You are currently viewing Bring Back Economy to Society: Konsep Creating Shared Value dan Gagasan Karl Polanyi

Bring Back Economy to Society: Konsep Creating Shared Value dan Gagasan Karl Polanyi

Beberapa tahun terakhir khazanah pembangunan sosial diramaikan dengan wacana tentang Creating Shared Value (CSV). Secara sederhana menurut Simatupang dan Swara (2018), creating shared value diartikan sebagai pengintegrasian tujuan sosial dan ekonomi. Artinya, tidak ada dikotomi di antara ranah sosial dan ekonomi. Pada titik ini, mengatasi masalah sosial bukanlah sebagai biaya, akan tetapi sebagai pendorong perusahaan menjamin keberlanjutan bisnis dalam jangka panjang. Konsep CSV didasarkan pada ide adanya hubungan interdependen antara bisnis dan kesejahteraan sosial masyarakat. Hal yang menarik dari konsep CSV adalah bagaimana perusahaan tetap dapat menghasilkan keuntungan sambil memecahkan isu-isu lingkungan dan sosial yang dihadapi masyarakat.

Di Indonesia, sejumlah perusahaan sebenarnya telah menerapkan pendekatan tersebut. Sebagai contoh, Nestle Indonesia merupakan perusahaan pertama yang secara tegas menyatakan CSV dalam praktik bisnisnya. Kenyataan itu memang tidak mengejutkan, sebab Nestle di level global merupakan ‘laboratorium’ kemunculan CSV sebagai sebuah konsep (Simatupang dan Swara, 2018). Dari deretan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perusahaan yang sudah menerapkan konsep CSV adalah Badak LNG di Bontang Kalimantan Timur. Badak LNG menggunakan stategi Creating Shared Value dalam mengatasi persoalan tersebut. Yaitu meningkatkan kapasitas anggota Ikatan Welder Bontang (IWB) melaui program sertifikasi dan pembuatan workshop atau bengkel las (Sunaryo, dkk, 2015).

Dilihat secara genealogis, konsep CSV muncul sebagai kritik terhadap konsep Corporate Social Responsibility (CSR) yang menggunakan Community Development (Comdev)atau pembangunan komunitas sebagai metodenya. Pada praktinya, meskipun impelementasi CSR dan Comdev secara umum baik dan mendapat apresiasi masyarakat dan pemerintah baik daerah maupun pusat, tetapi kemajuan yang didapat masyarakat tidak bisa menjadi ukuran bagi kemajuan perusahaan. Demikian pula sebaliknya, kemajuan yang terjadi pada suatu perusahaan tidak bisa dijadikan paramater perkembangan perbaikan yang berlangsung di masyarakat. Penyelesaian persoalan sosial yang terjadi di masyarakat tidak menjadi bagian dari upaya untuk melaksanakan misi menjaga eksistensi perusahaan. Secara sosial perusahaan diuntungkan berupa nama baik (good will), tapi program yang dijalankan tidak terkait dengan mata rantai kegiatan utama (business supply chain) perusahaan (Sunaryo, dkk, 2015).

Adalah Michel Porter dan Mark Krammer yang pada tahun 2006 untuk pertama kali memperkenalkan konsep CSV tersebut. Pada dasarnya konsep CSV ingin melekatkan (embedding) kembali ekonomi dan sosial. Gagasan tentang melekatnya economy dengan society atau ekonomi dengan sosial/masyarakat juga sudah dikemukakan oleh Karl Polanyi sejak tahun 1944 dalam magnum opus-nya The Great Transformation. Polanyi mewariskan konsep keterlekatan (embeddedness) dalam sosiologi, yang kemudian memperoleh justifikasi intelektualnya lewat Granovetter (1985). Portes dan Sensenbrenner (1993) berpendapat konsep embeddedness merupakan platform yang kuat untuk mengkritik model ekonomi neoklasik yang memisahkan ekonomi (pasar) dengan relasi-relasi sosial.

Dalam konsep keterlekatan, ekonomi hanya merupakan bagian dari relasi sosial. Menurut Polanyi:

“Manusia tidak bertindak untuk mendapatkan kepentingan pribadi untuk memiliki barang-barang material; ia bertindak untuk menjamin kedudukan sosialnya, klaim-klaim sosialnya, aset-aset sosialnya. Dia menilai barang-barang material sejauh tercapainya tujuan ini.”

(Polanyi)

Pandangan Polanyi pada awalnya diinspirasi oleh apa yang dibacanya dari Malinowski dan Thurnwald tentang masyarakat Trobriands di Melanesia Barat di mana motif-motif ekonomi bersumber dari konteks kehidupan sosial. Lebih lanjut Karl Polanyi dalam The Great Transformation menjelaskan bahwa guncangan ekonomi dan sosial serta ketegangan politik setelah Perang Dunia I yang diakibatkan oleh upaya utopis untuk memberlakukan kembali tatanan ekonomi liberal ala abad 19, termasuk standar emas, merupakan penyebab utama krisis ekonomi dunia dan lenyapnya demokrasi di sebagian besar negara-negara kontinental Eropa.

Para pemrakarsa konsep ekonomi alternatif seperti The New Traditional Economy (NTE) dan Community Currency System (CCS) yang kini sudah dikembangkan di berbagai negara selalu menyebut Polanyi sebagai acuan utama konsep-konsep mereka. Ini membuktikan konsepsi Karl Polanyi, sebagaimana konsep CSV, dianggap memiliki kekuatan dan relevansi di masa sekarang.

Maybe it’s time to bring back economy to society.

Sumber gambar: versobooks.com

Leave a Reply