You are currently viewing Filantropi Pendidikan dan Perkembangan Produksi Pengetahuan Ilmu Sosial di Indonesia

Filantropi Pendidikan dan Perkembangan Produksi Pengetahuan Ilmu Sosial di Indonesia

Pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan. Francis Bacon, seorang filsuf, mengatakan bahwa “knowledge is power”. Ilmu pengetahuan adalah kekuasaan. Filsuf lainnya, Michel Foucault, berpendapat bahwa proses produksi dan legitimasi pengetahuan melibatkan berlangsungnya operasi kekuasaan yang tidak lepas dari bagaimana pengetahuan yang ilmiah berelasi dengan pengetahuan awam. Proses tersebut berlangsung pada level wacana (discourse). Pendapat kedua filsuf tersebut secara implisit mengatakan bahwa pertama, siapa menciptakan, mengembangkan, dan menguasai ilmu pengetahuan, maka akan bisa memperoleh kekuasaan. Kedua, Ilmu pengetahuan tidak turun dari langit, tapi dikembangkan manusia melalui serangkaian riset dan uji coba yang memakan waktu, tenaga, dan dana dengan kata lain pengetahuan perlu kekuasaan agar dapat diciptakan dan terlegitimasi.

Melihat sejarah perkembangan produksi pengetahuan di Indonesia, kekuasaan (terutama dalam bentuk dana) yang mempengaruhi proses produksi pengetahuan tak melulu berasal dari pihak “resmi” alias Negara tapi ada juga peran dari lembaga filantropi. Pada masa Orde Baru misalnya, produksi pengetahuan Ilmu Sosial di Indonesia dan tentang Indonesia sebagian besar dananya berasal dari lembaga filantropi asal Amerika Serikat Ford Foundation. Lembaga-lembaga Amerika Serikat lainnya juga aktif membantu penyediaan dana bagi berbagai program di Indonesia dan tentang Indonesia seperti Rockfeller Foundation dan the Asia Foundation di samping adanya bantuan dari US AID (US Agency for International Development), USIS, yang disalurkan melalui Kedutaan Besar Amerika di Jakarta.

Beberapa contoh program produksi pengetahuan yang didanai lembaga filantropi asal Amerika Serikat contohnya Ford Foundation dalam proyek riset MIT Indonesia Project (bagian dari Economic and Political Development Program) pada dekade 1950-an yang melibatkan berbagai peneliti dalam berbagai bidang yang kemudian hasil-hasilnya diterbitkan sebagai buku mulai dari riset Clifford Geertz tentang The Religion of Java (yang melahirkan konsep Santri, Abangan, Priyayi), diteruskan dengan studi-studi Village Life and Rural Economy (Robert Jay), Socialization (Hildreed Geertz) dan The Chinese Community (Edward Ryan). Produksi pengetahuan yang banyak didanai oleh lembaga filantropi asal Amerika Serikat tentu saja berpengaruh besar pada corak Ilmu Sosial di Indonesia yang sampai sekarang masih sangat terasa corak Amerika-nya misalkan pendekatan Parsonian di Sosiologi dan  pendekatan kuantitatif dengan metode survei di Ilmu Politik.

Selain itu, Hilman Latief dalam kajiannya menyatakan bahwa perguruan-perguruan tinggi di Indonesia pada umunya dan perguruan tinggi Islam pada khususnya untuk mencontoh kerjasama antara perguruan-perguruan tinggi di Barat dengan para filantropis Muslim yang menjadi donator utama pusat-pusat studi Islam, melalui skema “endowment‟. Oxford Centre for Islamic Studies (OXCIS) menjalankan program-program risetnya dengan dukungan dari keluarga Bin Laden. Stanford University di Amerika membuka pusat studi Islam (The Sohaib and Sara Abbasi Program in Islamic Studies) atas dukungan Keluarga Abbasi, sebuah keluarga pengusaha Muslim Pakistan-Amerika yang bergerak di bidang jasa teknologi informasi. Pusat studi Islam di Cambridge mendapat dukungan dana penuh dari keluarga kerajaan Saudi (Alwaleed bin Talal Foundation). Itulah sebabnya pusat-pusat studi Islam di Barat berkembang dengan cepat dan semakin kuat karena didukung oleh filantropis-filantropis kelas kakap.

Jika dilihat dari postur anggaran riset di Indonesia maka keterlibatan filantropi dalam mendanai kegiatan produksi pengetahuan menjadi sangat wajar. Alokasi dana riset di Indonesia tergolong minim jika dibandingkan dengan sejumlah negara. Pada 2018, pengeluaran dana riset hanya 0,3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Selain anggaran yang minim, pengelolaan dana riset juga belum maksimal. Hal tersebut dikarenakan dana yang digunakan untuk kegiatan riset sendiri tidak lebih dari 50 persen. Laporan dari Knowledge Sector Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah tidak bisa berjalan sendirian dalam mengatasi kelangkaan dana riset. Sinergi dengan aktor dan lembaga nonpemerintah yang mempunyai kepentingan, sumber daya, dan dukungan finansial untuk melakukan riset sangat diperlukan. Sehingga, riset dan pengembangannya lebih maju dan berdampak positif bagi masyarakat, bangsa, dan perkembangan teknologi. Salah satu potensi yang mampu mendukung kegiatan produksi pengetahuan termasuk di bidang Ilmu Sosial adalah sektor filantropi atau kedermawanan sosial yang kian penting pada masa yang akan datang. Tentu saja perlu penyesuaian dan pengkondisian karena lembaga penelitian cenderung mengikuti agenda riset dari pemberi dana sedangkan lembaga filantropi cenderung melakukan riset sesuai dengan kebutuhan perusahaan atau lembaga.

Sumber gambar: vivateachers.org

Leave a Reply