You are currently viewing Crowdfunding: Filantropi Sosial di Era Digital

Crowdfunding: Filantropi Sosial di Era Digital

World Giving Index 2018 yang dipublikasikan oleh Gallup dalam surveynya yang dilakukan di 140 negara di seluruh dunia menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang paling dermawan di dunia mengalahkan Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat yang berada di urutan selanjutnya. Riset tersebut menemukan bahwa 78 persen penduduk Indonesia telah memberikan donasi uang pada kegiatan amal. Tidak hanya memberikan sumbangan uang, tetapi juga terlibat dalam kegiatan sukarelawan sosial dengan jumlah persentase terbesar di dunia, yaitu sebesar 53 persen. Angka statistik tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia tidak hanya aktif memberi sumbangan uang tetapi juga terlibat aktif dalam kegiatan pemberdayaan sosial.

Tingginya angka kedermawanan sosial di Indonesia salah satunya difalisitasi oleh adanya teknologi baru atau platform yang memudahkan kegiatan-kegiatan kedermawanan sosial atau yang sekarang lebih populer disebut sebagai crowdfunding. Istilah crowdfunding sendiri diturunkan dari istilah crowdsourcing (urun daya) yang telah lebih dulu populer (Hemer, 2011). Hemer mengutip Wojciechowski (2009) bahwa lewat jejaring sosial, crowdfunding potensial untuk organisasi amal dan LSM. Secara konseptual, crowdfunding merupakan situasi yang menempatkansejumlah orang (selanjutnya disebut crowd) yang secara finansial mendukungsuatu proyek dengan memberikan sejumlahuang untuk mendapatkan reward, sebagaidonasi, atau yang berpotensi mendapatkanimbalan berupa ekuitas (Wicks, 2013).

Crowdfunding merupakan salah satu cara baru yanginovatif sebagai sumber pengumpulan danauntuk sebuah proyek maupun pengumpulanmodal usaha. Selain itu, crowdfunding jugamerupakan salah satu cara membangun sebuah komunitas yang bertujuan untuk mengumpulkan sejumlah uang sesuaidengan proyek yang sedang dilaksanakan. Bradford (2012) membagi beberapa model crowdfunding berdasarkan hasil yang akan didapat penyandang dana atas kontribusinya, antara lain:

  • Model Donasi

Pada model ini penyandang dana (donatur) tidak mendapat pengembalian apapun atas dana yang telah disumbangkannya kepada pemilik program/proyek. Donasinya berdasar atas rasa simpati kepada orang yang dibantunya.

  • Model Penghargaan

Pada model crowdfunding ini pemilik proyek akan menawarkan sejumlah imbalan penghargaan kepada penyandang dana atas kontribusinya meski bukan berupa keuntungan dari proyek tersebut.

  • Model Pra-Pembelian

Model crowdfunding ini memiliki konsep yang hampir sama dengan model penghargaan, hanya saja imbalan yang akan diterima oleh penyandang dana adalah berupa hasil produksi dari proyek tersebut. Misal, proyek/modal usaha produksi batik, maka penyandang dana akan memperoleh hasil produksi yakni batik.

  • Model Pinjaman

Implementasi dari model pinjaman yaitu penyandang dana hanya sementara waktu meminjamkan uangnya untuk pengembangan proyek tertentu. Kemudian penyandang dana akan mendapat pengembalian dari dana yang telah disumbangkannya, dan biasanya penyandang dana juga mendapatkan bunga atas dana yang dipinjamkannya.

  • Model Ekuitas

Dalam model ekuitas penyandang dana mengharapkan kompensasi berupa ekuitas atau bunga atas proyek yang didanainya.

Pada praktiknya menurut Nurhadi dan Irwansyah (2018), pemanfaatan platform crowdfunding relatif mudah karena berbasis online sehingga bisa diakses oleh banyak orang, kapanpun dan di manapun. Penggunaannya cukup sederhana: seseorang atau unit usaha yang membutuhkan donasi atau pendanaan dalam proyeknya akan mengajukan campaign (program/proposal) beserta jumlah dana dan batas waktu yang mereka butuhkan untuk menjalankan program tersebut melalui website pengelola crowdfunding. Masyarakat (user) pengguna website tersebut akan melihat program tersebut, dan seandainya program tersebut dianggap menarik maka mereka (calon donatur) akan berdonasi atau menyetorkan modal untuk mendanai program tersebut.

Kajian yang dilakukan oleh Alven dan Sadasri (2019) menunjukan bahwa bahwa variabel crowdfunding dan brand image memiliki relasi yang sangat kuat. Pada penelitian tersebut Crowdfunding turut memberikan pengaruh dalam proses pembentukan brand image Luna Maya di mata responden sebagai khalayak dalam penelitian tersebut. Hubungan korelasi ini bernilai positif dan berarti bahwa crowdfunding yang dilakukan Luna Maya berpengaruh terhadap brand imagenya sebagai seorang selebritas.

Penelitian tersebut juga menunjukan bahwa bahwa status Luna Maya sebagai seorang selebritas yang populer berkontribusi dalam kesuksesan crowdfunding, antara lain melalui jejaring pertemanan, kerabat, dan dukungan publik yang dimiliki oleh seorang selebritas. Singkatnya, crowdfunding bisa jadi lebih sukses bila ada tokoh publik yang terlibat didalamnya dan terlibat dalam crowdfunding akan meningkakan sentimen positif kepada tokoh yang terlibat tersebut. Pertanyaan baru yang lebih “politis” kemudian muncul, apakah crowdfunding sebagai bentuk filantropi sosial di era digital akan dimanfaatkan (atau jangan-jangan sudah) sebagai sarana meningkatkan popularitas? Pertanyaan lainnya, apakah crowdfunding bisa berdampak struktural atau jangan-jangan hanya bentuk rasa kasihan lantas menyumbang agar seolah-olah sudah membantu?

Referensi

Alven, Alya Karamina dan Lidwina Mutia Sadasri. “Relasi Antara Filantropi Melalui Crowdfunding dengan Nilai Selebritas”, Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol 16, No. 1, Juni 2019: 41-56.

Bradford, C. Steven. 2012. “Crowdfunding and the Federal Securities Laws”. Lincoln: University of Nebraska.

Hemer, Joachim. 2011. A Snapshot on Crowdfunding. Karlsruhe: Fraunhofer Institute for Systems and Innovation.

Nurhadi, Wahyu dan Irwansyah. “Crownfunding Sebagai Konstruksi Sosial Teknologi Dan Media Baru”, Jurnal Komunikasi Dan Kajian Media Vol. 2, No. 2, Oktober 2018: 1-12. Wojciechowski, A. 2009. Models of charity donations and project funding in social networks. Lecture Notes in Computer Science5872, 454-463. https://link.springer.com/chapter/10.1007/978-3-642-05290-3_58

Sumber gambar: smartlegal.id

Leave a Reply