You are currently viewing Menghubungkan Perubahan: Memutus Rantai Permasalahan, Membangun Rantai Kesetaraan

Menghubungkan Perubahan: Memutus Rantai Permasalahan, Membangun Rantai Kesetaraan

Betapapun pahitnya, kita tidak bisa mengelak bahwa kehidupan kita tak bisa lepas dari permasalahan. Selesai satu permasalahan maka akan datang lagi permasalahan baru, begitu yang biasanya terjadi. Tidak hanya soal pribadi, kehidupan kolektif kita baik di tempat kita belajar/bekerja, lingkungan tempat tinggal, negara, bahkan sampai tingkat dunia hampir selalu dipenuhi permasalahan. Banyaknya permasalahan dalam kehidupan kolektif atau urusan publik membuat pihak yang secara legal-formal punya kewajiban politik (contohnya Negara) untuk menyelesaikannya (meskipun seringkali mereka jadi sebab munculnya permasalahan) tak mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Akibatnya, muncul inisiatif dari masyarakat baik dari individu maupun kolektif untuk terlibat dalam penyelesaian berbagai permasalahan tersebut.

Keterlibatan aktif masyarakat untuk membantu menyelesaikan permasalahan-permasalahan publik tentu saja membantu, tetapi banyaknya jumlah permasalahan publik menimbulkan pertanyaan baru. Permasalahan publik mana yang terlebih dahulu harus diselesaikan? Apakah kerusakan ekologis? Ketimpangan ekonomi? Kekerasan seksual? Kesehatan mental? Atau konflik sektarian? Kalaupun pertanyaan tersebut bisa dijawab maka pertanyaan yang lain sudah menunggu. Atas dasar apa atau justifikasi moral macam apa yang secara objektif bisa dijadikan ukuran untuk menilai bahwa satu permasalahan publik lebih penting untuk diselesaikan terlebih dahulu daripada permasalahan publik yang lain.

Pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab di atas menurut penulis lebih baik kita serahkan pada para filsuf yang mungkin akan memberi jawaban cemerlang meskipun lebih sering mereka memberi jawaban yang murung. Pada bagian selanjutnya, tulisan ini akan mencoba menjelaskan secara ringkas salah satu gagasan dari pasangan suami istri ilmuwan politik, Chantal Mouffe dan Ernesto Laclau, yang menurut penulis sangat berguna untuk membantu penyelesaian banyak permasalahan publik, chain of equivalence (rantai yang membangun kesetaraan.

Daniel Hutagalung dalam tulisannya pada Majalah Basis No.01-02, Tahun LV, Januari-Februari 2006 menjelaskan bahwa Laclau dan Mouffe mengambil contoh untuk melihat  terbentuknya keinginan kolektif (collective will), yang terinspirasi oleh Rosa Luxemburg. Dalam situasi dari penindasan yang ekstrim – yaitu rezim Tsar, kaum buruh memulai pemogokan menuntut kenaikan upah. Tuntutan ini bersifat partikular, tapi dalam konteks dari rezim yang represif, itu dilihat sebagai aktivitas yang menolak sistem rezim opresif (anti-system). Maka makna dari tuntutan tersebut terbagi menjadi dua, dari yang paling awal, antara partikularitasnya sendiri, dan sebuah dimensi yang lebih universal (anti-system).

Selanjutnya menurut Daniel Hutagalung, Laclau dan Mouffe menjelaskan bahwa potensialitas dari dimensi yang lebih universal dari tuntutan kaum buruh ini dapat menginspirasikan  perjuangan untuk tuntutan yang berbeda dari sektor lainnya – misalnya mahasiswa yang menuntut agar dibuat kurikulum pendidikan yang lebih santai dan tidak terlalu  disiplin, kaum pejuang kebebasan berpendapat menuntut kebebasan pers, dan lainnya. Setiap tuntutan ini ada dalam partikularitasnya masing-masing, tidak berhubungan satu dengan lainnya; apa yang menyatukan mereka adalah mereka menciptakan di antara mereka sebuah chain of equivalence (kesetaraan) di mana mereka semua dimaknai sebagai perjuangan melawan sistem.

Di Indonesia, munculnya chain of equivalence dapat kita lihat dalam aksi-aksi demonstrasi masyarakat sipil di berbagai daerah di Indonesia pada September 2019 yang menggunakan nama bersama “Reformasi Dikorupsi” dan menuntut berbagai tuntutan yang berbeda-beda. Menarik untuk melihat apakah konsep chain of equivalence dapat diterapkan dalam bentuk gerakan sosial yang berbeda seperti kewirausahaan sosial yang pada dasarnya memang bergerak di berbagai sektor yang berbeda. Creative Hub Fisipol UGM yang mengklaim sebagai hub (penghubung) sekaligus ekosistem pembelajaran inovasi sosial bagi para wirausahawan sosial di berbagai sektor bisa jadi eksperimen untuk membuktikan hal tersebut.

Leave a Reply