You are currently viewing Tentang Sekolah Hijau

Tentang Sekolah Hijau

Pemikiran yang menempatkan rakyat sebagai pelaku utama yang berdaulat (people-driven) dalam pengelolaan sumber daya alam masih belum berkembang di Indonesia meskipun gerakan reformasi telah berlangsung selama lebih dari dua dasawarsa. Perdebatan menyangkut model pengelolaan sumber daya alam selalu bermuara pada dua kutub dikotomis, yang oleh Elinor Ostrom peraih hadiah nobel ekonomi tahun 2009, disebut antara “negara” dan “pasar” (Ostrom, 2009).

Penelitian Fleischman menunjukkan contoh bagaimana pola pengelolaan khususnya di lingkungan sumber daya hutan (Fleischman, 2014). Ia mengamati ada perbedaan sudut pandang antara pemikiran teoritis yang berkembang pada aras lokal di satu pihak, dengan pemikiran teoritis pada aras nasional. Berbagai pemikiran yang kemudian dituangkan dalam tata kelola kehutanan pada aras lokal, sangat mementingkan peran partisipatif manusia sebagai penggerak (human drivers), sehingga pola pengelolaan sumber daya secara kolektif menjadi pilihan. Sementara pada aras nasional, pola pemikiran yang menjelma dalam kebijakan justru tidak dikembangkan berbasis tata-kelola partisipatif maupun kolektif, tapi lebih bersifat top-down, tetap menempatkan masyarakat sebagai “obyek”.

Melihat kondisi tersebut, Konsorsium KEMALA yang merupakan kolaborasi dari 4 (empat) lembaga, yaitu Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LAKPESDAM-PBNU), Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (PUSTEK UGM), Pusat Studi Energi UGM (PSE UGM), dan Center For Civic Engagement and Studies (CCES) Yogyakarta mengembangkan sebuah model alternatif dalam pemberdayaan masyarakat yang mereka sebut sebagai “Sekolah Hijau”. Model Sekolah Hijau ini telah dikembangkan di tiga desa di Jambi dan Solok Selatan.

Prof. Dr. Ir. M. Maksum Machfoedz, M.Sc., steering commitee konsorsium KEMALA sekaligus Wakil Ketua Umum PBNU, menyatakan bahwa ada tiga hal yang patut digarisbawahi mengenai model pemeberdayaan masyarakat ini:

Pertama, keberdayaan desa adalah soal pandangan atau paradigma. Sekira dipandang pengetahuan selalu berada di luar desa, maka tidaklah berkembang pengetahuan tradisional yang dimiliki warga desa puluhan tahun lamanya. Maka warga desa tidak percaya bahwa ilmu pengetahuan adalah modal utama bagi kemajuan desanya, melebihi modal finansial maupun alam mereka. Akibatnya akan terjadi ketergantungan permanen desa kepada kekuatan di luar mereka. Demikian pula, sekira dipandang pemuda tidak dapat dipercaya maka mereka enggan berbuat banyak untuk kemajuan desa. Kebanyakan mereka pergi karena melihat masa depan ada di luar desa. Sekolah Hijau di ketiga desa membuat kita memandang dengan cara yang berbeda, karena apa yang kita percaya adalah apa yang akan terjadi di desa ke depannya. Percayalah, masa depan selalu menjadi milik kaum muda desa.

Kedua, kemajuan desa adalah soal menjadi diri sendiri. Ini berkaitan dengan pelajaran pertama, di mana membangun desa bukan berarti membentuk desa menjadi seperti yang bukan mereka. Apa yang datang dari luar desa harus mengikuti apa yang ada di desa, bukan sebaliknya. Jadi semua bermula dari desa, baik itu mimpi, cita-cita, tujuan, harapan, keinginan, kemauan, semangat, dan semua nilai-nilai baik lain yang menyertainya. Semua itu berawal dari apa yang ada di desa, bukan pula sebaliknya. Seperti Roosevelt pernah berkata, “bertahun-tahun orang kesana-kemari mencari kunci kesuksesan, sampai kemudian dia sadar bahwa kunci itu ada di sakunya sendiri”. Sekolah Hijau di ketiga desa membuat kita sadar bahwa kita hanya perlu menjadi teman belajar bagi desa. Setelah warga desa selesai dengan diri mereka, tidak ada yang dapat mewujudkan mimpi kecuali mereka yang punya.

Ketiga, perubahan mendasar terjadinya pasti lama. Berubahnya desa tidak seperti lari sprint yang butuh kecepatan, tetapi seperti lari marathon yang perlu stamina. Jarak yang jauh ditempuh lebih lama, meskipun kita dapat mempercepatnya. Melepas petani dari tengkulak misalnya, perlu waktu karena terjadinya sudah puluhan tahun lamanya. Kita hanya perlu mulai melangkah, dengan keyakinan bahwa seribu langkah besar selalu bermula dari satu langkah kecil saja. Sekolah Hijau di ketiga desa meyakinkan kita bahwa perubahan memerlukan ketahanan, kesabaran, ketangguhan, karena selalu ada tarik menarik diantara kekuatan yang ada di desa. Hal baik tidak selalu banyak pendukungnya. Selalu ada yang ingin bertahan, dan selalu ada yang hendak mengubahnya. Bukan lagi soal tua muda. Orang tua yang bergabung dalam barisan perubahan maka ia adalah muda, sedangkan anak muda yang enggan maka sesungguhnya ia menua sebelum waktunya.

