaan perangkat dan aplikasi tersebut membutuhkan dana yang relatif besar. Di sisi lain, masih banyak daerah-daerah (khususnya kabupaten) yang kapasitas keuangannya rendah dan masih sangat bergantung pada dana perimbangan dari pemerintah pusat. Guna meminimalkan dana sementara dapat dibentuk pusat digital di desa yang dapat diakses oleh semua masyarakat sehingga dapat dikontrol penggunaannya.

Selanjutnya adalah tentang sumber daya manusia. Tidak bisa dipungkiri bahwa di desa-desa masih terdapat aparat dan masyarakat desa yang belum melek internet dan teknologi. Penetrasi pengguna internet tahun 2017 berdasarkan kota/kabupaten terkonsentrasi di area rural sebesar 48,25 persen (APJII, 2017). Untuk penguasaan komputer, rilis BPS dalam Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (IP-TIK) menunjukan bahwa nilai indeks persentase rumah tangga di Indonesia yang menguasai komputer hanya bernilai 2 dari skala 0 – 10. Hasil survei dan IP-TIK BPS ini dapat dijadikan parameter yang menunjukkan bahwa melek internet dan teknologi di pedesaan masih relatif rendah. Konetn-konten negatif yang beredar di internet dan bisa mempengaruhi warga desa juga menjadi tantangan tersendiri.

Desa digital barangkali memang bisa menjadi sarana memanfaatkan peluang di era Internet of Things, akan tetapi untuk mewujudkannya kita harus melewati jalan yang sangat panjang.

Bacaan lanjutan

IoT di Indonesia dan Peta Jalan Ke Depan – WANTIKNAS

Desa Digital – KSAP  

Desa Digital: Potensi dan Tantangannya-DPR RI

Sumber gambar: digital.futurecom.com

Leave a Reply