You are currently viewing Ngopi dan Publik

Ngopi dan Publik

Budaya minum kopi di Indonesia sudah tumbuh dan berkembang sejak lama. Bila ditelusuri secara historis, budaya tersebut muncul pertama kali ketika sistem tanam paksa diberlakukan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Pada awalnya kebiasaan minum kopi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang Belanda. Seiring perkembangan zaman masyarakat Indonesia pun mulai gemar meminum kopi. Awalnya kegiatan minum kopi pada masyarakat Indonesia biasanya hanya dilakukan oleh orang dewasa dan didominisai oleh pria tetapi sekarang minum kopi tidak didominasi lagi orang-orang dewasa, tetapi dilakukan juga anak muda baik yang pria maupun wanita.

Budaya minum kopi di Indonesia turut andil dalam melahirkan ruang-ruang publik. Contoh pertama adalah angkringan yang secara etimologis berasal dari kata ‘angkring’ dalam bahasa Jawa yang berarti duduk santai. Angkringan yang sudah ada sejak tahun 50-an dapat ditemukan di Yogyakarta dan sekitarnya mulai petang menjelang malam. Angkringan biasanya berbentuk gerobak maupun gerobak tandu sederhana, tak jarang pengunjung yang ada harus duduk lesehan beralaskan tikar di pinggir jalan atau di dalam kendaraan. Di angkringan, semua orang dari berbagai latar belakang dapat duduk dan membicarakan apa saja.

Selain angkringan, ada juga budaya rumpi di warung kopi yang dapat kita temui di kota Medan. Budaya rumpi ini berhasil mempertemukan etnis China, Jawa, Tamil, Nias, Mandailing, Toba, Karo, Simalungun, hingga Melayu dengan latar belakang agama beraneka ragam. Obrolan yang terdengar seperti biasa adalah kejadian terbaru di kota yang diselipi sedikit perbincangan mengenai bisnis atau bahkan peristiwa-peristiwa politik terbaru.

Sekarang ini kebiasaan mengonsumsi kopi  sudah menjadi salah satu kebutuhan, karena kopi ibarat candu yang harus dipenuhi. Kopi dapat dinikmati sambil berkumpul, sharing, atau diskusi serta menyelesaikan pekerjaan. Hal ini dapat diartikan bahwa aktivitas minum kopi dapat menunjukkan adanya sifat kebersamaan yang terjalin antara individu satu dengan individu lain.

Dilihat dari perspektif ilmu sosial, warung kopi erat hubungannya dengan ruang publik, Fungsi warung kopi tersebut yang memungkinkannya menjadi ruang yang dapat dinikmati dan ditempati oleh siapa saja. Fungsi tersebut menghadirkan warung kopi menjadi ruang yang bebas bagi setiap orang. Zhang dan Lawson (2009) mempergunakan tiga klasifikasi aktivitas pada ruang publik, antara lain :

  1. Aktivitas proses. Aktivitas ini dilakukan sebagai peralihan dari dua atau lebih aktivitas utama. Bentuk dari aktivitas ini biasanya pergerakan dari suatu tempat (misalnya rumah) ke kios (aktivitas konsumsi).
  2. Kontak fisik. Aktivitas ini dilakukan dalam bentuk interaksi antara dua orang atau lebih yang secara langsung melakukan komunikasi atau aktivitas sosial lainnya.
  3. Aktivitas transisi. Aktivitas ini dilakukan tanpa tujuan yang spesifik yang biasanya dilakukan seorang diri, seperti duduk mengamati pe-mandangan dan lain sebagainya.

Kaitannya dengan pelaksanaan aktivitas sosial di ruang publik, Mehta (2007) mem-pergunakan beberapa variabel yang diper-gunakan untuk mengukur dan menyusun “Good Public Space Index”, yaitu:

  1. Intensitas penggunaan, yang diukur dari jumlah orang yang terlibat dalam aktivitas statis dan dinamis pada ruang luar.
  2. Intensitas aktivitas sosial, yang diukur berdasarkan jumlah orang dalam setiap kelom-pok yang terlibat dalam aktivitas statis dan dinamis pada ruang luar.
  3. Durasi aktivitas, yang diukur berdasarkan berapa lama waktu yang dipergunakan o-rang untuk beraktivitas pada ruang luar.
  4. Variasi penggunaan, yang diukur berdasarkan keberagaman atau jumlah tipologi aktivitas yang dilaksanakan pada ruang luar.
  5. Keberagaman penggunaan, yang diukur berdasarkan variasi pengguna berdasarkan usia, jenis kelamin dan lain sebagainya.

Warung kopi sebagai fenomena kultural juga telah masuk ke wilayah perguruan tinggi di Indonesia. Sudah cukup banyak kampus di Indonesia yang di dalam gedungnya terdapat “tempat ngopi” . Berdasarkan uraian di atas, “tempat ngopi” dalam berbagai variannya mulai dari warung sampai kafe ternama, baik yang di kampung maupun di kampus mungkin sudah memenuhi kriteria sebagai “ruang publik”. Akan tetapi kita masih bisa bertanya, sejak menjamurnya tren “tempat ngopi” di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, gagasan apa yang berhasil dihasilkan oleh “publik” yang sering “ngopi” di tempat-tempat tersebut untuk “kepentingan publik”.

Sumber gambar: unsplash.com

Leave a Reply