Secara lebih rinci, misi utama Sekolah Hijau adalah membangun gerakan pembangunan hijau di desa. Sebagai sebuah lembaga, Organisasi Sekolah Hijau ini memfasilitasi peningkatan kapasitas rumah tangga miskin dan juga menjadi tangan proyek dalam mengelola sarana peningkatan usaha untuk mendorong berbagai upaya ekonomi produktif yang dikembangkan secara kolektif dan berbasis komunitas dalam perspektif pembangunan hijau. Upaya Sekolah Hijau ini diharapkan menumbuhkan kohesi sosial serta semangat keberlanjutan dalam masyarakat, terutama rumah tangga miskin. Selanjutnya, organisasi sosial ini dapat secara terus menerus memberi layanan di desa agar peningkatan pendapatan dapat terus terjadi, sekaligus perbaikan kualitas lingkungan dapat terus diperbaiki.

Program yang sudah berjalan hampir empat tahun ini memberikan beberapa pelajaran bagi banyak pihak:

Pertama, posisi awal ketika akan membangun masyarakat di suatu lingkungan atau kawasan tidak selalu bermula dari nol. Ada yang harus dimulai dengan posisi negatif atau minus. Situasi semacam itulah yang dihadapi oleh “KEMALA” di Jorong Tandai Bukit Bulek. “KEMALA” sempat dicurigai sebagai bagian dari lembaga TNKS, sebuah entitas yang tidak disenangi oleh sebagian warga masyarakat setempat karena dianggap telah menyerobot lahan nafkah mereka. Akibatnya program “KEMALA” di sana tersendat. Terhadap lingkungan masyarakat yang semacam ini, seharusnya terlebih dahulu dilakukan kerja ekstra mengubah dari posisi negatif menjadi posisi nol.

Kedua, cakupan “tokoh kunci” dalam konsep Sekolah Hijau dalam program “KEMALA”—dan juga program-program serupa yang bertema membangun masyarakat—ternyata harus diperluas. Selama ini yang digolongkan sebagai tokoh kunci hanyalah sebatas pemimpin formal dan pemimpin informal. Kedua lapisan ini merupakan “tokoh kunci putih”. Padahal di tiap-tiap lingkungan masyarakat biasanya terdapat “tokoh kunci hitam” dan “tokoh kunci abu-abu”. Tokoh kunci hitam ialah orang yang karena kepremanannya ditakuti (bukan disegani) oleh masyarakat luas. Ia mungkin memang betul-betul preman, atau orang yang senantiasa a priori terhadap setiap program yang tidak turut menguntungkan dirinya.

Sedangkan tokoh kunci abu-abu ialah orang yang kepentingannya akan terusik karena kehadiran sebuah program. Mereka adalah orang-orang lapisan atas di jajaran profesi tertentu. Petani atau pekebun yang luas lahannya jauh melebihi luas rata-rata lahan milik petani dan pekebun pada umumnya. Nelayan yang armada tangkapnya lebih banyak atau lebih besar dan modern dibandingkan nelayan sekitarnya. Begitu juga pengusaha atau pedagang setempat yang usahanya sudah jauh lebih mapan daripada yang ada di sekitarnya. Orang-orang semacam ini khawatir kehadiran program akan mengusik kemapanan mereka.

Ketiga, membangun masyarakat tidak cukup hanya dengan membangun manusia, yaitu mem-prakondisi-kan orang-orang (warga masyarakat) yang akan menjadi sasaran langsung program, dan menyiapkan beberapa warga setempat yang akan turut dilibatkan dalam pelaksanaan program. Membangun masyarakat (building a community) harus diiringi dengan upaya membangunkan masyarakat (waking-up the community) secara keseluruhan sebagai satu kesatuan entitas. Bagian masyarakat yang tidak turut menikmati langsung sebuah program harus teryakinkan bahwa program yang akan dijalakan tidak akan mengusik kemapanan mereka. Perlu diyakinkan bahwa program yang akan dijalankan justru berpeluang untuk secara tidak langsung turut mereka nikmati. Perlu ada upaya penyadaran bahwa bagian masyarakat yang akan menikmati langsung sebuah program, dan bagian lain yang tidak beroleh manfaat langsung, adalah sebuah kesatuan entitas. Jika sebuah program pembangunan masyarakat tidak berpotensi sekadar melahirkan lapisan elite baru di tengah-tengah masyarakat yang hendak dibangun, maka program itu akan lebih bisa berterima (accepted). Tentangan atau sikap acuh tak acuh akan dapat diminimalisasi. Tentu saja pencapaian dan evaluasi yang terjadi selama empat tahu berjalannya program ini  tidaklah tepat untuk dijadikan standar penilaian apakah program ini secara keseluruhan sudah berhasil, belum berhasil, atau malah tidak berhasil. Untuk mengetahui lebih lanjut secara lebih detail mengenai program Sekolah Hijau, anda dapat mebaca buku “SEKOLAH HIJAU Sebuah Alternatif Model Pemberdayaan Masyarakat Perdesaan”.

Leave a Reply