You are currently viewing Pendidikan Bukan Hanya Soal Link and Match

Pendidikan Bukan Hanya Soal Link and Match

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru telah diumumkan. Nadiem Makarim, seorang anak muda yang terkenal karena berhasil membangun perusahaan transportasi daring Go-Jek, yang dipilih oleh Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 2019-2024. Sama seperti banyak penunjukan menteri lainnya, ditunjuknya Nadiem juga mengakibatkan pro kontra.

Orang-orang yang pro dengan penunjukan Nadiem berargumen bahwa Nadiem Makarim yang masih berusia muda dan berasal dari dunia bisnis start-up (yang notabene dekat dengan anak muda) mampu membawa angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia yang dirasa kolot. Di sisi lain kelompok yang kontra, berpendapat bahwa Nadiem yang sejak SMA tidak merasakan pendidikan di Indonesia dan tidak punya pengalaman di bidang tersebut akan kesulitan berhadapan dengan aturan, birokasi, dan problem dunia pendidikan Indonesia.

Penunjukan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga dibarengi dengan kembalinya sektor Pendidikan Tinggi ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan setelah selama lima tahun diurus oleh Kementerian Riset dan Teknologi. Dengan kata lain masalah-masalah yang harus diselesaikan oleh Nadiem Makarim juga bertambah banyak. Selain itu, pendidikan juga akan menjadi sektor yang akan sangat diperhatikan dalam lima tahun ke depan mengingat visi Presiden Joko Widodo untuk fokus pada pembangunan sumber daya manusia pada periode kedua pemerintahannya.

Ditunjuknya Nadiem Makarim sendiri bisa dilihat sebagai respon atas disrupsi yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi digital yang diperkirakan akan sangat berpengaruh pada sektor pendidikan di masa depan. Sampai sekarang usaha-usaha yang dilakukan oleh sektor pendidikan tinggi di Indonesia untuk merespon “Revolusi Industri 4.0” masih dirasa kurang. Sekarang ini dianggap ada missing link antara lulusan perguruan tinggi dengan dunia kerja yang mengakibatkan munculnya banyak pengangguran.

Persoalan pengangguran tidak hanya karena ketiadaan pekerjaan, tetapi juga ketidaksesuaian antara jenis pekerjaan dan lulusan yang memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan. Artinya, ada sejumlah pekerjaan yang tidak bisa diisi oleh lulusan perguruan tinggi. Pemangku kepentingan tidak tahu capaian pembelajaran yang dimiliki oleh para lulusan. Kemampuan apa saja yang dimiliki oleh lulusan perguruan tinggi jenjang diploma, sarjana, magister, dan doktor? Bagaimana pula dengan mereka yang memiliki kemampuan memadai meski tidak diperoleh melalui pendidikan formal karena banyaknya kuliah daring yang sekarang ditawarkan?

Tidak Sekadar Soal Link and Match

Namun perlu diingat bahwa pendidikan bukan hanya soal link and match. Logika link and match antara pendidikan dan dunia kerja yang semakin deras menjangkiti pola pikir masyarakat dan para pengambil kebijakan pendidika di Indonesia mengakibatkan hampir semua orang ”dipaksa” untuk turut serta memenuhi kebutuhan pasar. Ekses negatif yang ditimbulkan mereka hanya mahir menjalankan instruksi teknis dan bukannya berpikir kritis dan reflektif terhadap problematika sosial yang dihadapi bangsa Indonesia yang kian kompleks. Karena proses pendidikan di kampus hanya dipersiapkan untuk dunia kerja, bukan untuk menciptakan kemandirian sosial maupun peningkatan kualitas diri.

Terkotak-kotakannya bidang ilmu karena logika link and match mengakibatkan munculnya pelabelan negatif antar mahasiswa yang berbeda bidang ilmu. Banyak mahasiswa dari klaster Sosial-Humaniora menganggap bahwa banyak mahasiswa dari klaster Sains dan Teknologi punya ekspresi keagamaan/gaya hidup yang kaku, hanya punya logika benar-salah yang mutlak-mutlakan, pikirannya tidak dalam, apatis, dan berpotensi menjadi ekstrimis. Sebaliknya, banyak mahasisiwa dari klaster Sains dan Teknologi menganggap banyak mahasiswa dari klaster Sosial-Humaniora sebagai orang yang terlalu bebas serta santai dalam hal gaya hidup dan pemikirannya, terlalu banyak bicara tanpa ada hasil konkritnya, kurang/tidak pandai karena kemampuan matematikanya rendah, dan terlalu banyak protes.

Hal tersebut jelas kontraproduktif dengan tujuan terbentuknya institusi pendidikan yang menaungi keduanya yaitu “Universitas”. Padahal sesuai dengan namanya, Universitas dibentuk untuk menghasilkan manusia yang berpengetahuan universal (menyeluruh) yang artinya mahasiswa Sains dan Teknologi harus paham dengan kondisi sosial dan mahasiswa Sosial-Humaniora harus paham perkembangan sains-teknologi. Sayangnya yang nyata terjadi sekarang hanya sekadar “Multi-Fakultas” dimana banyak fakultas dikelola dalam satu payung administrasi saja tetapi esensi pembelajaran menyeluruh dari “Universitas” tidak ada, baik karena hambatan kurikulum maupun stigma-stigma yang tidak perlu seperti yang sudah disebutkan.

Selain terlalu dititikberatkanya logika link and match dan terkotak-kotakannya bidang ilmu,adaparadoks besar pada sekolah-sekolah dan universitas-universitas di Indonesia. Institusi-institusi pendidikan tersebut memang melarang secara keras menyontek dan plagiarisme. Sayangnya, tanpa sadar menjadi lembaga-lembaga yang melembagakan penyotekan dan plagiarisme masal karena siswa dan mahasiswa hanya diajar dengan cara monoton.

Cara-cara tersebut mengakibatkan seolah-olah hanya ada satu kebenaran tunggal dari guru atau dosen mereka yang harus mereka tuliskan di kertas jawaban ketika ujian agar mereka lulus sehingga ironisnya lembaga-lembaga pendidikan kita meskipun melarang mencontek dan plagiarisme tetapi pada kenyataanya hanya menghasilkan lulusan yang sebenarnya hanya pandai meniru dan menyalin (dengan istilah yang lebih kasar sebenarnya mereka hanya pandai mencontek) jawaban dari guru atau dosen mereka, bukan benar-benar pandai berpikir.

Lebih mendasar lagi, budaya pendidikan di Indonesia juga menciptakan sikap intoleran. Sejak kecil siswa-siswi di Indonesia masuk ke dalam sistem yang terobsesi pada nilai, ranking, angka rapor, transkrip ijazah, penghargaan, gelar juara, sekolah/jurusan/kampus favorit dan sejenisnya. Mereka dikondisikan untuk mendapatkan nilai setinggi-tingginya, menjadi juara satu; kita dihantui oleh kekhawatiran tentang nilai jelek dan betapa malunya kalau sampai tidak naik kelas.

Hasrat ingin menang sendiri serta ketakutan akan kegagalan yang terbentuk karena sistem pendidikan mengakibatkan mereka menjadi sombong kalau berhasil dan jadi rendah diri atau marah ketika kalah sehingga menghalalkan segala cara untuk menang. Dengan kata lain, mereka sudah belajar untuk jadi mudah marah dan intoleran sejak dari sekolah.

Mereka sampai lupa nikmatnya berdiskusi dan belajar bersama, mereka sampai lupa cara bertanya karena mereka hanya terbiasa menghafal rumus dan jawaban, mereka sampai lupa caranya berpikir karena mereka hanya diajarkan untuk membebek pemikiran guru dan dosen mereka agar bisa lulus, dan yang paling berbahaya mereka lupa caranya jadi manusia biasa yang tidak menjadi sombong karena keberhasilan atau mudah marah karena ketidakberhasilan. Manusia biasa yang mau menghormati manusia biasa lainnya.

Menjadi sangat ironis dan kontradiktif karena mereka dimasukan dalam sistem pendidikan dengan harapan menjadi warga negara yang toleran tapi sejak sekolah mereka justru ditanamkan sifat intoleran pada orang-orang yang berbeda pemikiran (karena untuk lulus semua harus seragam tidak hanya bajunya tapi juga pikirannya), intoleran pada bidang ilmu atau minat-bakat tertentu yang dianggap tidak berguna, intoleran pada teman kita yang lebih lambat memahami pelajaran dari kita sehingga kita menjauhi mereka, dan intoleran pada kegagalan yang sebenarnya lumrah sehingga kita mudah marah pada siapa saja yang kita salahkan sebagai penyebab “kegagalan” mereka. Apa yang tertulis dalam esai ini hanya sebagian kecil dari masalah yang menjangkiti dunia pendidikan di Indonesia, tapi paling tidak ini menjadi bukti bahwa pendidikan bukan hanya soal link and match.

Sumber gambar: tempo.co

Leave a Reply